Potongan lirik lagu Tulus 'Hati-hati di jalan' adalah fenomena yang menggambarkan sebuah hubungan yang terjalin tanpa kepastian pada ujungnya. Anggapan akan berakhir Bersama,  dipatahkan oleh beberapa hal yang tidak seirama satu sama lain.
 Bukan lagi kecocokan di awal perjalanan, namun bagaimana lika-liku seseorang menjalani harinya dengan orang yang dipercayai akan menjadi masa depannya. Kecocokan itu hanya bonus, menciptakan keseimbangan di tengah crowdednya cobaan hidup adalah salah satu penilaian untuk menentukan masa depan.
 'Hati-hati di jalan' mulai merebak didendangkan setiap orang dimanapun dan kapanpun, asal suasananya mendukung. Seperti situasi hari ini, saat sang gubernur DKI Jakarta, Anis Baswedan, melepas jabatannya.
 Hm... Pak Anis ini memang meninggalkan banyak sekali cerita untuk ibu kota. Sedih pasti saat sang gubernur pamit, 'hati-hati di jalan' pun seharusnya dinyanyikan dengan perasaan penuh ketidak relaan.
 Namun beda halnya dengan sebagian besar rakyat negeri ini. Di hari terakhir Pak Anis menduduki singgasananya, sebagian masyarakatnya justru merasa senang. Bagaimana tidak senang, kalau pembual terbaiknya, versi LBH Jakarta, sudah lengser dari jabatannya.
 Anis memang terkenal dengan huru-haranya, dirinya seorang gubernur yang tindak-tanduknya menjadi pusat perhatian, selalu berhasil membuat kecewa warganya. Mereka mempertanyakan kinerja Anies selama satu periode ini.
 Bukannya mereka tidak lihat kinerjanya Anies, tapi yang mereka jumpai hanyalah huru-hara sang gubernur yang berhasil membuat menganga warganya. Tentu mereka merasa dipermainkan.
 Coba menilik sekilas tentang janji kampanyenya 5 tahun yang lalu. Mana yang katanya akan memberi fasilitas untuk pendidikan anak-anak Jakarta? Jakarta masih menjadi kota dengan angka anak putus sekolah tertinggi di negara ini.
 Menyedihkan bukan, di saat gubernurnya adalah mantan menteri pendidikan dan kebudayaan, rakyatnya bukannya sejahtera karena kebutuhan pendidikannya terpenuhi, justru banyak anak-anak Jakarta yang menjadi korban putus sekolah karena biaya hidup yang mencekik kehidupan mereka.
 Jangankan sekolah, makan saja mereka harus memutar otak untuk mendapatkan sesuap nasi. Bagaimana dengan tujuan bangsa untuk mencerdaskan rakyatnya, kalau angka putus sekolah saja di ibu kota negara ini mecapai tingkatan tertinggi.