Mohon tunggu...
Niki Ayu
Niki Ayu Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengrekonstruksi Sistem Pendidikan

19 September 2016   06:42 Diperbarui: 19 September 2016   07:24 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti yang kita tahu , pendidikan sangat penting bagi bangsa dan masyarakat Indonesia , Untuk menciptakan masyarakat yang cerdas, berwawasan luas dan bermanfaat bagi negara. Tetapi, menurut kalian apakah sistem pendidikan yang kita jalani saat ini sudah sesuai dengan kemampuan masyarakat yang menjalankan sistem pendidikan itu tersendiri? .

Sistem pendidikan yang telah berlangsung saat ini masih seperti mengeksploitasi pikiran peserta didik. Indikator yang di gunakan pun cenderung menggunakan indikator kepintaran dan hasil nilai. Bahkan usaha peserta didik dalam 3 tahun hanya di tentukan oleh sistem Ujian Negara.

Sebagai contoh ada seorang siswa A yang nilainya selama proses belajar mengajar tidak serius bahkan latihan dan ulangan pun nilainya kurang bagus, tetapi saat dia mengikuti ujian nasional, nilai dia dapat bagus melebihi rata rata,yang padahal belum tentu hasil dari Ujian Negara itu sendiri adalah hasil yang murni dari siswa tersebut.

Memang bisa jadi siswa A bersunuh-sungguh saat ujian nasional.itu adalah usaha dia untuk memperbaiki nilai sebelumnya yang tidak bagus,jadi saat ujian nasional dia benar-benar belajar giat dalam mempersiapkan dirinya saat ikut ujian nasional.

Atau bahkan ada juga siswa yang sudah belajar mati-matian dalam mempersiapkan untuk ujian tersebut. pada hari berlangsungnya ujian dia malah sakit dan tidak fokus pada saat saat ujian dilaksanakan, dan pada akhirnya dia pun terkendala nilai ujian nasional tersebut untuk dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Padahal sebelumnya hasil latihan, ulangannya sangatlah bagus.

Intinya adalah, seharusnya tingkat kelulusan jangan hanya di fokuskan pada hasil ujian akhir atau ujian nasional, yang mengenyampingkan usaha dan proses murid tersebut selama proses belajar dan mengajar.

Mungkin akan lebih tepat jika sekolah yang menentukan kelulusan siswa atau mendapat rekomendasi dari guru, karena kepala sekolah pun tidak tahu dan hanya sesekali terjun langsung dalam proses belajar mengajar dengan siswa. Yang pastinya tidak akan memahami begitu baik proses perkembangan siswa siswi di kelas. Hanya guru yang melakukan pembelajaran dan berinteraksi langsung dengan siswa.

Maka dari itu guru maupun pihak sekolah akan lebih bijak dalam menilai apakah siswa tersebut sudah dapat di luluskan atau belum.

Adapun yang menyarankan agar merekonstruksi sistem pendidikan Indonesia dengan fokus dengan subjek yang di gemari oleh sang siswa. Maksudnya siswa sebaiknya tidak di paksa dalam mempelajari atau menekuni seluruh mata pelajaran yang di suguhkan oleh sekolah atau lembaga lainya.

Tetapi akan lebih bagus apabila lembaga atau sekolah membebaskan para siswa untuk memilih salah satu atau beberapa mata pelajaran yang memang siswa gemari atau sukai sesuai dengan minat dan bakat .

Sehingga mereka tidak akan merasa terbebani atau tertekan dalam proses belajar mengajar, mereka akan belajar dengan nyaman karena apa yang mereka pelajari adalah apa yang mereka sukai. Sehingga akhirnya munculah lulusan-lulusan yang ahli di bidangnya masing-masing. Dan melahirkan SDM yang kreatif maupun inofatif bahkan ahli dalam bidang tertentu.

Meskipun begitu, bukan berarti pelajaran lain yang tidak mereka sukai tidak akan di pelajari sama sekali. Memang semua mata pelajaran penting, Lagi pula, secara logika untuk apa kita mempelajari banyak hal kalau ternyata ilmu yang kita dapatkan mengenai pelajaran tersebut hanya kulitnya saja, tanpa kita mempelajari secara mendalam ilmu yang kita pilih.

Tetapi tetap saja siswa juga harus diberikan pengetahuan pengetahuan umum yang nantinya akan berguna untuk mereka pakai saat sudah lulus. Agar merekapun tetap mempunyai wawasan yang luas.

