Mohon tunggu...
Nikolaus Loy
Nikolaus Loy Mohon Tunggu... Dosen - Dosen HI UPN Veteran Yogyakarta

Menulis artikel untuk menyimpan ingatan. Menulis puisi dan cerpen untuk sembuh. Suka jalan-jalan ke gunung dan pantai. Suka masak meski kadang lebih indah warna dari rasa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

MUDIK NATAL

25 Desember 2021   06:18 Diperbarui: 25 Desember 2021   06:51 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kak, misa Natal, jam tujuh malam. Kita  ke gereja naik oto om Gaspar. Kakak mau pake celana panjang atau sarung tenun?", tanya adikku. Sudah 24 Desember. Kami baru pulang dari kampung adat.

Angin asin laut Sawu membawa dentang lonceng gereja St. Mateus. Letaknya kira-kira 3 kilometer dari rumah kami. Di gereja itu saya dibaptis dengan nama Thomas oleh Pater Varstellen. Ia asal Belanda.  

"Saya pake sarung tenun ikat saja" kataku sambil mencukur uban kumisku. Di depan rumah, orang-orang beriringan menuju gereja. Mereka rata-rata mengenakan tenun ikat.

"Tak lama lagi Om Gaspar datang jemput Kak" kata adikku sambil menyodorkan sarung tenun ikat. Kuterima tergesa dan memakainya.

Sarung kumasukkan dari kepala. "Jangan pake sarung dari kaki, sarung itu ditenun kaum perempuan kita dengan hati, jadi jangan diinjak",  pesan nenek di suatu soreh.

Aroma pewarna alami menyeruak dari sarung. Saya ingat jari-jari nenek yang membiru. Biru pohon tarum, pewarna benang.

Saat menenun kadang-kadang nenek menyelipkan beberapa utas rambutnya di antara benang. "agar sejuk. Jika kau demam dan jauh dari kampung. Pakelah sarung tenun. Kau akan sembuh", kata nenek ketika kutanya.

Kenangan akan nenek terpenggal oleh ketukan keras.  "Ayah, ditunggu Ibu", Hamidah putri kedua berdiri di pintu dengan wajah basah. 

Senja mulai luruh di langit Serawak, saat Adzan berkumandang. Siti, Istriku dan dua adik Hamidah sudah menungguku, Hamid Askandar, imam mereka.

Kupandang wajah, Nina, adik bungsuku di dinding feisbook, lalu logout dan mengambil air Wudhu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun