Mohon tunggu...
Nikolaus Loy
Nikolaus Loy Mohon Tunggu... Dosen - Dosen HI UPN Veteran Yogyakarta

Menulis artikel untuk menyimpan ingatan. Menulis puisi dan cerpen untuk sembuh. Suka jalan-jalan ke gunung dan pantai. Suka masak meski kadang lebih indah warna dari rasa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Folder No. 6

21 November 2020   19:00 Diperbarui: 21 November 2020   20:34 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"In the arm of angel, may you find some comfort here",  lagu 'Angel' Sarah Mclachan dari yutub bungkam, saat Yanita menyentak mouse agak keras. Bapaknya mungkin sudah di pelukan malaikat. Dan ini, sudah 4 hari ia mencoba membuka folder No-6 di laptop. Milik Pranoto Brotodiprojo,  almarhum Bapaknya.

Seminggu lalu, Bapaknya meninggal. "serangan jantung" kata dokter. Rapat-rapat melelahkan  tak dapat ditanggung jantung Bapak. Soalnya sudah dipasangi 3 ring. Sebagai sekertaris DPD partai, Bapak tak bisa menghindar. Apalagi sebentar pilkada serentak. Target partai 10 dari 15  kursi Bupati.

Ia sering membantu Bapaknya mengoreksi surat-surat atau edaran partai. Karena itu, tahu betul isi belasan folder dalam laptop. Tapi folder nomor 6 itu dikunci, dia minta paswor. "Isinya rahasia negara', kata bapak saat ditanya apa isi folder itu. Sejak itu, ia tak pernah bertanya.

 Ia menghormati privasi Bapaknya. Bukankah semua orang punya rahasia?  Apalagi sebagai orang partai. Bahkan yang disebut bukan rahasia sebenarnya sembunyikan rahasia.

Di universitas, ia belajar ekonomi. Angka-angka terang itu, seperti pertumbuhan ekonomi 5 %, sedang sembunyikan rahasia.  Dalam   angka itu, negara sembunyikan belasan juta orang miskin. Bahkan dalam kata-kata yang paling jujur, ada rahasia-rahasia yang tidak dijujurkan. Seperti ibunya, selalu   bilang suka, apapun yang dibelikan bapak.

Selain folder no.6, ada folder lain. Yanita ingin membukanya. Soal leluhur. "Kakekmu Brotodiprojo, si mbah putri namanya Astuti". Kata bapaknya saat ia bertanya di suatu soreh,  di pantai Kolbano. "Sedulurmu semua mati waktu Merapi mledug  1994.  umur Bapak 22 tahun.".

Bapak lalu ceritera Ibu dari kampung yang sama di lereng Merapi. Mereka selamat karena kuliah di Solo. Setelah  menikah lalu pindah ke Kupang.

Hujan deras di atap rumah membuyarkan ingatan akan ceritera bapaknya. "Tapi folder ini apa isinya?, rahasia negara?" Yanita menghela napas. Diingatnya berbagai kesukaan bapak. Dari cerutu sampai judul lagu. Ia coba masukkan sebagai paswor, tetapi gagal.

Kakinya kesemutan. Ia berdiri dan meregangkannya. Hujan deras membentuk aliran buram di kaca jendela. Di balik jendela, kamboja kuning meliuk disergap angin.

Yanita tersentak. Itu kembang kesayangan bapak. Kamboja di pot pualam. Bapak selalu menyanyikan lagu untuk kamboja itu saat  menyiramnya. "biar cepat berbunga" kata bapak saat ia tanya mengapa nyanyi untuk kembang itu.

"Kamboja kuning", gagal. "Pohon kamboja" gagal lagi. "Yellow" gagal. "Yellow kamboja". Foolder itu terbuka. File-file JPG muncul berurutan seperti orang turun tangga. Ia maklum laptop itu agak lama dan ram-nya kecil.

Terdiam, matanya tertuju pada file KK. Ia mengklik dengan cepat. Sebuah foto KK lama berwarna merah muncul. Jantung Yanita berdegup, seluruh ototnya tegang. "Nama Kepala Keluarga: Broto Diprojo". Anggota keluarga 1. Astuti.

Matanya terpaku pada nomor 2 dan tiga. Awan hitam berpusar di langit-langit kamar dan menyerbu ke dalam kepalanya. Jadi, Bapak dan Ibunya? jadi hemofilia yang dideritanya?  Pertanyaan itu terhenti karena di pintu,  Ibunya pingsan.  Di kolom anggota keluarga tertulis: 2. Pranoto Brodiprojo. 3. Haryanti Brotodiprojo.  Satu tetes air mata mengalir dari pipi Yanita lalu jadi banjir di halaman rumah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun