"Kak, misa Natal, jam tujuh malam. Kita  ke gereja naik oto om Gaspar. Kakak mau pake celana panjang atau sarung tenun?", tanya adikku. Sudah 24 Desember. Kami baru pulang dari kampung adat.
Angin asin laut Sawu membawa dentang lonceng gereja St. Mateus. Letaknya kira-kira 3 kilometer dari rumah kami. Di gereja itu saya dibaptis dengan nama Thomas oleh Pater Varstellen. Ia asal Belanda. Â
"Saya pake sarung tenun ikat saja" kataku sambil mencukur uban kumisku. Di depan rumah, orang-orang beriringan menuju gereja. Mereka rata-rata mengenakan tenun ikat.
"Tak lama lagi Om Gaspar datang jemput Kak" kata adikku sambil menyodorkan sarung tenun ikat. Kuterima tergesa dan memakainya.
Sarung kumasukkan dari kepala. "Jangan pake sarung dari kaki, sarung itu ditenun kaum perempuan kita dengan hati, jadi jangan diinjak", Â pesan nenek di suatu soreh.
Aroma pewarna alami menyeruak dari sarung. Saya ingat jari-jari nenek yang membiru. Biru pohon tarum, pewarna benang.
Saat menenun kadang-kadang nenek menyelipkan beberapa utas rambutnya di antara benang. "agar sejuk. Jika kau demam dan jauh dari kampung. Pakelah sarung tenun. Kau akan sembuh", kata nenek ketika kutanya.
Kenangan akan nenek terpenggal oleh ketukan keras. Â "Ayah, ditunggu Ibu", Hamidah putri kedua berdiri di pintu dengan wajah basah.Â
Senja mulai luruh di langit Serawak, saat Adzan berkumandang. Siti, Istriku dan dua adik Hamidah sudah menungguku, Hamid Askandar, imam mereka.
Kupandang wajah, Nina, adik bungsuku di dinding feisbook, lalu logout dan mengambil air Wudhu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H