" Halal nggak ya bakso ini, kok kayaknya meragukan. Pindah saja yuk"
Dialog yang hampir selalu terjadi pada setiap memasuki warung bakso atau warung-warung yang lain. Pada akhirnya berujung membeli tapi dengan perasaan was-was dan berjanji tidak akan membeli lagi, karena faktor penjual yang non muslim, tempat cuci piring yang minimalis (tidak terstandar suci), rasa daging yang meragukan dan sebagainya.Â
Tidak berhenti sampai di sini, sering terjadi perdebatan ketika anak-anak membawa jajanan atau makanan tempat saji dengan jenis baru dan tanpa label, bahan baku, BPOM dan sebagainya.
Dari kegelisahan tersebut, bisa ditangkap, bahwa konsumen membutuhkan kepastian dan jaminan akan produk yang dia beli. Khususnya produk-produk makanan dan minuman. Bisnis kuliner semakin meningkat, namun seiring dengan hal itu jaminan kehalalan produk juga diharapkan, dalam rangka menjamin kesehatan dan keberlangsungan hidup para konsumen.
Inovasi produk yang beraneka ragam, membuat sifat konsumtif semakin meningkat. Bukan hanya inovasi produk lokal namun juga produk impor. Membuat kita semakin terlena untuk terus berbelanja.Â
Tentu saja, ketertarikan membeli sangat dipengaruhi oleh penampilan dan harga produk yang ditawarkan. Jika makanan dan minuman, maka rasa dan tempat juga menjadi pertimbangan penting dalam membeli barang tersebut.
Labelisasi halal pada produk merupakan inovasi produk, salah satunya untuk menarik konsumen muslim berbelanja. Sebab semakin meningkatnya produk impor yang berasal dari negara non muslim, selain itu semakin meningkatnya jumlah kedai atau warung ataupun restoran di Indonesia yang memiliki masakan beraneka rasa dan jenis dari luar negeri.
Semakin berkembangnya permintaan konsumen terhadap produk makanan dan minuman, serta industri lain yang berbasis halal menuntut pemerintah untuk menerbitkan UU Jaminan Produk Halal (JPH) No. 33 Tahun 2014. Bukan hanya mengesahkan tapi juga memberlakukan secara serius UU tersebut. Sebab tanpa regulasi pemerintah yang jelas, industry halal di Indonesia tidak akan pernah berkembang.Â
Saat ini saja, adalah konsumen produk halal No. 1 di Dunia, namun tidak masuk dalam 10 besar  produsen produk halal dunia. Terbukti Indonesia memiliki populasi penduduk muslim terbesar di dunia yakni 215 juta muslim 13% mewakili penduduk muslim dunia (tahun 2015).Â
Pengeluaran agregat US $ 218,8 miliar di seluruh sektor ekonomi syariah pada 2017 (pengeluaran makanan halal mencapai US $ 170 miliar. Menurut laporan GIEI tahun 2018/2019, industri berbasis ekonomi syariah di Indonesia menempati posisi ke 10 dari 15 negara yang disurvey berdasarkan indikator GIEI. Posisi tersebut didorong oleh industri makanan halal.
Dari data tersebut, Indonesia belum mampu menjadi produsen utama dalam industri halal khususnya makanan. UU JPH No. 33 Tahun 2014 dirancang guna mempermudah para pelaku industri untuk melakukan proses sertifikasi halal dengan aman, cepat dan mudah. Pada tanggal 17 Oktober 2019 Undang-undang ini resmi diberlakukan, artinya setiap pelaku usaha wajib memiliki label halal pada produknya.Â
Namun, sampai detik ini gaung permberlakuan tersebut belum tampak jelas atau bahkan tidak ada sama sekali. Meskipun sudah ada PP No. 31 tahun 2019 yang mengatur pelaksanaan dari Undang-undang tersebut. Namun, respon dari pengusaha masih belum tampak, artinya minat untuk melakukan sertifikasi belum terlihat jelas.
Persoalan pelik yang terjadi, selama ini proses sertifikasi halal menjadi tugas dari LPPOM MUI bekerjasama dengan beberapa Kementerian terkait, seperti Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan dan sebagainya, namun sejak UU ini diberlakukan maka proses sertifikasi halal langsung ditangani Kementerian Agama melalui BJPH (Badan Penyelenggara Produk Halal) yang secara operasional dilaksanakan oleh Lembaga Penjamin Halal dan MUI.Â
Harapannya UU ini memutus mata rantai sistem sertifikasi agar lebih efisien dan biaya lebih rendah. Namun sampai hari proses sertifikasi masih ditangani ditangani langsung oleh LPPOM MUI.
Tidak hanya itu, LPPOM MUI posisinya hanya berada di Propinsi dan Pusat (Jakarta), padahal di daerah-daerah kabupaten banyak pelaku usaha UMKM maupun bukan yang membutuhkan proses sertifikasi dengan cepat dan murah.Â
Jika persoalan pemberlakukan UU ini masih tidak serius, maka bisa dipastikan Indonesia akan tertinggal dari negara-negara lain, meskipun mayoritas penduduknya adalah muslim.
Kepercayaan masyarakat pada produk lokal, apalagi produsennya memiliki gelar "haji" menjadi tantangan tersendiri di Indonesia, artinya penduduk muslim Indonesia itu lebih percaya produk yang diproduksi umat Islam daripada produk berlabel halal tapi impor.Â
Hal ini menjadi tantangan bagi perkembangan produk halal di Indonesia yang bercita-cita menjadi "halal hub international" tahun 2020. Jika pemerintah tidak serius dengan adanya UU ini dan fenomena yang terjadi, maka akhirnya Indonesia hanya menjadi penonton dan hanya menjadi konsumen.
Saat ini, persoalan produk halal, bukanlah persoalan agama, tetapi menjadi persoalan pasar. Produk halal adalah komoditi yang dibisniskan dan menghasilkan laba.Â
Maka jika masyarakat dan pemerintah Indonesia masih memposisikan produk halal sebagai persoalan agama, produk halal Indonesia tidak akan pernah bisa bersaing di pasar global. Sebab, setiap negara memiliki aturan sendiri mengenai produk-produk yang bisa ekspor ke mereka.
Sebenarnya, saat ini kita tidak perlu berpikir ekspor terlebih dahulu, tetapi eksistensi produk halal di dalam negeri harus diperkuat terlebih dahulu. Hadirnya UU No. 33 tahun 2014 merupakan pintu masuk dan regulasi yang harus ditaati oleh semua pihak.Â
Khususnya para pelaku usaha, seperti pemilik UMKM dan pedagang kaki lima. Proses labelisasi halal sangat dibutuhkan, khususnya pada pedagang kaki lima, sebab hampir setiap hari masyarakat selalu berhubungan dengan pedagang kaki lima, mulai dari sayur mentah sampai sayur yang sudah matang, berbagai macam jajanan, dan yang paling disukai bakso, mie ayam dan nasi goreng.
Maka dari itu, dibutuhkan keseriusan pemerintah untuk mewujudkan cita-cita Indonesia menjadi "halal hub international" . Keseriusan ini harus direalisasikan secara seksama dengan melakukan tata kelola produk halal yang efisien, jelas dan tidak merugikan banyak pihak, terutama mengenai proses dan biaya.Â
Jika untuk produk yang sudah memiliki brand tidak masalah mengeluarkan biaya besar demi "label halal", namun bagi pedagang kaki lima atau UMKM yang kategori usaha kecil biaya sertifikasi menjadi kendala mereka untuk mengurus label hala produk mereka. Jika perlu pemerintah justeru memberikan literasi terlebih dahulu mengenai urgensi produk halal dalam kelangsungan hidup, baik dari sisi agama maupun kesehatan, serta ekonomi.Â
Setelah para pengusaha memiliki wawasan tentang label halal, pemerintah seharusnya memberikan fasilitas gratis untuk proses sertifikasi yang dilakukan, sehingga membantu para pedagang kecil yang kekurang modal. Tentu saja, kenyamanan produsen dan konsumen adalah tujuan utama dari adanya produk berlabel halal ini. Semoga pemerintah serius dalam pemberlakuan UU No. 33 tahun 2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H