Mohon tunggu...
Nikita Puspita
Nikita Puspita Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer, Mentor, Coach, and Trainer

Dosen STEI Indonesia nikita_puspita@stei.ac.id dan Mentor Business Coaching Magister Manajemen Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Artikel Utama

Bias Gender: Fenomena Glass Ceiling dan Glass Escalator di Tempat Kerja

21 Februari 2022   10:28 Diperbarui: 6 Maret 2022   21:30 1339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
riset Harvard Business School

Dilansir dari PEW Research Center an beragam riset lainnya, berikut adalah pengalaman perempuan di tempat kerja, khususnya ketika bekerja di perusahaan yang didominasi oleh laki-laki :

  • sexisme hingga pelecehan seksual
  • kemampuan profesionalnya diragukan
  • tidak dianggap serius karena bekerja sebagai supporting untuk keluarga
  • dianggap tidak bisa jadi pemimpin
  • kerja kerasnya tidak diapresiasi

Fenomena-fenomena ini sangat berhubungan dengan glass ceiling, yang dicetuskan oleh Marilyn Loden sejak tahun 1978. Beliau ini adalah seorang konsultan sekaligus penulis  buku ternama. 

Glass ceiling berarti penghalang tidak berwujud  dari suatu hirearki yang mencegah perempuan atau minoritas untuk memperoleh posisi tingkat atas. Namanya juga glass, makanya dia tidak terlihat atau tidak berwujud, tapi ada dan terjadi. 

Salah satu hasil riset dengan tajuk "how stereotypes impair women's career in science", menunjukkan fakta bahwa laki-laki lebih mudah dipekerjakan 2x lipat dibandingkan perempuan. 

Lebih jauh, laki-laki juga punya kesempatan 30 persen lebih banyak dibanding perempuan untuk mencapai posisi manajer. 

Salah satu industri yang didominasi oleh laki-laki adalah teknologi. Di industri tersebut, ketika perempuan memilih karier sebagai software engineer, ga jarang mereka akhirnya akan dikasih peran yang lain, misal dealing dengan karyawan, ketemu klien, atau peran administratif. 

Akhirnya kemampuan terkait teknologinya menjaid tidak berkembang dan perempuan pun ga bisa mengejar posisi yang lebih tinggi di perusahaan tersebut. 

Dilansir dari riset Harvard Business School, lebih dari 50 persen perempuan di industri teknologi biasanya memilih keluar dari perusahaan, karena budaya kerja yang dianggap sexisme. 

Data lainnya juga ditemukan di Silicon Valley sebgaai salah satu perusahaan yang dekat dengan teknologi, dimana laki-laki memiliki kesempatan 2,7x lebih besar dibanding perempuan untuk naik jabatan, seperti menjadi senior engineering manager atau vice president.

 

riset Harvard Business School
riset Harvard Business School

Tidak hanya di industri teknologi, perempuan secara umum memang dirasa lebih sulit pursue higher position in company. Jumlah perempuan dirasa sedikit sekali di posisi eksekutif. Di antara perusahaan yang terdaftar di S&P 500, hanya 29 perempuan yang menjadi CEO.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun