Mohon tunggu...
Nikolaus Loy
Nikolaus Loy Mohon Tunggu... Dosen - Dosen HI UPN Veteran Yogyakarta

Menulis artikel untuk menyimpan ingatan. Menulis puisi dan cerpen untuk sembuh. Suka jalan-jalan ke gunung dan pantai. Suka masak meski kadang lebih indah warna dari rasa.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Joao

12 Desember 2021   17:35 Diperbarui: 12 Desember 2021   17:38 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namanya Joao Sebastian Kaju. Ia dibaptis saat kecil oleh imam Katolik asal Porto. Alih-alih diberi nama Yohanes, imamnya memberi nama Joao,  'John' dalam versi Inggris, 'Giovanni' di Italia, 'Juan dalam versi Spaniard atau mungkin jadi Jono dalam versi Jawa.

Masalahnya bukan di situ. Masalahnya kami berselisih paham soal nama. Ia tak suka dipanggil Pak Kaju. Ini adalah  nama keluarga warisan moyang, para penakluk laut Sawu, lalu mendiami lembah dan gunung di Flores. Kawan ini, bukan satu-satunya orang yang tak suka dipanggil dengan nama keluarga. Beberapa orang yang saya temui juga tak suka dipanggil dengan nama lokal. Nama yang diberi diberi oleh dukun bayi. Ditetapkan  setelah si bayi bersin tiga kali saat dipanggil.

Nama lokal sering bermakna dalam. Kaju, kayu dalam bahasa Indonesia itu 'genuine', melambangkan keteguhan tapi juga kelenturan. Karena itu, rumah-rumah adat di Ngada berbahan kayu, tanpa paku, saling menggenggam atau menggunakan pasak kayu juga. Sebuah arsitektur vernakular yang lahir dari  kecerdasan  mengobervasi iklim dan pola gempa selama ratusan tahun.

Rumah-rumah ini, yang sekarang menginvasi  instagram,  menari saat gempa dan hanya mengangkat pantatnya saat badai, agar angin lewat. Jarang sekali rubuh. Flekibilitasnya ada pada Kaju. Kaju hidup adalah tempat bernaung, dan menggantung kehidupan yakni bahan pangan, seperti jagung atau dendeng karabau.

"What's in a name? Kata William Shakespeare, pujanggga Inggris. "Mawar dikasih nama lain pun akan tetap harum" kata dia. Bapak ini keliru. Bapak Pembangunan , penguasa Orde Baru,  Jenderal besar, Soeharto, tidak akan memaksa turunan Tionghoa meng-indonesia-kan nama, kalau tidak ada alasan penting.

Integrasi nasional, asimilasi adalah tujuan yang membuat Lim Sioe Liong menjadi Sudono Salim. Katanya, kebijakan ini membuat seorang pastor Eropa yang menjadi WNI memilih nama belakang Sulama (sudah lama) di Indonesia.

Nama bulannya tanpa arti. Ia menjadi masalah besar dalam banyak hal. Salah tulis nama dalam undangan bisa menuntut maaf berkali-kali. Dalam teks hukum, nama yang tak pas, karena typo, bisa membuat kekuatan dokumen hukum hilang. "Nama yang salah menghasilkan subyek hukum yang salah dan tidak bisa diteruskan proses hukumnya", kata kawan saya seorang pengacara.

Dan nama itu, Kaju, menjadi masalah juga dalam hubungan pertemanan kami. Mengapa ia menolak dipanggil Kaju. Ia lebih suka dipanggil Jo atau Bastian. Dalam satu kesempatan, Joao bilang Kaju itu nama kampung,  'kampungan'. Jo itu keren.

Darimana semua konstruksi kognitif ini berasal?. Sumbernya mungkin kolonialisasi yang membawa orang-orang Eropa, Asia, Afrika dan Amerika Latin. Eropa membawa nama baru yang kemudian diadopsi oleh kitorang, penghuni tanah jajahan.

Kolonialisasi menghasilkan  Eropanisasi nama. Di permukaan kelihatan sepele, sekadar adopsi nama Eropa. Dampaknya jauh lebih dalam karena nama Eropa adalah meng-eropa-kan orang bukan Eropa. Dengan mengganti nama Eropa, terjadi transformasi kognitif. Jika nama Kaju adalah 'Inlander', Joao adalah 'highlander'. Memakai nama Joao dan nama-nama Eropa lain, mengubah oerientasi kognitif orang pribumi, yang diasosiasikan sebagai terbelakang, kolot, kampungan, menjadi "British' (Eropa).

Dan pengaruhnya tidak selesai setelah dia orang diusir dari Asia Tenggara, Amerika Latin atau Afrika. Meski sudah merdeka, preferensi pada nama Eropa adalah salah satu sindrom itu. Kita mengidap semacam sindrom 'mind colonialism. Secara fisik sudah merdeka, tetapi fikiran masih dijajah. Kolonialiasi fikiran.

Selama masa kolonial, Eropa adalah peradaban, modernitas dan kemajuan. Memakai nama Eropa adalah tiket masuk ke 'trah'  yang diasosiasikan dengan kemajuan. Seraya melupakan kegetiran, penyakit, kemiskinan, kelaparan yang menjadi 'kutukan' pribumi.  Apakah hanya terbatas pada orientasi identitas? Tidak. Nama pada era kolonial adalah tiket untuk mengakses sumber daya politik dan ekonomi. Mengadopsi nama Eropa, bukan satu-satunya, tetapi salah satu jalan menggapai status pegawai kolonial, posisi-posisi lain dalam birokrasi kolonial, sekolah Eropa dan previlese lain di bawah rezim colonial.Eropanisasi nama berdampak jauh lebih kuat pada transformasi identitas pribumi ketika terjadi bersamaan dengan bahasa dan agama.

 Yang terakhir nama Joao atao Yohanes adalah tiket masuk surga. Dengan dibaptis menjadi Joao, kamu bukan saja bisa mengakses 'Eropa'. Nama ini adalah semacam 'password' untuk  bisa mengakses surga karena pembabtisan adalah jalan pada keselamatan di akhirat.

Mungkin,  karena itu, kawan saya di atas menolak 'kaju' yang diasosiasikan dengan dukun dan agama lokal. Dalam agama dan nama lokal, surga kadang-kadang tidak jelas digambarkan. Dalam agama baru, ke mana Joao nanti masuk atau dimasukkan, surga digambarkan jauh lebih jelas. sebagai Firdaus, tempat penuh susu dan madu, tempat singa bermain dengan anak kambing, mungkin juga ada bidadari. Semacam suaka eternal untuk lari dari dunia yang penuh kekerasan, penderitaan dan darah.

Jadi, sebuah nama bukannya tanpa arti. Nama itu sumber daya ekonomi dan politik. Sebuah lagu dangdut lebih laku oleh penyanyi memakai nama Nela Kharisma, atau Evangelista dibanding Surti. Nama adalah pembentuk identitas, keutuhan kognitif individu. Kebanggaan personal.  Ia merupakan sebuah doa. Diberi nama Slamet agar selamat, Bagyo agar bahagia, Sri Rezeki agar berlimpah rezeki. Apakah Suharto berate semoga berharga.

 Kadang-kadang adik-adik dari Timur mengganti nama dari Kobu, versi lokal Yakobus, menjadi Jack atau Bob ketika tiba di Yogya. Mudu, versi lokal dari Raymundus, menjadi Raymond. Sebuah cara masuk, paling kurang secara kognitif,  ke dalam register  kerajaan urban dan modernitas. Mungkin lho!

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun