Mendengar nama Dezentje, telinga saya merasa belum familiar dengan nama itu, jadi masih terasa sangat asing. Mata pun mulai berselancar ke sana dan ke mari mencari tahu siapa keluarga Dezentje. Rasa penasaran yang semakin memuncak seiring dengan tulisan seorang teman di beranda Facebook-nya bahwa keluarga Dezentje ini menempati salah satu orang terkaya pada masa kolonial menurut versi teman saya tadi sampai akhirnya membawa kami berdiskusi lebih jauh di dalam WhatsApp Group (WAG) Sejarah.
Secara kebetulan komunitas yang saya ikuti, yaitu Roemah Toea, menjadi salah satu narasumber bagi komunitas Sraddhasala yang berkunjung ke makam Keluarga Dezentje. Didampingi oleh narasumber lain, yakni Salatiga Urban Heritage, kunjungan pada tanggal 5 Mei 2018 ini juga sekaligus menjadi salah satu momen yang sangat ditunggu-tunggu.
Hal ini karena makam masih dikunjungi oleh keluarga, makam keluarga Dezentje adalah cagar budaya dan kondisi makam yang sudah sangat rapuh. Selain itu, sangat tidak etis mengunjungi makam orang lain tanpa ijin kan?
Rasa penasaran saya mencapai puncaknya ketika Roemah Toea dan Salatiga Urban Heritage menceritakan sejarah keluarga Dezentje. Keluarga Dezentje dahulunya merupakan pionir perkebunan di wilayah Vorstenlanden yang sangat disegani.
Bagaimana tidak disegani, wilayah yang membentang dari Salatiga-Ampel-Boyolali ini merupakan perkebunan milik Keluarga Dezentje. Usaha perkebunan ini dirintis oleh Johannes Agustinus Dezentje atau lebih dikenal dengan nama Tinus Dezentje sekitar tahun 1810. Nama beliau dapat disejajarkan dengan Kekhoven seorang pionir perkebunan di tanah Priangan.
Lalu siapa sebenarnya Tinus Dezentje? Johannes Agustinus Dezentje (1797-1839) adalah putera dari August Jan Caspar(1765-1826), seorang pengawal eropa yang bertugas di Keraton Kasunanan Surakarta.
Pada masa pendudukan Inggris, Caspar menjabat sebagai perwira dan gajinya itulah yang digunakan untuk menyewa tanah Kasunanan. Beliau menyewa tanah yang terbentang dari Salatiga-Ampel hingga Boyolali dan akhirnya tanah tersebut diwariskan kepada puteranya yaitu Tinus Dezentje.
Di usia 18 tahun, Tinus Dezentje menikah dengan Johanna Dorothe Boode. Tiga tahun kemudian, beliau menikah lagi dengan bangsawan dari Keraton Surakarta bernama Raden Ajeng Tjokrokoesoemo.
Dari pernikahan keduanya ini kemudian Tinus memperluas perkebunannya dan tinggal di Ampel, Boyolali. Di dalam buku Djocja Solo, Beeld van Vorstenlanden karangan Bruggen & Washing dikatakan bahwa gaya hidup Tinus Dzentje seperti bangsawan Jawa walaupun beliau berdarah Belanda-Perancis.
Setiap Tinus berjalan, rombongan pembantunya akan ikut dan rakyat di sekitar akan bersimpuh di pinggir jalan seperti adat bangsawan Jawa kala itu. Akan tetapi walaupun Tinus bergaya hidup glamor, beliau bukanlah tuan tanah yang kejam. Beliau tidak segan-segan memberikan kerbau atau bibit tanaman dengan gratis kepada petani yang bekerja di lahan perkebunan milik Tinus.
Pada saat perang Jawa (1825-1830) Tinus rela menyewa serdadu asing sebanyak 1500 orang untuk melindungi bisnis perkebunannya. Para serdadu asing ini kemudian dikenal dengan nama "Datasement Dezentje". Kemudian atas permintaan Jenderal De Kock, Dezentje menyarankan Sri Susuhunan untuk tetap netral pada perang Jawa. Saran tersebut dituruti oleh Sri Susuhunan dan Tinus mendapatkan Orde de Nederlandse Leeuw dari kerajaan Belanda atas jasanya.
Namun kejayaan perkebunan milik keluarga Dezentje ternyata masih berlanjut pada tahun 1849, bahkan pada tahun 1860 keluarga Dezentje menjadi raja perkebunan di kaki timur gunung Merbabu-Merapi sampai akhir masa kolonial.Â
Salah satu keturunan keluarga Dezentje bernama Ny.Ch.E Dezentje membangun rumah mewah di Jalan Slamet Riyadi, Solo yang kemudian dikenal dengan nama Loji Gandrung. Sebelum Jepang masuk ke Hindia-Belanda, keluarga Dezentje sudah diperingatkan terlebih dahulu untuk meninggalkan Hindia-Belanda oleh Kasunanan Surakarta. Jadi saat ini keluarga Dezentje sudah menyebar ke seluruh dunia.
Tidak disangka di dalam kerkhof yang sudah sangat tua dan rapuh ini terbaring jasad keluarga pionir perkebunan di Vorstenlanden yang kaya raya pada masanya. Rasa penasaran saya pun terjawab sudah dengan penjelasa-penjelasan yang disampaikan narasumber.
Bangunan kolonial, kerkhof, dan peninggalan lainnya itu merupakan saksi bisu sejarah perjalanan bangsa ini hingga sampai seperti sekarang. Jadi saya sangat setuju dengan pernyataan teman saya bernama Mas Lengkong yaitu "yang perlu dihilangkan dari sisa-sisa kolonial adalah ketimpangan, kesewenang-wenangan dan penindasa, bukan bangunannya".
Referensi:
- www.jejak.kolonial.blogspot.com
- www.Risalahpejalan.blogspot.com
- www.Nationalgegraphic.grid.id
- www.Hurahura.wordpress.com
- Van Bruggen, M.P. & R.S Wassing. 1998. Djokja Solo;Beeld van Vorstenlanden, Amsterdam: Asia Minor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H