"Kutho Wates mas nang Kulon Progo"
"Kutho cilik ing tlatah Ngayogyakarta"
"Katon resik sinawang pancen tinoto"
(Manthous)
Alunan lagu campursari berjudul Geblek Wates karya Manthous ini membuat saya sering merindukan kota Wates. Bagaimana tidak, kenangan masa kecil saya tentang kota Wates masih terekam jelas.Â
Ya menginjakkan kaki di kota Wates sebenarnya seperti mengulang kenangan masa kecil di setiap mudik ke Kulon Progo bersama ibu. Kenangan itu kini kadang beradu dengan kenyataan tentang wajah kota Wates yang semakin membuat saya penasaran.Â
Terlahir di wilayah Kulon Progo bukan jaminan bahwa saya mengenal dengan baik sejarah kawasan ini termasuk mengenal kota Wates sebagai ibu kota Kabupaten Kulon Progo. Bagi saya kecil, kota Wates adalah sebuah kota yang bersih dan tertata dengan banyak jajanan pasar dan andong yang berjajar rapi di sebelah timur pasar Wates.Â
Sebagian masa kecil saya dihabiskan di perantauan bersama orang tua, jadi perkenalan saya dengan k
ota Wates hanya sebatas kota transit, tempat turun dari kereta dan jajan di pasar Wates. Hingga saat remaja, saya berkesempatan mengenyam pendidikan di wilayah paling barat Kulon Progo tapi tetap saja tidak bisa mengenal sejarah Kulon Progo dengan baik apalagi kota Watesnya.
Relief di bawah patung menggambarkan perjuangan seorang Nyi Ageng Serang melawan penjajah, namun sayang saat ini relief tersebut sudah tidak ada dan patung Nyi Ageng Serang diatas tugu tinggi sehingga tidak terlihat jika kita tidak mendongakkan kepala.
Berangkat dari keingintahuan mengenai sepak terjang Nyi Ageng Serang membuat saya juga semakin penasaran dengan apa saja yang sudah pernah terjadi di kota Wates dan sekitarnya.Â
Beruntung pada tanggal 8 Juli 2018, komunitas Sesaba Adikarta dan Watespahpoh mengajak saya menelusuri sejarah yang pernah terjadi di seputaran Alun-Alun Wates. Sebagai generasi muda yang hampir tua, saya sangat berharap menemukan sebuah akar mengenai tanah kelahiran saya sebelum tergerus oleh hembusan angin metropolitan di Kulon Progo.Â
Ya sebentar lagi Kulon Progo akan mengalami percepatan pembangunan seperti bandara Internasional New Yogyakarta International Airport, pelabuhan Tanjung Adikarto dan trans menoreh. Jika generasi muda tidak mengabarkan sejarah yang pernah terjadi di sekitar kota Wates, kemungkinan terburuknya adalah anak cucu kita tidak akan pernah mengenal kota Wates dan Kulon Progo secara utuh.
Kulon Progo pada masa sebelum kemerdekaan merupakan dua wilayah milik kerajaan berbeda. Di bagian selatan merupakan wilayah milik Kadipaten Pakualaman dan bagian utara milik Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.Â
Kota Wates terletak ditengah-tengah kedua kerajaan tersebut dan memiliki beberapa bangunan peninggalan kolonial dan tugu pagoda yang menandakan pernah ada berbagai etnis yang tinggal di kota ini.
Bangunan ini mulai dirintis pembangunannya pada tahun 1908 dan tidak lepas dari campur tangan dr HS Pruys yang saat itu menjabat sebagai direktur medis RS Petronella (Zending Ziekenhuiz Petronella).Â
RS Petronella sendiri saat ini berkembang menjadi RS Bethesda yang ada di kota Yogyakarta. Keberadaan Hulpziekenhuiz Wates sangat membantu warga Kulon Progo dan Adikarta karena fokus melayani kesehatan masayarakat.
Menurut catatan dari GKJ Wates, perkembangan Hulpziekenhuiz Wates terlihat setelah dr. D.Bakker memberikan pelatihan kepada mantri dan juru rawat sehingga pelayanannya semakin bagus. Kemudian pada tahun 1934 salah satu pejabat RS Petronella Yogyakarta yang bernama Soenoesmo Prawirohoesodho dikirmkan ke Hulpziekenhuiz Wates untuk bergabung dalam melayani masyarakat.Â
Pada tahun 1935 bangunan kemudian dirombak untuk ditambahkan beberapa ruangan seperti ruang belajar, ruang operasi dan ruang radiologi.
Setelah masa kemerdekaan Hulpziekehuiz Wates kemudian diambil alih oleh masyarakat yang kemudian pada tahun 1963 diresmikan menjadi Rumah Sakit yang merupakan bagian dari Dinas Kesehatan. Kemudian dikarenakan lokasinya yang tidak memungkinkan untuk memperbesar lagi bangunan rumah sakit, pada tahun 1983 rumah sakit ini dipindah di dusun Beji yang sampai sekarang dikenal dengan nama RSUD Wates.Â
Bangunan bekas rumah sakit kemudian digunakan menjadi Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo seperti yang kita kenal sekarang. Sayangnya, ada wacana penataan kawasan alun-alun yang akan menggerus bangunan Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo ini. Mengingat sejarah panjang mengenai bangunan Dinkes, saya sangat berharap bahwa bangunan ini tetap berdiri kokoh di tempatnya.
Di kawasan kompleks yang modern ini ternyata nyelip satu bangunan kecil yang disebut Bale Agoeng. Bangunan sisa kolonial ini memang sengaja disisakan karena merupakan saksi bisu sejarah penggabungan tanah kedua kerajaan menjadi satu kabupaten Kulon Progo. Sampai saat ini belum diketahui siapa perancang Bale Agoeng dan kapan Bale Agoeng ini berdiri di Wates.
Tugu Pagoda dibangun oleh masyarakat Tionghoa pada tahun 1931 dengan maksud berterima kasih kepada penguasa Kabupaten Adikarta karena mereka telah diberi tempat di Wates. Letak Tugu Pagoda di dekat perlintasan adalah karena saat itu kantor bupati Adikarta ada di sebrang tugu pagoda (yang saat ini ditempati oleh Gedung Kaca).Â
Jejak warga tionghoa di Wates tidak begitu banyak yang tertinggal, hanya Tugu Pagoda, bong (makam) yang terletak di selatan SMA 1 Wates dan bong yang terletak di Giripeni.
Pembangunan gedung gereja ini diharapkan dapat melayani warga kristen untuk beribadah di Wates. Kemudian pada tanggal 26 Oktober 1938 Rebin Hardjosiswoyo diangkat menjadi pendeta pertama GKJ Wates hingga akhirnya beliau pensiun pada tahun 1964.Â
Ketika membuka pintu gereja, coba untuk mendongak ke atas karena akan disuguhi pemandangan berupa atap dengan kuda-kuda berupa besi baja ala kolonial.
Saat itu juga hari minggu jadi tidak ada petugas yang bisa diminta keterangannya mengenai sejarah bangunan gedung media centre.
Sebelum kembali ke gazebo depan rumah dinas bupati, saya dan teman-teman mampir melihat monumen tentara pelajar yang menghadap danrem.Â
Disitu pula dituliskan banyak nama tentara pelajar dari Wates yang gugur mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sungguh jalan-jalan yang luar biasa karena ini merupakan langkah awal saya mengenal kota Wates sebelum tergerus angin metropolitan.Â
Saya seperti menemukan kepingan-kepingan dari cerita simbah mengenai sejarah dan perjuangan di kota Wates yang sering beliau ceritakan sebelum tidur.Â
Saya sangat berharap bahwa kegiatan mengenal Kulon Progo melalui sejarah seperti ini diteruskan dengan konsisten sambil merangkul generasi muda agar sejarah Kulon Progo tidak hilang tergerus oleh zaman.
"Elek ning pantes luwes ugo prasojo"
(Manthous)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H