Mohon tunggu...
Nikolaus Loy
Nikolaus Loy Mohon Tunggu... Dosen - Dosen HI UPN Veteran Yogyakarta

Menulis artikel untuk menyimpan ingatan. Menulis puisi dan cerpen untuk sembuh. Suka jalan-jalan ke gunung dan pantai. Suka masak meski kadang lebih indah warna dari rasa.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ekspansi Liberalisme, Kawasan Non-Liberal dan Ukraina

5 Maret 2022   16:18 Diperbarui: 8 Maret 2022   06:11 2719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.bbc.com/news/world-europe-28480496

Konflik Rusia-Ukraina berakar dinamika yang lebih luas yakni perluasan imperium liberal ke Timur. Imperium ini yang dimotori AS, UE dan NATO sibuk mendorong adopsi sistem pasar liberal dan perluasan pakta keamanan.

Liberalisasi mengabaikan penguatan lembaga hukum, demokrasi dan pertumbuhan kultur demokrasi. Akibatnya instalasi demokrasi liberal dan ekonomi pasar terjadi dalam 'kebun raya' dengan tanah 'illiberal' warisan Soviet.  Tanah yang dimaksud adalah warisan kultur otoritarian yang masih kuat di Rusia dan beberapa Republik bekas Soviet.

Perang Rusia-Ukraina harus dilihat sebagai kegagalan ekspansi imperium liberal AS dalam meliberalkan Rusia. Fokus pada ekspansi pasar dan keamanan, membuat AS dan Eropa lupa pada transformasi dasar struktur dan kultur politik otokrasi. Perang adalah buah dari kealpaan itu.

Liberalisme tentang Perdamaian

Pemikir liberal klasik seperti Imanuel Kant (1724-1804)  berpendapat bahwa model system politik memiliki hubungan dengan perdamaian dan konflik. Pandangan ini tercermin dalam thesis Kant (1991: 99-108) tentang 'perpetual peace' (perdamaian yang langgeng). 

Bagi Kant,  dunia damai  mengharuskan tiga syarat: bentuk negara konstitusional republic, hak kebangsaan berbasis federasi negara-negara merdeka dan hak kosmopolitanisme universal. Yang terakhir menyangkut penghormatan pada individu bukan karena ia merupakan warga sebuah negara, tetapi karena ia adalah warga dunia. Dengan demikian manusia juga memiliki kewajiban melewati batas-batas wilayah politik negara.

Mengapa harus republik? Jawabannya adalah kontrol warga negara. Dalam republik, penguasa dipilih secara demokratis. Keputusan-keputusan penting tidak bisa dimonopoli penguasa. Tindakan negara terlibat dalam perang misalnya,  tidak bisa diputuskan sendiri oleh penguasa. 

Harus ada konsultasi dengan publik secara langsung atau melalui lembaga perwakilan. Dengan cara ini, warga negara dapat mengontrol penggunaan kekerasan dalam meyelesaikan konflik oleh negara. Negara republic liberal dan  demokratis, bagi Kant, adalah promotor perdamaian.

 Ide tentang 'peace promoter' ini mengalami kebangkitan  tahun 1980-an, yang diwakili tulisan Michael Doyle (1986). Ia bilang bahwa negara-negara liberal berhasil menciptakan perdamaian antar sesama mereka. Setelah PD II, hampir tidak pernah terjadi perang antara demokrasi liberal. Perang hanya terjadi antara negara liberal dan non-liberal atau sesama negara non-liberal.

Thesis yang dikenal sebagai 'democratic peace' menemukan pembenaran dalam beberapa konflik pasca PD II. Perang Vietnam, Perang Korea, Perang Irak Kuwait Invasi AS ke Irak dan Invasi AS ke Afghanistan. Semua konflik ini melibatkan  salah satu atau dua pihak negara otokrasi. Pemerintahan yang dikontrol  oleh satu kekuatan dominan, sebagai individu atau lembaga.

Thesis 'democratic peace' berinduk pada   doktrin uniformitas. Bahwa agar perdamaian dunia menjadi langgeng, dibutuhkan keseragaman sistem politik. Kalau mau damai bentuk pemerintahan harus sama. Perdamaian dunia mensyaratkan adanya sebuah masyarakat internasional di mana negara-negara berideolgi sama dan sistem politik demokratis. Modelnya merujuk pada demokrasi liberal barat.

Doktrin uniformitas perdamaian ini didukung oleh keruntuhan Uni Soviet tahun 1989. Pembubaran Uni Soviet dianggap sebagai kemenangan kapitalisme barat atas sosialisme. Francis Fukuyama bahkan menggambarkannya sebagai 'the end of history'.

Bagi Fukuyama, sejarah dunia digerakkan oleh pertarungan ideologi, yakni antara kapitalisme melawan sosialisme. Kompetisi antar blok ideology menghasilkan aliansi, kerjasama, konflik dan berbagai dinamika sejarah dunia. Kebangkrutan komunisme menandai berakhirnya pertarungan itu. Kapitalisme pasar dan demokrasi liberal menjadi model tunggal yang harus dituju oleh masyarakat dunia.

Imperium AS dan ekspor demokrasi

Perdamaian dunia mensyaratkan demokrasi liberal keluar dari Eropa Barat dan Amerika Utara. Ekspor demokrasi menjadi salah satu jalan untuk membangun imperium liberal sebagai syarat bagi perdamaian dunia. Untuk itu, dibutuhkan sebuah kekuatan hegemonic, sebuah imperium, untuk mendorong ekspor demokrasi ke berbagai belahan bumi.

