Rumah ini sudah banyak berubah dari 30 tahun lalu. Dinding bambu telah beralih jadi tembok kuning. Dulu, dari celah dinding, saya sering mengintip Merry, putri Bidan Desa.
 Pembangunan mewujud dalam menara telkomsel di tepi desa. Jalan oto  di depan rumah, sudah mulus.  Dulu, jalan ini adalah sungai abu saat kemarau, saat ada bis kayu lewat.
Hari telah soreh, letika saya tiba kemarin. Saat turun, Nina adikku bungsu, diam saja. Ia lupa wajahku karena tak pernah saya kirim foto terbaru. Lagipula dia sedang sibuk main HP.
"Hari ini kita ke kampung tua, kak. Ada persiapan festival adat sesudah Natal" kata adikku membuyarkan lamunanku.
Di kampungku, akhir Desember adalah rangkaian pesta. Setelah Natal, ada festival adat,27-29 Desember, lalu ditutup dengan  Tahun Baru.
"Apakah pesta adat masih seramai dulu" batin saya. Orang-orang takut pada corona. Lagipula, kampung agak sepi. Anak-anak muda pergi ke Kalimantan. Cari kerja di kebun sawit. "migrasi intersuler" kata guru SMA dulu.
Tiga puluh  tahun lalu. Usia saya 20. Om Lamber pulang dari Sarawak. Pake rolex warna emas. Kemudian saya tahu itu rolex palsu. Ia juga bawa tep besar. 20 baterai. Tiap pagi diputarnya lagu keras-keras. Tep itu yang membuat saya akhirnya ikut Om Lamber 'melarat' ke Serawak.
 "Om Jose juga bilang nanti ada upacara kago mae (merangkul kembali jiwa) kakak.  Karena lama tak pulang dari Malaysia", lanjut Nina.
Dalam tradisi kami, rumah leluhur adalah tempat jiwa. Merantau  lama tanpa khabar sama dengan  kematian. Karena itu, jiwaku harus dirangkul pulang.
 Adikku masih sibuk menata rambutnya yang keriting. Saat kami masih sekolah, saya sering meledek rambutnya sebagai sebagai hutan lindung kutu rambut. Pada raut muka adikku, ada wajah almarhum Ibu yang lembut tapi tak pernah kompromi kalau soal sekolah
"Sekolah bukan untuk jadi PNS, tetapi supaya tidak mudah ditipu orang" kata-kata Ibu yang terus diulang kalau kami terlambat ke sekolah.
"Kak, misa Natal, jam tujuh malam. Kita  ke gereja naik oto om Gaspar. Kakak mau pake celana panjang atau sarung tenun?", tanya adikku. Sudah 24 Desember. Kami baru pulang dari kampung adat.
Angin asin laut Sawu membawa dentang lonceng gereja St. Mateus. Letaknya kira-kira 3 kilometer dari rumah kami. Di gereja itu saya dibaptis dengan nama Thomas oleh Pater Varstellen. Ia asal Belanda. Â
"Saya pake sarung tenun ikat saja" kataku sambil mencukur uban kumisku. Di depan rumah, orang-orang beriringan menuju gereja. Mereka rata-rata mengenakan tenun ikat.
"Tak lama lagi Om Gaspar datang jemput Kak" kata adikku sambil menyodorkan sarung tenun ikat. Kuterima tergesa dan memakainya.
Sarung kumasukkan dari kepala. "Jangan pake sarung dari kaki, sarung itu ditenun kaum perempuan kita dengan hati, jadi jangan diinjak", Â pesan nenek di suatu soreh.
Aroma pewarna alami menyeruak dari sarung. Saya ingat jari-jari nenek yang membiru. Biru pohon tarum, pewarna benang.
Saat menenun kadang-kadang nenek menyelipkan beberapa utas rambutnya di antara benang. "agar sejuk. Jika kau demam dan jauh dari kampung. Pakelah sarung tenun. Kau akan sembuh", kata nenek ketika kutanya.
Kenangan akan nenek terpenggal oleh ketukan keras. Â "Ayah, ditunggu Ibu", Hamidah putri kedua berdiri di pintu dengan wajah basah.Â
Senja mulai luruh di langit Serawak, saat Adzan berkumandang. Siti, Istriku dan dua adik Hamidah sudah menungguku, Hamid Askandar, imam mereka.
Kupandang wajah, Nina, adik bungsuku di dinding feisbook, lalu logout dan mengambil air Wudhu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H