Mohon tunggu...
Nikolaus Loy
Nikolaus Loy Mohon Tunggu... Dosen - Dosen HI UPN Veteran Yogyakarta

Menulis artikel untuk menyimpan ingatan. Menulis puisi dan cerpen untuk sembuh. Suka jalan-jalan ke gunung dan pantai. Suka masak meski kadang lebih indah warna dari rasa.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kapitalisme Kesepian

23 Desember 2021   01:34 Diperbarui: 11 Maret 2022   18:52 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://lifestyle.kompas.com/read/2018/10/10/161801020/

"Membunuh sepi itu dahsyat dan melelahkan. Mereka banyak dan tak habis-habis. Kaubunuh satu sepi, sepuluh sepi datang kemudian.".  Ini adalah kutipan dari deskripsi kumpulan cerpen berjudul USAHA MEMBUNUH SEPI, karya Felix Nesi. Kumpulan ini terbitan 'Pelangi Sastra',  2019.

Banyak orang kesepian. 'Usaha membunuh Sepi', seperti judul antologi Felix, terus dilakukan. Meskipun demikian, kesepian tak pernah mati, malahan menjadi masalah global. Ia cenderung dilupakan. Jauh sebelum corona memperbanyak sepi,  banyak orang sudah kena penyakit sepi di dunia luas dan riuh ini. WHO  bilang bahwa 20-30 %  orang tua menderita kesepian (www.jacobinmag.com/2021). Mereka tinggal di India, Eropa dan Amerika Latin. Tentu saja di Indonesia.  

Apakah teknologi informasi , termasuk medsos, menyebabkan kesepian? Kalau tidak? Lalu apa yang bikin orang merasa tak punya teman di tengah hiruk pikuk hidup manusia?

Medsos dan Kesepian

Apa itu kesepian? Ensiklopedia Britanicca menyebutnya sebagai "perasaan tertekan yang dialami ketika seseorang memiliki persepsi bahwa kualitas dan kuantitas hubungan sosialnya kurang dari yang diharapkan". Sedangkan Butler.et.al (2018) menenggarai kesepian itu sinyal kekurangan  kedekatan, cinta dan rasa aman.

Mengalami 'sepi' itu personal dan subyektif. Berbeda dari orang ke orang. Tak peduli kaya atau miskin. Rasa sepi  bahkan bisa muncul  ketika berada di keramaian. Sering ia bawa 'kembaran' yakni rasa tanpa harapan, hidup tak bermakna, hilang arah dan tak dipedulikan. Depresi adalah salah satu dampak kesepian. Pada titik ekstrim kesepian menjadi penyebab tindakan bunuh diri.

Apakah internet, facebook, twitter, skype atau Instagram menjadi sumber kesepian? Jawabannya ternyata tidak seragam. Pendapat umum percaya bahwa teknologi bikin hati makin sepi. Tidak selalu begitu. Dampaknya cenderung kontradiktori. Di satu pihak,  'connecting people'seperti tagline Nokia, merek hape yang sudah almarhum. Di pihak lain 'disconnecting people'.

Teknologi komunikasi termasuk medsos memberi banyak teman. Pada saat bersamaan, 'membunuh' banyak teman dan membuat orang kesepian. Karna itu, Menkeu Sri Mulyani,  saat Fintech Summit 2021 (11/12), mengkhawatirkan  bahwa 2045 banyak orang kesepian karena tidak bisa 'engage' dalam dunia virtual.

Cerdik pandai menemukan bahwa hubungan  teknologi medsos dan kesepian tak bersifat langsung. Ada prakondisi yang harus dipenuhi. Medsos memperkuat kesepian pada mereka yang memiliki relasi sosial terbatas. Khususnya orang yang memiliki karakter anti-sosial karena berbagai sebab, seperti trauma. Dengan kata lain, medsos merampas teman dari orang yang memang hanya punya sedikit teman.

Teknologi ini menarik lebih dalam orang-orang yang 'tak gaul' ke dalam suaka personal di ruang maya. Dengan kata lain, makin sedikit teman, makin dalam seseorang 'memayakan' pertemanan. Pada mereka yang memiliki relasi sosial yang bagus, medsos memperkuat  pertemanan.

Dampak positif medsos misalnya dibilang oleh William Chopik (2016), psikolog dari Michigan State University. 600 orang dewasa yang ia ditanyai menjawab bahwa medsos bikin 'usaha membunuh sepi' mereka berhasil. Bahkan  kesehatan mereka lebih baik, penyakit kronis dan  gejala depresi juga berkurang

Melissa Hunt (2018), psikolog Universitas Pennsylvania, omong sebaliknya.  Ia mewawancari orang-orang muda berusia 18-22 tahun. Temuannya,  makin sedikit pakai medsos, makin kurang rasa sepi. Artinya, makin sering main medsos justru makin merasa kesepian.

Studi yang dilakukan pada kelompok orang tua menunjukkan bahwa medsos justru membantu mengurangi kesepian.  Medsos mengatasi keterbatasan bergerak, kesulitan pertemuan fisik dan berkurangnya teman sejalan dengan usia menua.

Lalu apa yang memperanakkan sepi? Bukan internet dan teknologi medsos, tetapi kapitalisme. Kapitalisme hanya bertahan kalau terus memperbanyak diri dengan berekspansi. Industri hotel bertumbuh, kalau ada investasi baru, ada hotel baru dan seterusnya.

Pertumbuhan kapitalisme membutuhkan manusia pekerja kapitalis.  Jadwal padat, jejaring luas, pertemuan demi pertemuan, rekan bisnis pertama sampai ke sekian adalah kultur kerja kapitalis. Ekonomi kapitalis membunuh waktu luang bersama keluarga, jam kerja panjang, tekanan pekerja tinggi. 'orang rumahan' makin banyak jadi 'orang kantoran'. Rumah besar menjadi dibangun bukan untuk ditinggali, tetapi ditinggalkan.

Kapitalisme "tempat ke 3"

Anak dari kapitalisme kesepian, tetapi kesepian menjadi kapitalisme itu sendiri. Yang dimaksud adalah 'usaha membunuh sepi' menumbuhkan industri baru dan akumulasi kapital baru. 

Pertama, industri 'tempat ke-3. Sosiolog perkotaan AS, Ray Oldenburg (1930-an) mengembangkan konsep 'tempat ke 3'. Sebuah solusi mengatasi sisi gelap perkotaan yakni kesepian penghuninya. Tempat pertama itu rumah dan zona pribadi lain. Tempat kedua mencakup sekolah, universitas atau tempat kerja. Banyak orang menghabiskan sebagian besar waktunya di tempat kedua.

Tempat ketiga merujuk pada lokus di mana orang bisa pergi dan datang sesukanya, suasananya informal, ada 'perasaan-seperti desa' (https://theconversation.com). Masuk dalam kelompok ini adalah taman kota, perspustakaan umum atau tempat terbuka lain yang ada di kota. Juga tempat umum yang berbayar tapi informal seperti caf.

Mereka yang kesepian tetapi berduit lalu mencari 'tempat ke-3" sendiri. Caranya dengan pindah ke pinggiran kota, ke kota kecil atau ke desa. Rumah  di pinggir kota, tetapi berfungsi sebagai 'tempat ke-3" yakni suaka personal dari kesepian kota. Pinggiran kota mungkin sepi manusia, tetapi 'ramai' dalam interaksi fisik, sosial dan alam sekitar.         

Mereka yang 'lari'  ke pinggir kota atau kota kecil, rata-rata pensiunan dan orang tua. Kelompok ini  memiliki  hubungan sosial makin terbatas di kota. Patut diduga bahwa perkembangan beberapa kluster perumahan  di Yogya, misalnya, didorong oleh 'pelarian' dari kota-kota besar. Mereka adalah para  pensiunan yang kesepian di kota-kota metropolitan seperti Jakarta dan Surabaya.

Yang ditawarkan adalah suasana pedesaan dengan interaksi antar penghuni lebih terbuka. Di pemukiman 'pedesaan' ini orang-orang tua, yang seringkali melewati masa kecil di desa, menemukan kembali suasana 'guyub' desa. Sebagian di antara mereka mungkin para migran yang tidak bisa melupakan kultur 'ndeso' meski telah menjadi pejabat, professional atau pebisnis sukses di kota.

Kesepian juga mendorong anak-anak muda 'melarat' (merantau) ke kota. Studi yang dilakukan di Inggris tahun 2012, urbanisasi orang muda didorong oleh rasa sepi tinggal di desa. Mereka tertarik dengan fasilitas 'membunuh sepi'  seperti cafe, klub sosial, grup musik dan aktivitas anak muda lain. Perpindahan ini mendorong industri real estate untuk melayani kebutuhan kaum muda.

Bagaimana di Indonesia? Tipe kesepian lain, yakni 'kesepian ekonomi' di desa membuat sulit mendapat perkerjaan. Orang-orang muda bergerak ke Jakarta, Surabaya, Bandung dan kota lain yang 'tidak sepi' pekerjaan. Efek pamer medsos soal keramaian kota juga mendorong mereka meninggalkan sawah dan ladang di desa. Datang ke kota dan menikmati keramaian kota dengan semua resikonya.

Porno-capitalism

Pornografi adalah industri yang ditopang rasa sepi. Studi yang dilakukan Butler et.al (2018) terhadap 1247 orang menemukan bahwa ada hubungan antar rasa sepi dan kecanduan pornografi (www.psychologytoday.com/). Orang-orang  kesepian melarikan diri ke  pornografi.

Mengapa? Bagi Butler, kesepian  itu sinyal akan adanya kebutuhan akan kedekatan, cinta dan rasa aman. Kebutuhan ini tak terpenuhi karena ketidaan kedekatan dengan orang, atau kelompok, atau komunitas. Sexualitas adalah kekuatan penting yang mengikat manusia satu sama lain.

Hal ini menjelaskan mengapa orang lari ke pornografi ketika merasa tidak memiliki keterikatan emosional dengan orang lain. Pelaku industri pornografi menyediakan 'obat' bagi kesepian melalui berbagai produk. Dalam hal ini, kesepian hanya salah satu sebab kecanduan pornografi, bukan satu-satunya sebab.

 Meski secara moral salah, pornografi adalah industri global. Kasia Wosick, sosiolog New Mexico State University memperkirakan $ 97 Miliar nilai industri mesum global. Antara $ 10 - $12 Miliar  berasal dari Amerika Serikat.

Bagaimana Indonesia? Sulit memperoleh data konsumsi dan nilai industri pornografi di negara relijius ini. Skrining oleh Kemenkes di tahun 2018 menjadi indikasi kuat konsumsi pornografi. Skrining dilakukan  terhadap 1.314 responden pelajar di Jakarta Selatan dan Kabupaten Pandeglang. 

Sebanyak 98,3 % telah terpapar pornografi. Kasus-kasus video porno yang terus berulang adalah fakta lain. Kesepian anak-anak remaja mungkin salah satu factor di balik konsumsi produk pornografi yang meningkat.

Narco-Capitalism

"Nia Ramadhani Mengaku Kesepian Jadi Alasan Konsumsi Narkoba". Ini adalah sepotong judul berita 'Pikiran Rakyat", tanggal 16 Desember 2021. Apakah Nia berkata demikian, atau merupakan framing media, kita tidak tahu. Yang pasti ada hubungan erat kesepian dan konsumsi narkoba. Artis lain seperti Nunung dan Tio Pakusadewo diduga menggunakan narkoba karena alasan kesepian.

Orang yang merasa sepi, ditolak dan tak dicintai melarikan diri ke narkotika. Kesepian melanggengkan kecanduan narkoba. Lalu lingkaran setan terjadi. Konsumsi narkoba akibat kesepian, membuat pecandu ditolak secara social. Penolakan ini membuat pecandu makin merasa sepi dan makin sulit lepas dari narkoba.

BNN yang mengutip World Drug report melaporkan bahwa ada 269 juta pengguna narkoba di dunia di tahun 2020. Sampai dengan tahun 2021, pecandu narkoba di Indonesia mencapai 3,4 juta orang. Jumlah ini dihasilkan dari survei BNN dan LIPI (https://fin.co.id). Pada tahun 2017 saja, nilai penjualan narkoba mencapai Rp 250 Triliun. (https://ekonomi.kompas.com).

Perputaran uang dari bisnis haram ini akan meningkat seiring perluasan sisi gelap kota yakni kesepian. Ada indikasi kuat bahwa kecanduan di kalangan remaja juga disebabkan oleh perasaan sendirian dan ditolak.

Kapitalisme kecantikan

Ada dugaan bahwa sindrom kesepian mendorong konsumsi kosmetik. Meskipun ada banyak pendapat yang menolak argumen ini. Hubungan rasa sepi dan belanja komestik tidak bersifat langsung.

Rasa sepi meningkatkan kebutuhan pada 'attachment'. Ini adalah keinginan memiliki relasi dekat dengan orang lain. Di kalangan remaja, hal ini menyangkut kebutuhan akan teman sebaya.

Salah satu cara untuk menambah teman adalah dengan menjadi lebih menarik secara fisik. Karena itu, mereka yang berada pada fase remaja akhir (18-19) cenderung melakukan belanja komestik lebih banyak. Riset-riset psikologis menunjukkan para remaja tahap akhir cenderung mengalami perasaan tidak aman dan kesepian.

Fenomena ini ditangkap oleh industri kecantikan. Mereka menciptakan produk-produk kosmetik untuk remaja untuk meningkatkan penjualan. Pada tahun 2018, nilai industri kosmetik global mencapai $ 507.8 Miliar. Di Indonesia nilai pasar kecantikan dan perawatan diri  diperkirakan mencapai US$ 6.03 miliar pada 2019. Sebagian dari nilai ini, disumbang oleh kosmetik remaja.

Mencintai kesepian?

Bagaimana mengatasi rasa sepi? Ada banyak tips di internet. Mana yang efektif sangat tergantung karakter dan pola kesepian setiap orang. Kalau sindrom kesepian  agak parah, mungkin perlu ke psikolog. Misalnya kalau anda mulai menarik diri lebih jauh.

Kesepian berkaitan dengan kebutuhan akan relasi emosional dengan orang lain. 'Usaha membunuh sepi', meminjam frasa Felix Nesi dapat dimulai dengan terlibat dalam kelompok lebih besar. Kelompok hobi dapat menjadi salah satu alternatif. Bergabung dalam grup 'nyepeda', arisan atau grup memancing. Yang penting bukan mancing keributan. Selain  hobi,  aktivitas keagamaan seperti pengajian tidak hanya mempertemukan dengan Tuhan, tetapi juga dengan teman.  

Cara lain menghadapi kesepian adalah 'mencintai sepi' itu sendiri. Kesepian dapat menjadi sangat produktif kalau dicintai. Cara mencintai sepi adalah menulis, melukis atau berkebun. Ketika jauh dari keluarga saat studi, kadang-kadang saya diserang  kesepian luar biasa. Apa yang lakukan adalah 'mengungsi' ke perpustakaan, ke dalam tulisan-tulisan. Salah satu kegiatan adalah belajar menulis puisi. 

Seorang sastrawan yang saya minta mengkritik puisi-puisi itu bertanya, "mengapa puisi-puisimu terkesan gelap dan misterius?". Karena mereka lahir dari Rahim rasa sepi. Puisi-puisi itu jadi  penawar yang menjinakkan kesepian. Setiap orang memiliki cara sendiri-sendiri menghadapi kesepian. Satu yang harus dicatat, jangan kalah pada kesepian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun