Tahap berikutnya adalah sentralisasi cara pikir. Teritori telah dikuasai, tahap berikutnya pikiran harus dikuasai. Dengan menyeragamkan kurikulum dan bahasa, negara Orba 'mengoloni' pikiran kami anak-anak bahwa Indonesia ya 'Ini Budi', bukan 'Ini Rato' atau "Ini Arnold".Â
Teknik pengawasan yang sangat efektif. Sebuah mode kekuasaan yang agak mirip dengan pemerintahlitiy (maaf ini terjamahan ngawur dari Govermentality, Michel Foucault).Â
Memerintah bukan dengan menggunakan kekuasan dan hukum, tetapi cara-cara positif. Strategi kekuasaan ditujukan untuk persetujuan aktif dari mereka yang diperintah.
 Caranya dengan mengembangkan sebuah cara berpikir yang diterima sebagai 'normal' oleh mereka yang diperintah.  Kurikulum dan Bahasa adalah instrumen yang efektif dalam proses ini dan karena itu harus seragam.
Di sekolah, 'Ini Budi' menjadikan anak-anak menguasai Bahasa Indonesia, tetapi kami kehilangan banyak kata Bahasa Ibu. Saat itu, ada kesan Bahasa Indonesia itu modern dan Bahasa Ibu itu tidak modern, kalau tak mau disebut kolot. Di sekolah, ada semacam kartu yang diberikan ke satau murid, lalu murid itu memberikan ke teman lain yang menggunakan Bahasa Daerah, dstnya.
Di akhir jam sekolah, guru mencek kartu ada pada siapa, lalau ditelusuri ia terima dari murid mana, sampai ke murid awal yang menerima kartu.Â
Yang pernah menerima kartu, pasti bicara bahasa daerah dan kena hukuman. Hukuman untuk meninggalkan yang 'kolot' dan merangkul modernitas. Kartu ini menculik bahasa Ibu dari lidah kami. Meski membuat kami mahir merayu dalam bahasa Indonesia.
Budi datang dari center (pusat) yakni Jawa, Jakarta ke Periferi (pinggiran), Malapedho, Ngada dan daerah Timur lain. Pusat itu developed (maju), karena itu Budi naik kereta api.Â
Pinggiran itu 'underdevelop', karena tidak ada Budi yang 'developed' di sana. Yang ada Kaju, watu, Rato ke sekolah nunggang kuda atau jalan kaki tanpa sepatu. Sandal jepit pun saat itu susah. Kadang-kadang nunggang kuda, celana taruh di kepala, supaya tidak sobek.
Budi yang datang dalam bentuk buku lalu membentuk gambaran tentang yang maju, yang modern.Â
Beberapa tahun kemudian, sangat mungkin 'Budi' yang mendorong ribuan anak muda menyeberang dari NTT, Sulawesi, Maluku ke surabaya, Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan kota lain. Mereka ingin bertemu dengan 'Budi" (kemajuan).