Setelah membahas sedikit tentang sistem pendidikan Indonesia,saya akan memberikan salah satu contoh tentang “merekkonstruksi sistem pendidikan “ 

Tentunya para pelajar tidak asing dengan kata “ PR” atau Pekerjaan Rumah.Saat ini siswa Purwakarta tentu merasa suka hati , karena Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi resmi memberlakukan pelarangan pemberian pekerjaan rumah (PR) akademis untuk tingkat SD-SMA di daerahnya.

Larangan tersebut tertuang dalam Surat Edaran Bupati Purwakarta No 421.7/2014/Disdikpora. Surat yang ditandatangani pada 1 September 2016 ini pun langsung disosialisasikan ke guru dan kepala sekolah. Di hadapan ratusan guru, Dedi menjelaskan, pekerjaan rumah yang harusnya diberikan kepada siswa adalah PR yang aplikatif, misalnya kegiatan beternak yang diterjemahkan dalam kerangka pendidikan akademis.

Dia pun menyatakan bahwa dari pada memberikan PR akademis kepada siswa, Dedi lebih menganjurkan guru memberikan tugas yang bersifat praktik, atau penerapan dari pelajaran yang telah diperoleh di sekolah. Misalnya, yang kita semua pasti telah mencoba percobaan untuk mata pelajaran Biologi, guru dapat meminta siswa untuk membuat tempe atau menanam kacang hijau di kapas.

"PR yang bersifat kreatif dan produktif bisa menjadikan siswa kita mandiri. Jangan melulu anak diajak belajar teori di dalam kelas. Suasana belajar mengajar di sekolah harus jadi tempat yang menyenangkan," kata Dedi.

Menurut Dedi, materi pelajaran akademis sebaiknya dituntaskan di sekolah, bukan dijadikan pekerjaan rumah atau tugas yang justru menjadi beban siswa setelah pulang sekolah. mungkin ada bagusnya karena dapat lebih mengasah daya ingat dan kemampuan siswa tentang materi yang baru saja di beri pada hari sebelumnya.

Tetapi tetap saja siswa akan merasa terbebani karna dia sudah di beri materi atau teori dari pagi sampai sore. Jika siswa diberi pekerjaan rumah maka waktu untuk siswa bermain atau me nyegarkan pikirannya akan terpotong.

Pekerjaan rumah untuk siswa, katanya, harus berupa terapan ilmu yang sudah di berikan sebelumnya. Itu penting untuk mendorong siswa lebih kreatif, seperti bersastra, seni rupa, dan keahlian lain yang menunjang pembentukan karakter seseorang.karna jika hanya teori saja siswa akan bingung bagaimana mengaplikasikannya di kehidupan nyata.

"Jelas, harusnya PR itu disesuaikan dengan minatnya, Siswa hobi membuat sambal, maka diarahkan bagaimana siswa mahir menyambal. Anak suka dengan puisi, bikin puisi ." ujar Dedi

Mentri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy juga menyatakan mendukung kebijakan Pemerintah Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, yang meminta guru tidak memberikan pekerjaan rumah akademis untuk siswanya

Mendikbud mendorong agar sekolah-sekolah di daerah menerapkan sistem atau konsep serupa, seperti yang diterapkan di Purwakarta. Meski menyatakan setuju kebijakan sekolah tidak memberikan pekerjaan rumah (PR) akademis tersebut.

Hal ini berlaku juga pada kasus fullday school. Sebenarnya hal tersebut akan efektif jika hal yang di berikan pada murid atau peserta didik tidak hanya teori saja, karna pasti murid pun akan merasa jenuh dan tidak bersemangat mengikuti proses belajar mengajar dengan sistem fullday.

Maka sebaiknya menurut saya, pemaparan teori tidak lebih dari 4 jam, karena otak dan pikiran para siswa juga perlu jeda untuk mencerna materi yang di berikan oleh gurunya. Sisa waktu dapat diisi dengan praktek atas materi yang telah di berikan sebelumnya, agar siswa pun langsung memahami teori tersebut. Jika kalau tidak, maka teori tersebut juga tidak akan efektif di tanggapi oleh siswa itu sendiri

Jadi menurut kalian bagaimana seharusnya sistem pendidikan di Indonesia yang ideal, yang sesuai bagi masyarakat Indonesia sekarang ini ?

referensi : 

http://edukasi.kompas.com/read/2016/09/08/10505511/mendikbud.dorong.guru.tidak.beri.pr.akademis.untuk.siswa

http://regional.kompas.com/read/2016/09/05/15010361/sekolah.dilarang.beri.pr.untuk.siswa.sd-sma

Nama : Niki ayu Chairunnisa

Nim : 07031381520097

Jurusan : Ilmu Komunikasi /B (2015)

Dosen : Sari Mutiara Aisyah,S.IP.,MA

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 

Universitas Sriwijaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun