Namun, sampai detik ini gaung permberlakuan tersebut belum tampak jelas atau bahkan tidak ada sama sekali. Meskipun sudah ada PP No. 31 tahun 2019 yang mengatur pelaksanaan dari Undang-undang tersebut. Namun, respon dari pengusaha masih belum tampak, artinya minat untuk melakukan sertifikasi belum terlihat jelas.
Persoalan pelik yang terjadi, selama ini proses sertifikasi halal menjadi tugas dari LPPOM MUI bekerjasama dengan beberapa Kementerian terkait, seperti Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan dan sebagainya, namun sejak UU ini diberlakukan maka proses sertifikasi halal langsung ditangani Kementerian Agama melalui BJPH (Badan Penyelenggara Produk Halal) yang secara operasional dilaksanakan oleh Lembaga Penjamin Halal dan MUI.Â
Harapannya UU ini memutus mata rantai sistem sertifikasi agar lebih efisien dan biaya lebih rendah. Namun sampai hari proses sertifikasi masih ditangani ditangani langsung oleh LPPOM MUI.
Tidak hanya itu, LPPOM MUI posisinya hanya berada di Propinsi dan Pusat (Jakarta), padahal di daerah-daerah kabupaten banyak pelaku usaha UMKM maupun bukan yang membutuhkan proses sertifikasi dengan cepat dan murah.Â
Jika persoalan pemberlakukan UU ini masih tidak serius, maka bisa dipastikan Indonesia akan tertinggal dari negara-negara lain, meskipun mayoritas penduduknya adalah muslim.
Kepercayaan masyarakat pada produk lokal, apalagi produsennya memiliki gelar "haji" menjadi tantangan tersendiri di Indonesia, artinya penduduk muslim Indonesia itu lebih percaya produk yang diproduksi umat Islam daripada produk berlabel halal tapi impor.Â
Hal ini menjadi tantangan bagi perkembangan produk halal di Indonesia yang bercita-cita menjadi "halal hub international" tahun 2020. Jika pemerintah tidak serius dengan adanya UU ini dan fenomena yang terjadi, maka akhirnya Indonesia hanya menjadi penonton dan hanya menjadi konsumen.
Saat ini, persoalan produk halal, bukanlah persoalan agama, tetapi menjadi persoalan pasar. Produk halal adalah komoditi yang dibisniskan dan menghasilkan laba.Â
Maka jika masyarakat dan pemerintah Indonesia masih memposisikan produk halal sebagai persoalan agama, produk halal Indonesia tidak akan pernah bisa bersaing di pasar global. Sebab, setiap negara memiliki aturan sendiri mengenai produk-produk yang bisa ekspor ke mereka.
Sebenarnya, saat ini kita tidak perlu berpikir ekspor terlebih dahulu, tetapi eksistensi produk halal di dalam negeri harus diperkuat terlebih dahulu. Hadirnya UU No. 33 tahun 2014 merupakan pintu masuk dan regulasi yang harus ditaati oleh semua pihak.Â
Khususnya para pelaku usaha, seperti pemilik UMKM dan pedagang kaki lima. Proses labelisasi halal sangat dibutuhkan, khususnya pada pedagang kaki lima, sebab hampir setiap hari masyarakat selalu berhubungan dengan pedagang kaki lima, mulai dari sayur mentah sampai sayur yang sudah matang, berbagai macam jajanan, dan yang paling disukai bakso, mie ayam dan nasi goreng.