Selama masa kolonial, Eropa adalah peradaban, modernitas dan kemajuan. Memakai nama Eropa adalah tiket masuk ke 'trah' yang diasosiasikan dengan kemajuan. Seraya melupakan kegetiran, penyakit, kemiskinan, kelaparan yang menjadi 'kutukan' pribumi. Apakah hanya terbatas pada orientasi identitas? Tidak. Nama pada era kolonial adalah tiket untuk mengakses sumber daya politik dan ekonomi. Mengadopsi nama Eropa, bukan satu-satunya, tetapi salah satu jalan menggapai status pegawai kolonial, posisi-posisi lain dalam birokrasi kolonial, sekolah Eropa dan previlese lain di bawah rezim colonial.Eropanisasi nama berdampak jauh lebih kuat pada transformasi identitas pribumi ketika terjadi bersamaan dengan bahasa dan agama.
Yang terakhir nama Joao atao Yohanes adalah tiket masuk surga. Dengan dibaptis menjadi Joao, kamu bukan saja bisa mengakses 'Eropa'. Nama ini adalah semacam 'password' untuk bisa mengakses surga karena pembabtisan adalah jalan pada keselamatan di akhirat.
Mungkin, karena itu, kawan saya di atas menolak 'kaju' yang diasosiasikan dengan dukun dan agama lokal. Dalam agama dan nama lokal, surga kadang-kadang tidak jelas digambarkan. Dalam agama baru, ke mana Joao nanti masuk atau dimasukkan, surga digambarkan jauh lebih jelas. sebagai Firdaus, tempat penuh susu dan madu, tempat singa bermain dengan anak kambing, mungkin juga ada bidadari. Semacam suaka eternal untuk lari dari dunia yang penuh kekerasan, penderitaan dan darah.
Jadi, sebuah nama bukannya tanpa arti. Nama itu sumber daya ekonomi dan politik. Sebuah lagu dangdut lebih laku oleh penyanyi memakai nama Nela Kharisma, atau Evangelista dibanding Surti. Nama adalah pembentuk identitas, keutuhan kognitif individu. Kebanggaan personal. Ia merupakan sebuah doa. Diberi nama Slamet agar selamat, Bagyo agar bahagia, Sri Rezeki agar berlimpah rezeki. Apakah Suharto berate semoga berharga.
Kadang-kadang adik-adik dari Timur mengganti nama dari Kobu, versi lokal Yakobus, menjadi Jack atau Bob ketika tiba di Yogya. Mudu, versi lokal dari Raymundus, menjadi Raymond. Sebuah cara masuk, paling kurang secara kognitif, ke dalam register kerajaan urban dan modernitas. Mungkin lho!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H