Peran ini dimainkan oleh AS sejak tahun 1990-an. Retorika Bush Jr sebelum penyerbuan ke Afghanistan adalah 'defending the free world'. Langkah berikutnya adalah mengekspor 'free' world ke dunia yang oleh AS dianggap tidak 'free'. Dunia itu adalah Irak, Afghanistan dan Eropa Timur. Di Afghanistan dan Irak, AS berupaya keras menabur bibit demokrasi dalam masyarakat patriarki dan otokratif. Dan AS gagal.

Masuknya demokrasi liberal di Eropa Timur menjadi semacam 'imperialisme' bentuk baru. Penyebaran demokrasi menjadi jalan perluasan imperium AS, dan Barat umumnya. Perluasan NATO harus dilihat dalam kerangka ini. NATO adalah sayap militer perluasan pengaruh hegemonic dunia barat di mana AS menjadi kampiumnya.

Demokratisasi politik tidak bisa berjalan tanpa ekonomi pasar. Hanya dalam pasar, pusat-pusat kekuatan ekonomi tesebar di banyak aktor yang saling bersaing. Kompetisi antar berbagai perusahaan menciptakan keseimbangan dinamika pasar. Karena itu, liberalisasi pasar adalah syarat bagi demokrasi liberal yang sehat. Di Eropa Timur dan belahan bumi lain, ekspor demokrasi liberal oleh AS  beriringan dengan ekspor demokrasi pasar.

Ekspor 'duo liberal' ini dapat dilihat dalam kasus Indonesia pasca 1998. Setelah pemilu 1999, liberalisasi ekonomi berskala besar dilakukan. Keran investasi asing dibuka, tariff impor diturunkan, swastanisasi perusahaan negara digencarkan.  Tahun 2001, misalnya, sector migas yang dikontrol ketat oleh negara selama Orde Baru, dibuka untuk swasta. Swastanisasi memindahkan sumber daya ekonomi yang terpusat pada negara ke banyak actor. Pluralitas actor ekonomi pasar adalah syarat bagi demokrasi liberal.

Di Eropa Timur,  keruntuhan Uni Soviet menjadi 'jendela' bagi impor bagi demokrasi dan pasar liberal. Sayangnya, AS dan Barat terlalu sibuk dengan reformasi ekonomi dan perluasan NATO. Ekonomi pasar justru memberi keuntungan bagi Barat.  

Sampai dengan tahun 1919/1920, di antara 10 besar asal FDI dI Rusia, 8 adalah negara Eropa Barat (https://www.investmentmonitor.ai). Jerman berada di urutan satu dan AS nomor dua. Fakta ini menjelaskan mengapa Putin berani perang dengan Ukraina. Dalam pikiriannya, Barat tidak akan menjatuhkan sanksi keras karena besarnya investasi perusahaan Barat di Rusia.

Fokus ke ekonomi mengabaikan penguatan lembaga dan kultur demokratis. Di Rusia, transisi ekonomi berjalan dalam kultur oligarkhi dan politik otoritarian. Dengan kata lain, ekspansi liberalisme terjadi dalam region illiberal dari segi struktur sosial ekonomi dan kultur politik. Hasilnya adalah munculnya oligarki nasional yang menguasai sumber daya ekonomi dan politik sekaligus. Kapitalisme yang tumbuh adalah  kapitalisme kroni. Sekelompok oligarki sangat kaya, yang lain tetap miskin.

Lembaga demokrasi sangat lemah, instusi hukum memihak kekuasaan. Ekonomi masih berbasis pada sumber alam dan migas justru memperkuat kontrol negara dan kelas orligarki. Yang terjadi kemudian bukan demokratisasi tetapi konsolidasi rezim otoriter sipil.

Setelah periode tidak stabil di Yeltsin, Rusia kembali menyaksikan kebangkitan rezim otoritarian dalam wajah sipil. Putin yang berkuasa tahun 2000 dan dipilih lagi tahun 2012, memberangus media, menindas demonstrasi dan memperlemah parlemen. Ia berkuasa hampir tanpa control, disokong oleh 'siloviki'. Mereka adalah pejabat Kremlin teman dekat Putin dan berasal dari Dinas Intelijen dan polisi  rahasia era Soviet.

Penemuan sumber migas baru membuat Rusia jadi pemain energi  global. Kekayaan minyak memperkuat otot politik. Putin menggunakan hasil minyak untuk menyerbu ke Georgia 2008, mengendalikan Checnya, menindas Ukraina melalui beberapa kali embargo gas, menganekasisi Crimea 2014 dan mendukung kemerdekaan Donetzk dan Luhansk dari Ukraina. Embargo energi  juga membuat Eropa mati kutu dalam menghadapi kebangkitan politik anti-demokrasi dan politik ekspansif Rusia.

Kebangkitan Otokrasi bukan hanya di Rusia. Laporan Freedom House (2020) menunjukkan gejala yang sama  di Eropa Tengah dan Timur.. Jumlah negara demokrasi turun 15 menjadi 10 antara 2010-2020. Rezim campuran naik dari 3 ke 10 dalam periode yang sama, sedangkan rezim otokrasi masih 9 buah, meski turun dari 11 negara di jangka waktu yang sama. Otokratisme juga bangkit bahkan di Polandia, negara pelopor demokrasi saat Eropa Timur masih di bawah Soviet

Invansi Rusia ke Ukraina harus dilihat sebagai kegagalan imperium AS menanamkan demokrasi yang 'genuine' di Eropa Timur dan Rusia khususnya. Kesibukan ekspansi ekonomi dan perluasan NATO membuat Barat lupa mendorong transisi demokrasi lanjutan. Akibanya kekuatan otokratis tetap bertahan dan bangkit kembali setelah memiliki fondasi politik dan ekonomi kuat di bawah Putin. Perang saat ini harus adalah cara Rusia menantang perluasan imperium Barat ke wilayah yang secara tradisional ada di bawah pengaruhnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun