Mohon tunggu...
Niken Wu
Niken Wu Mohon Tunggu... pegawai negeri -

A civil servant who work for Coordinating Minister for Economic Affairs.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mata Ainun

31 Mei 2012   13:33 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:33 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

***

Sore itu langit tampak jingga, sebentar lagi senja rebah dalam pangkuan malam. Seperti kebiasaanku waktu masih mengenakan seragam abu-abu lima tahun silam, jam lima sore waktunya menutup jendela rumah dan menyalakan lampu seluruh ruangan. Kali ini tidak ada suara canda tawa kedua adik laki-lakiku. Karena setelah menamatkan kuliahnya di Semarang, mereka langsung mendapat pekerjaan di luar pulau Jawa. Menyaksikan ini semua aku terharu dan kasihan kepadanya, hanya tinggal seorang diri menghuni rumah tua peninggalan eyang kami. Namun ketika aku menawarkan diri mengajak Bunda untuk ikut tinggal bersamaku di Jakarta, tampaknya Bunda lebih memilih untuk setia menjaga dan merawat taman rumah tua kami.  “Nanti kalau Bunda ke Jakarta, siapa yang menjaga rumah eyang?” begitu alasannya.

Selasai menutup jendela dan menyalakan menyalakan lampu dapur, aku berjalan ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Magrib di kota kami lebih awal daripada waktu magrib di Jakarta. Pukul setengah enam sore suara adzan tengah berkumandang. Selangkah sesaat setelah keluar dari kamar mandi hendak berbelok menuju ruang shalat,  tubuhku terasa ngilu. Tiba-tiba nadiku serasa berhenti berdenyut. Sedetik kemudian jantungku berdesir kencang, mataku terbelalak kaget.

“Kanda…, dan suaraku pun tersekat di tenggorokan. Kakiku tak kuasa untuk kulangkahkan.

Kembali aku bertemu sapa dengan pemilik mata yang hangat dan syahdu itu. Mata yang juga bercahaya penuh cinta. Kami saling terpana tanpa bicara.

Bunda berjalan menghampiriku, memegang bahuku dari arah samping kanan sambil membisikkan kata: “kamu tak bisa membantah lagi, Nduk. Sejauh apapun dia pergi, dia akan kembali bersamamu. Saat kamu mulai ragu, dia datang menggenggammu. Kalian akan selalu berjalan beriringan. Maka jadikanlah dirimu perhiasan untuknya.”

Dalam lindungan langit Jakarta, 31 Mei 2012     08.10 pm

Cerita pendek ini saya persembahkan untuk Ibunda Bangsa yang telah menyumbangkan “mata indahnya” untuk Indonesia, Almarhumah Ibu Hasri Ainun Habibie. Semoga “mata indah” itu akan senantiasa abadi menyinari Bumi Pertiwi Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun