Namun kejayaan perkebunan milik keluarga Dezentje ternyata masih berlanjut pada tahun 1849, bahkan pada tahun 1860 keluarga Dezentje menjadi raja perkebunan di kaki timur gunung Merbabu-Merapi sampai akhir masa kolonial.Â
Salah satu keturunan keluarga Dezentje bernama Ny.Ch.E Dezentje membangun rumah mewah di Jalan Slamet Riyadi, Solo yang kemudian dikenal dengan nama Loji Gandrung. Sebelum Jepang masuk ke Hindia-Belanda, keluarga Dezentje sudah diperingatkan terlebih dahulu untuk meninggalkan Hindia-Belanda oleh Kasunanan Surakarta. Jadi saat ini keluarga Dezentje sudah menyebar ke seluruh dunia.
Tidak disangka di dalam kerkhof yang sudah sangat tua dan rapuh ini terbaring jasad keluarga pionir perkebunan di Vorstenlanden yang kaya raya pada masanya. Rasa penasaran saya pun terjawab sudah dengan penjelasa-penjelasan yang disampaikan narasumber.
Bangunan kolonial, kerkhof, dan peninggalan lainnya itu merupakan saksi bisu sejarah perjalanan bangsa ini hingga sampai seperti sekarang. Jadi saya sangat setuju dengan pernyataan teman saya bernama Mas Lengkong yaitu "yang perlu dihilangkan dari sisa-sisa kolonial adalah ketimpangan, kesewenang-wenangan dan penindasa, bukan bangunannya".
Referensi:
- www.jejak.kolonial.blogspot.com
- www.Risalahpejalan.blogspot.com
- www.Nationalgegraphic.grid.id
- www.Hurahura.wordpress.com
- Van Bruggen, M.P. & R.S Wassing. 1998. Djokja Solo;Beeld van Vorstenlanden, Amsterdam: Asia Minor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H