Mohon tunggu...
Niken Wu
Niken Wu Mohon Tunggu... pegawai negeri -

A civil servant who work for Coordinating Minister for Economic Affairs.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mata Ainun

31 Mei 2012   13:33 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:33 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

MATA  AINUN

Di stasiun Gambir, sembari menunggu kereta Gajayana, aku menghabiskan waktuku menikmati suasana taman di sekitar monas tersorot senja. Sekilas aku menangkap tatapan mata yang hangat dan syahdu milik seseorang yang kukenal sebelumnya. Tapi bukankah dia sudah lama tinggal di Jerman? Ah, tidak mungkin dia tiba-tiba di sini. Namun mengapa dengan mudah sinar mata itu menyentuh kalbuku? Belum tuntas aku menyelesaikan pertanyaanku, suara sirine Kereta Gajayana dari jarak lima meter sangat memekik di gendang telinga dan membuyarkan lamunanku. Segera pikiranku kembali tersadar. Seketika itu juga aku menepis semua perasaanku.

***

Alhamdulillah, mentari pagi bersinar cerah menyambutku di stasiun Blitar. Kurang lebih setengah jam perjalanan dari stasiun menuju rumah, akhirnya aku bisa melepas rindu bersama pemilik tatapan lembut mendamaikan itu. Bunda. Tatapan matanya sejuk mengalirkan kasih sayang yang tulus. Apakah aku terlalu berlebihan bila aku mengatakan ketenangan sinar matanya itu adalah pantulan Cahaya Ilahi? Entahlah. Bagiku dia adalah Dewi, “kepanjangan tangan” Tuhan yang selalu memintalkan do’a untuk anak-anaknya di setiap penghujung malam.

Dan apakah ini juga mereupakan jawaban dari pertanyaanku yang selalu mengendap di tempurung otakku bertahun-tahun yang lalu: Mengapa surga ada di bawah telapak kaki Ibu? Mengapa bukan di bawah telapak kaki Bapak? Apakah ini jawabannya: karena perempuan adalah dewi yang merupakan salah satu wujud dari pengejewantahan sifat Tuhan Yang Maha Lembut, Yang Maha Cantik, dan Yang Maha Bijaksana. Apakah juga karena perempuan adalah sumber dari segala kehidupan manusia. Ingatkah ketika kita sembilan bulan berada di kandungan? Ingatkah apa yang pertama kali kita lakukan selepas keluar dari rahim Ibu? Menyusu. Dengan air susunya kita menjadi bayi yang sehat, lantas tumbuh menjadi manusia yang cerdas, dan manusia yang seharusnya bisa mensyukuri arti kasih dan sayang seorang Ibu. Apakah itu alasan kenapa Tuhan meletakkan surga ada di telapak kaki Ibu? Entahlah. Apapun jawabannya yang jelas aku sangat berterima kasih kepada Tuhan yang telah menganugerahkan seorang bidadari tercantik, terbaik, dan penuh kasih sayang kepada kami.

“Bunda, maafkan Nanda bila selama ini Nanda belum bisa membalas semua pengorbanan Bunda dalam membesarkan Nanda selama ini.” Kataku ketika memeluk dan mencium pipinya yang tetap lembut diusia senja.

“Melihatmu bahagia, itu sudah cukup buat Bunda, Nduk.” Jawabnya lembut sambil mengelus kepalaku. Aku senang sekali tiap kali mendengar Bunda memanggilku dengan panggilan sayang seorang Ibu kepada anak perempuannya, Nduk.

Diam-diam aku terus mengagumi kelembutan tutur katanyanya. Kami saling bertatapan, beberapa detik kemudian aku mendapati matanya berkaca-kaca, tapi bibirnya tersenyum lembut.

“Kenapa Bunda menangis?” tanyaku mengembik. “Apakah yang membuat Bunda sedih?”

Dia merengkuhku kembali dalam pelukannya.

“Rasanya Bunda baru kemarin melahirkanmu, Nduk. Tak terasa kamu dan adik-adikmu sudah beranjak dewasa, sebentar lagi kamu juga akan menjadi seorang ibu seperti Bunda...” katanya sambil menahan nafas dan menyeka air matanya yang hendak tumpah.

