Dalam dunia kerja, secara umum laki-laki memiliki peran yang cukup penting dibandingkan perempuan. Terlebih di beberapa sektor pekerjaan, laki-laki masih menjadi pemain utama di berbagai industri, yaitu menjadi sosok yang memimpin, mengatur, dan pengambil kebijakan.Â
Menariknya lagi, di area yang katanya merupakan area perempuan, laki-laki sering kali tetap berada di posisi penting. Hal ini mungkin sekali terjadi di lingkungan kerja, karena disebabkan oleh stereotype yang ada di sekitar kita, dimana menganggap perempuan tidak kompeten dibandingkan laki-laki.Â
Kebanyakan perempuan dianggap terlalu banyak bertindak mengikuti intuisi atau perasaan, sehingga hal ini membuat banyak perempuan memiliki kesulitan dalam berkarier.Â
Hal ini semakin mendukung terjadinya kondisi dimana laki-laki dianggap cocok memainkan peran utama dalam memimpin suatu perusahaan, karena memiliki pemikiran yang lebih logis dan rasional, serta bisa mengambil keputusan yang tepat.
Dilansir data dari World Bank, hanya 38.8 persen perempuan yang ambil bagian tenaga kerja di dunia.Â
DI indonesia pun data ini tidak berbeda jauh, yaitu sebesar 39.3 persen, dan pekerjaan yang dipenuhi perempuan itu lebih ke profesi yang membutuhkan sifat-sifat yang diasosiasikan dengan femininity, dan lagi-lagi ini adalah tentang stereotype.Â
Contohnya profesi guru TK ataupun SD hingga perawat yang butuh sifat pengasuhan, lebih bisa berempati, berkomunikasi, dan ramah.Â
Pengalaman Perempuan di Tempat Kerja
Ada beragam temuan yang memperlihatkan pengalaman perempuan di tempat kerja. Tidak bisa digeneralisir memang di suluruh organisasi, namun kita tidak bisa menutup mata menganggap hal-hal ini tidak terjadi.Â
Dilansir dari PEW Research Center an beragam riset lainnya, berikut adalah pengalaman perempuan di tempat kerja, khususnya ketika bekerja di perusahaan yang didominasi oleh laki-laki :
- sexisme hingga pelecehan seksual
- kemampuan profesionalnya diragukan
- tidak dianggap serius karena bekerja sebagai supporting untuk keluarga
- dianggap tidak bisa jadi pemimpin
- kerja kerasnya tidak diapresiasi
Fenomena-fenomena ini sangat berhubungan dengan glass ceiling, yang dicetuskan oleh Marilyn Loden sejak tahun 1978. Beliau ini adalah seorang konsultan sekaligus penulis  buku ternama.Â
Glass ceiling berarti penghalang tidak berwujud  dari suatu hirearki yang mencegah perempuan atau minoritas untuk memperoleh posisi tingkat atas. Namanya juga glass, makanya dia tidak terlihat atau tidak berwujud, tapi ada dan terjadi.Â
Salah satu hasil riset dengan tajuk "how stereotypes impair women's career in science", menunjukkan fakta bahwa laki-laki lebih mudah dipekerjakan 2x lipat dibandingkan perempuan.Â
Lebih jauh, laki-laki juga punya kesempatan 30 persen lebih banyak dibanding perempuan untuk mencapai posisi manajer.Â
Salah satu industri yang didominasi oleh laki-laki adalah teknologi. Di industri tersebut, ketika perempuan memilih karier sebagai software engineer, ga jarang mereka akhirnya akan dikasih peran yang lain, misal dealing dengan karyawan, ketemu klien, atau peran administratif.Â
Akhirnya kemampuan terkait teknologinya menjaid tidak berkembang dan perempuan pun ga bisa mengejar posisi yang lebih tinggi di perusahaan tersebut.Â
Dilansir dari riset Harvard Business School, lebih dari 50 persen perempuan di industri teknologi biasanya memilih keluar dari perusahaan, karena budaya kerja yang dianggap sexisme.Â
Data lainnya juga ditemukan di Silicon Valley sebgaai salah satu perusahaan yang dekat dengan teknologi, dimana laki-laki memiliki kesempatan 2,7x lebih besar dibanding perempuan untuk naik jabatan, seperti menjadi senior engineering manager atau vice president.
Â
Tidak hanya di industri teknologi, perempuan secara umum memang dirasa lebih sulit pursue higher position in company. Jumlah perempuan dirasa sedikit sekali di posisi eksekutif. Di antara perusahaan yang terdaftar di S&P 500, hanya 29 perempuan yang menjadi CEO.
Bahkan, fenomena ini juga terjadi di area yang kita anggap areanya perempuan, seperti contoh di area fashion industry di mana hanya ada 14 persen brand besar yang dipimpin oleh perempuan; personal care industry yang dimana konsumennya mayoritas perempuan tapi yang jadi pemimpin tetap laki-laki.Â
Pekerja perempuan ada di perusahaan-perusahaan tersebut, namun makin tinggi level dan jabatannya, makin sedikit jumlah perempuan yang terlibat.
Alasan lainnya terjadi glass ceiling, selain karena adanya stereotype dan diskriminasi, ada juga kondisi dimana perempuan harus mengalami cuti hamil dan tanggung jawab domestik, seperti mengurus rumah, memasak, dan merawat anak.Â
Mengenal Pink Collar Job
Saat ini, kita sudah banyak melihat adanya fenomen pink collar job, dimana laki-laki melakukan pekerjaannya perempuan.Â
Meskipun diskriminasi kadang juga dirasakan oleh laki-laki karena dianggap sebelah mata karena mengambil pekerjaan yang lebih terlihat cocok pada perempuan, namun secara umum laki-laki tidak akan mengalami hal-halsesulit perempuan ketika menghadapi glass ceiling tersebut.Â
Bahkan, menurut Christine F. William, laki-laki cenderung mendapat keuntungan ketika berada di indiustri yang banyak perempaun di dalamnya. Contohnya seperti lebih mudah naik pangkat dan juga mendapat gaji lebih besar.Â
Fenomena inilah yang kita sebut dengan glass escalator. Alasan terjadinya fenomena ini masih seputar sexisme, dimana laki-laki dianggap lebih capable dan menyia-nyiakan kapabilitasnya jika hanya stuck di jabatan yang sama dengan kolega perempuannya.Â
Inilah tadi fenomena glasss ceiling dan glass escalator yang sering kali terjadi di sekitar kita. Semoga laki-laki dan perempuan bisa mendapatkan kesempatan yang sama di berbagai bidang ya kedepannya. Semoga bermanfaat!
Tentang penulis :
Nikita Puspita Ing Endit, Dosen STEI Indonesia nikita_puspita@stei.ac.id dan Mentor Business Coaching Magister Manajemen Universitas Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H