Banjir dan asap juga begitu. Para pengusaha jelas tidak akan menghitung banjir dan polusi sebagai biaya produksi dalam neraca perusahaan. Kalau banjir dan asap langsung bisa mempengaruhi ongkos produksi maka, perusahaan akan berupaya keras mengurangi banjir. Tidak ada teknologi untuk mengidentfikasi ini banjir siapa atau asap siapa.
Lalu bagaimana? Negara dan hukum yang menggantikan mekanisme pasar. Melalui hukum dan kebijakan, negara dapat mencegah perusahaan 'menghasilkan' produk sampingan yang bernama banjir atau asap. Misalnya dari 2000 ha konsensi, 200 ha untuk warga desa setempat, 100 ha atau berapa yang cocok, harus dipertahankan sebagai di sela-sela perkebunan.Â
Tak masuk akal? Ya barangkali, tetapi banjir di mana-mana sangat menampar akal manusia Indonesia yang sehat. Banjir di Kalimantan jelas berhubungan dengan mekanisme pasar yang serakah dalam perluasan kebun sawit dan tambang. Sementara keuntungan tambang dan sawit dinikmati pemilik, produk samping mereka menimbulkan 'luka' bagi masyarakat. Kalau presiden sudah mengkambinghitamkan curah hujan dan luapan sungai. Siapa mo Help?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI