Rame, itulah yang terjadi di rumah kami. Ragilku menjadi sahabat semua anak di sepanjang jalan depan rumahku. Komunitas baru yang dibangunnya macam-macam. Komunitas bermain lego, komunitas bersepeda, komunitas petak umpet, penyuka yutube tobot, dan terakhir komunitas penggemar game minicraft. Jadwal pelajarannya padat sekali.
Pandemi ini menjadikan mereka memiliki SEKOLAH BARU yaitu LINGKUNGAN SEKITAR. Jadwal sekolahnya lebih panjang dari dibandingkan dengan sekolah formal mereka. Kalau di sekolah ragilku masuk pukul 07.00 dan pulang pukul 14.00 karena fullday. Namun di sekolah pandemi ini dari pagi sampai malam. Mereka punya ijin belajar sampai pukul 21.00.
Mata Pelajaranannya juga lebih luas dari materi di sekolah. Mereka juga belajar IPA, Agama, IPS, Bahasa, bahkan ketrampilan.
Guru mereka adalah mereka sendiri. Saling bergantian. Tutor sebaya. Meskipun usia peserta didiknya tidak terbatas. Rentangnya mulai dari TK sampai SD kelas 6.
WOW KEREN, itulah yang menempel pada setiap kegiatan ragilku dan teman-temannya. Kisah-kisah mereka menjadi kekayaan tersendiri.
Bangun pagi diapun bersih diri dan rapi. Sarapan yang sudah kusiapkan dilahapnya dengan penuh syukur dan gembira. Makan pagi itu harus dilakukan sebagai syarat boleh bermain.
Sebelum kutinggal berkarya, dia sudah menceritakan RPP nya hari itu. Entah bersepeda, entah main jual-jualan, entah berjalan-jalan di sekitar rumah.
Sebelum aku sematkan berkat keselamatan didahinya, dia selalu menghentikan nasehat yang siap kulontarkan dari bibirku.
"Iya, Bu. Aku harus pakai masker, cuci tangan, dan tidak keluar dari perumahan." Aku membalasnya dengan senyum dan memberinya jempol. Itulah ragilku, sebuah duka yang mengharu biru jika aku melarangnya keluar untuk menemui teman-temannya yang selalu siaga memanggilnya. Anak-anak kecil beragam usia di sepanjang jalan depan rumah kami menjadi teman-teman di sekolah barunya.
Aku sering diam-diam mendengarkan obrolan mereka. Saat mereka berkumpul di ruang tanu kami dan aku berada 2 meter jauhnya dari mereka. Di depan meja kerjaku berkutat dengan laptop. Mereka sibuk di kursi kayu panjang yang sudah berubah menjadi kerajaan lego ciptaan ragilku. Mereka sibuk memainkan peran sesuai kerajaan ciptaan ragilku. Tiba-tiba adzan berbunyi, aku mengingatkan mereka untuk pulang dan sholat. Mereka tidak segera beranjak. Rasa enggan lebih menguasai.
"Ayo sholat dulu, nanti balik lagi ke sini." Perintah teraahir membuat mereka bergegas. Mereka selalu takut jika dilarang kembali bermain. Hmm ..
Mereka bubar dan beberapa menit kemudian sudah memenuhi rumahku lagi. Mereka berbincang lagi, kali ini tentang sholat dzuhur. Bagaimana bacaannya, niatnya. Bocah yang lebih besar memberikan penjelasan. Sampai pada doa yang harus dibacakan oleh mereka ketika sebagai imam atau makmum. Semua mendengarkan termasuk ragilku yang memang katolik. Anak-anak kecil itu manggut-manggut memberi tanda takjub menerima ilmunya.
Anak-anak yang damai dan tanpa sekat. Mereka jelas berbeda secara iman kepercayaan, namun mereka mampu tetap bersahabat dan tentram saja. Ketika mereka mulai berselisih, aku akan hadir melerai. Biasanya yang terjadi adalah salah satu dari mereka mencoba membully anak yang paling kecil. Nasehat pendek akan kuucapkan.
"Jangan bertengkar, main lagi, sana." Tidak ada dendam dalam kamus mereka. Jikapun mereka hari ini bertengkar bahkan sampai menangis, beberapa jam kemudian sudah memanggil-manggil. Hebatnya, akan ada sesi meminta maaf. Kalau tidak terjadi pasti ada yang mengingatkan. Berkaca pada mereka, aku merasa malu karena masih sering menyimpan dendam, iri hati dan sukar memberi maaf. Mereka tidak mendendam, berselisih, bertengkar itu biasa bagi mereka dan harus rukun lagi. Â Â
Sekolah unik mereka akan semakin panjang. Sepanjang masa pandemi yang belum berakhir di kota kami. Jumlah pasien positif yang masih terus ada membuat pemerintah daerah memberlakukan Pembelajaran Jarak Jauh. Anak-anak akan belajar dari rumah dengan panduan bapak ibu guru secara online.
4 hari ke depan akan mulai lagi kejenuhan orang tua ketika harus menjadi GURU bagi anak-anak mereka. Masa pandemi yang menghadirkan begitu banyak cerita.
Kumpulan para bocah itu mampu mengukir kebersamaan yang unik dan kokoh. Mereka telah berhasil mendirikan sekolah di masa pandemi.
Mereka bertahan di sekolah barunya, sementara di semua tempat sekolah-sekolah harus ditutup.
Para guru harus belajar pada sistem pendidikan mereka. Belajar dari alam, belajar dari kehidupan, belajar dalam keberagaman dan kebersamaan. Inilah keunikan di masa pandemi. Sesuatu yang harus disyukuri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H