"Dari mana? Ko kamu berkeringat?" tanyaku pada Tony. "Kamu tidak lihat apa di tanganku?" Kata Tony sambil melemparkan bola dari tangannya. Tergesa aku menangkap bola itu dan menggulingkannya ke kolong tempat tidur.
"Kapan masuk pelatnas?" tanyaku. Tony diam saja. Dari kami bertiga ia jago main bola. Sejak sekolah dasar, Tony pasti langsung ke lapangan bola setelah pulang sekolah. Ia lolos seleksi  masuk tim nasional.
Sejak ia pulang liburan, banyak undangan makan  dari kerabat jauh pada Ibu. Macam-macam alasan untuk acara makan. Ada pesan tambahan pada Ibu di setiap undangan, Tony harus diajak. Kerabat yang mengundang , sudah kutebak, punya anak dara yang telah cukup umur untuk berumah tangga.
"Mikir apa? Ko diam saja" Ano, kembarku yang lain membuyarkan pikiranku. "Nada lanjutan" jawabku sekenanya. "ah, lagu itu lagi, kapan kau rampungkan studimu?, emak sudah sering bertanya" kata Ano.
Aku diam saja tak menjawab. Emak memang sudah ingin aku wisuda agar bisa dibuat gambar dan dikasih pigura. Emak akan menempatkannya di samping foto Tony pake kostum garuda. Foto-foto itu akan digantung di dinding kamar tamu agar bisa dipamerkan pada kenalan yang datang.
Ano duduk di depan kamar mengutak-atik mesin sepeda motor tuanya. Ia ahli otomotif. Kadang-kadang aku pikir ia jatuh cinta pada mesin. Di antara kami bertiga, Ano adalah yang paling mudah marah. Pemuda tetangga pernah dilemparnya dengan bata. Perkaranya ia  mengganggu adik perempuan kami yang baru mekar dada.
Kalau marah, tidak ada nasihat atau ayat yang bisa membuatnya diam. Cuma hardikan emak yang bisa meredakan amarahnya. Sudah lama ayah cemas, Ano bisa masuk penjara jika ada bata lagi hinggap di kepala orang.
Aku bersenandung kecil mencari nada lanjutan. Lagu ini mesti selesai sebelum kampanye pilkada serentak dibuka. Kawanku seorang pengusaha ternak, mencalonkan diri jadi Bupati. Ia minta bikinkan lagu bersyair ringan, bersemangat namun mudah diingat.
"Untuk menaikkan elektabilitas" kata manajer kampanyenya saat memesan lagu itu. Pikiranku tak bisa fokus.
Bau tak sedap sepatu Tony memenuhi ruangan. Lagipula ia teriak-teriak menirukan lagu dari earphone. Entah lagu apa karena yang kudengar potongan-potongan syair tak jelas dalam nada sedatar mistar gawang. Ano marah-marah dan beberapa kali dia menegur Tony. Tony terus bernyanyi. Kulihat Ano menggenggam kunci Ingris makin keras.
"Diam" ia berteriak dan urat lengan nampak menonjol saat ia memperat pegangan pada kunci Inggris.
Aku cemas dengan tatapan mata Ano. Tatapan yang  kulihat beberapa saat sebelum bata rumah menabrak dahi pemuda tetangga. Tergesa, kubuka laci meja belajar.Â
Dari dalam botol kaca, dua butir  risperidone kukeluarkan. Kutelan  cepat bersama satu teguk air mineral.Â
Perlahan, Ano kemudian tenang. Ia melepas kunci Inggris di tangannya. Tony juga diam. Lalu keduanya masuk dalam kepalaku dan tidur mendengkur di dalamnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H