Jantungku sesaat berhenti berdetak. Aku terdiam. Kepalaku tertunduk, menunggu kelanjutan dari kalimatnya yang belum selesai. Aku terus mengeratkan pelukanku,  menikmati kehangatan kasih sayangnya.

Lama tak ada suara. Hening. Hanya terdengar detak jantung kami yang saling berpacu dalam melodi cinta.

“Ajari Nanda jadi ibu yang baik seperti Bunda,” pintaku memecah keheningan.

“Tidak perlu seperti Bunda, kamu bisa jauh lebih baik dari Bunda, Nduk. Syukuri saja apa yang telah Tuhan anugerahkan untukmu, Nduk.”

Mendengar nasehatnya, aku hanya mengedip dan tersenyum lalu sekali lagi menciumnya. Bidadari itu tetap cantik meski waktu telah menggerogoti usianya. Kecantikan yang muncul dari keikhasan sanubarinya dalam membesarkan kami. Seorang dewi yang tegar dan penuh kesabaran dalam membesarkan anak-anaknya seorang diri. Aku bersyukur dianugerahi bidadari seperti dia, seorang perempuan desa yang hemat bicara. Seorang perempuan desa yang sederhana. Seorang perempuan yang hanya berbekal kekuatan dan keyakinan do’a telah mampu mengiringi langkahku berjelaga dengan asap metropolitan.

***

Sore itu langit tampak jingga, sebentar lagi senja rebah dalam pangkuan malam. Seperti kebiasaanku waktu masih mengenakan seragam abu-abu lima tahun silam, jam lima sore waktunya menutup jendela rumah dan menyalakan lampu seluruh ruangan. Kali ini tidak ada suara canda tawa kedua adik laki-lakiku. Karena setelah menamatkan kuliahnya di Semarang, mereka langsung mendapat pekerjaan di luar pulau Jawa. Menyaksikan ini semua aku terharu dan kasihan kepadanya, hanya tinggal seorang diri menghuni rumah tua peninggalan eyang kami. Namun ketika aku menawarkan diri mengajak Bunda untuk ikut tinggal bersamaku di Jakarta, tampaknya Bunda lebih memilih untuk setia menjaga dan merawat taman rumah tua kami.  “Nanti kalau Bunda ke Jakarta, siapa yang menjaga rumah eyang?” begitu alasannya.

Selasai menutup jendela dan menyalakan menyalakan lampu dapur, aku berjalan ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Magrib di kota kami lebih awal daripada waktu magrib di Jakarta. Pukul setengah enam sore suara adzan tengah berkumandang. Selangkah sesaat setelah keluar dari kamar mandi hendak berbelok menuju ruang shalat,  tubuhku terasa ngilu. Tiba-tiba nadiku serasa berhenti berdenyut. Sedetik kemudian jantungku berdesir kencang, mataku terbelalak kaget.

“Kanda…, dan suaraku pun tersekat di tenggorokan. Kakiku tak kuasa untuk kulangkahkan.

Kembali aku bertemu sapa dengan pemilik mata yang hangat dan syahdu itu. Mata yang juga bercahaya penuh cinta. Kami saling terpana tanpa bicara.

Bunda berjalan menghampiriku, memegang bahuku dari arah samping kanan sambil membisikkan kata: “kamu tak bisa membantah lagi, Nduk. Sejauh apapun dia pergi, dia akan kembali bersamamu. Saat kamu mulai ragu, dia datang menggenggammu. Kalian akan selalu berjalan beriringan. Maka jadikanlah dirimu perhiasan untuknya.”

Dalam lindungan langit Jakarta, 31 Mei 2012     08.10 pm

Cerita pendek ini saya persembahkan untuk Ibunda Bangsa yang telah menyumbangkan “mata indahnya” untuk Indonesia, Almarhumah Ibu Hasri Ainun Habibie. Semoga “mata indah” itu akan senantiasa abadi menyinari Bumi Pertiwi Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun