"Perempuan tak punya malu itu seperti lupa ingatan aja, dia lupa seperti apa dia sewaktu mengejar kakak kita dulu,"
Si kacamata kembali bersuara. Lamunanku buyar mendengar perkataannya barusan.
"Kemana kakak kita pergi dia selalu nempel terus. Kakak kita main tenis sama temannya aja dia ikut. Dia takut kakak kita kembali ke istri pertama atau nyari perempuan lain lagi kayaknya,"
Si kaos abu-abu berkata yang diikuti dengan anggukan kepala setuju dari si Ceking dan si Kacamata.
"Jelas dia takut kehilangan tambang emasnya," Kata si Kaos abu-abu.
"Tapi itu dulu. Sekarang dia mungkin sudah menganggap kakak kita cuma beban hidupnya aja," Tambahnya lagi.
"Dulu dia sibuk menyandera kakak kita karena kakak kita masih muda, gagah. Dan banyak uang. Sekarang kakak udah sakit-sakitan. Nggak mau dia direpotin laki-laki tua penyakitan. Harta kakak kita juga udah habis. Sekarang aja biaya berobat kakak kebanyakan ditanggung sama anak-anak dari istri pertama," Ujar si Ceking.
"Iya jelas ditanggung anak dari istri pertamalah. Anak dari perempuan itu kan nggak jelas apa pekerjaannya. Yang anak laki-lakinya aja udah sepuluh tahun sarjana kerjanya cuma luntang-lantung terus. Yang perempuan bolak-balik pindah kerjaan melulu. Nggak jelas kerja apaan juga. Mana ada duit. Gitu aja dua anak itu sok sibuk. Nggak mau ngejagain bapaknya kalau pagi. Maunya sore aja. Jam pulang kantor. Kayak kerja bener aja. Wong lagi nganggur banyak tingkah,"kata si  Kacamata.
"Kakak kita malu nggak tuh? Anak yang dia abaikan waktu kecil malah yang saat ini sepenuh hati merawatnya,"kata si kaos abu-abu.
"Harusnya sih malu," tandas si kaos abu-abu.
Aku diam menyimak sambil terus pura-pura membaca buku yang aku bawa. Diam-diam aku terus mendengarkan percakapan mereka. Kisah yang menarik untuk didengarkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H