Mohon tunggu...
GuleTerro Ngabberre
GuleTerro Ngabberre Mohon Tunggu... -

Aku ingin hidup lebih baik\r\n\r\nblog: \r\nhttp://belajarbahasainggrisprivatgratis.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Poligami Adalah Kewajaran

3 September 2012   11:35 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:58 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya tidak hendak bicara soal hukum, tetapi mencoba mempertimbangkan.

Mahluk berjenis kelamin perempuan tentu sulit bersikap biasa mendengar kata "Poligami". Padahal hanya sebuah kata. Ya, kata tersebut juga sudah berklai-kali menjadi perdebatan.

Berbicara tentang "Poligami", berati juga berbicara tentang "Keluarga", yakni anak dan orang tua, lebih detail lagi suami, istri bapak, ibu, anak, kakak, adik, bahkan kakek dan nenek. Itu yang berwujud benda. Dan yang abstrak, yakni cinta, hasrat, impian, kebahagiaan, ketentraman, kedamaian, kebersamaam, kepercayaan, kasih sayang, dan banyak lagi. Selain itu, juga tentang hukum.

Sejarah sudah mencatat, banyak lelaki yang beristri lebih dari satu, yang kemudian diistilahkan dengan berpoligami. Raja-raja jaman dahulu pun juga ada yang melakukannya, bahkan nabi juga demikian.

Coba kita tinjau awal terjadinya poligami.

Dari segi budaya masyarakat, baik di Indonesia maupun di beberapa negara lain, sejak dahulu hingga sekarang, lelakilah yang biasa menggoda wanita, artinya yang memulai wacana untuk menjalin hubungan asmara. Meskipun tidak sedikit juga kaum wanita yang menggoda. Inilah yang kemudian terjadi jalinan hubungan asmara antara lelaki dan wanita. Lalu mereka menikah dan disebut Suami dan Istri.

Di sana ada "Cinta", saudaranya adalah "Rindu", bahkan bukan sekedar saudara karena jika rindu itu panjang durasinya, maka cinta akan sangat mekar di ujungnya. Tetapi ada juga musuhnya, yakni "Kebosanan". Sudah lumrah manusia suka pada hal baru. Tetapi tidak ada "Kebaruan" yang abadi, tidak ada, tidak ada. "Baru" hanyalah sesaat.

Lalu, bagaimana agar para penikmat "Baru" bisa menikmatinya?

Hmm...

Kita mengenal istilah pengantin baru, momen yang diimpi-impikan setiap pemuda dan pemudi. Masa itu adalah masa yang penuh kebahagiaan. Tetapi berbeda-beda "Bahagia". Ada yang bahagia karena sudah terlepas rindunya, ada yang karena berhasil memiliki seseorang yang dianggapnya 'Wah!' (bangga/mendapat kepuasan), ada yang bahagia karena merasakan sesuatu yang baru (kenikmatan tak terkira), ada yang bahagia karena terpenuhi rasa penasarannya terhadap suatu rasa, ada yang karena telah menjadi terangkat kualitas hidupnya menurut ajaran agamanya, dan sebagainya.

Apakah penikmat "Baru" harus menikah lagi (berpoligami) untuk menikmati pengantin baru?

Hehe...

Kita mengenal istilah "Persepsi", saudaranya adalah "Sifat: baik, buruk, bagus, baru, tua, muda, merah, positif, dsb".  Ketika seorang mahasiswa sudah belajar selama satu bulan atau dua bulan di suatu kampus, diamasih berpersepsi bahwa dirinya adalah mahasiswa baru. Seorang kekasih yang menunggu kekasihnya selama kurang lebih 20 menit berpersepsi bahwa dirinya sudah sangat lama menunggu. Nah, "Baru" yang mana yang banyak disukai orang (Suami)? "Baru" menurut persepsi orang banyak, kelompok, orang berpengaruh, atau individu si penikmat baru?

Istri muda. Woooww...!!

Menikah lagi, bisa jadi bukan hanya nikmat karena dapat istri baru, tetapi karena hal tersebut adalah hal baru bagi si suami. Entahlah bagaimana ketika hal tersebut sudah bukan hal baru lagi, misalnya, sudah 10 kali atau bahkan 30 kali menikah?

Ada cerita tetangga--sebagai pelajaran saja--ketika hidup dengan istri pertamanya, dia suka jajan di luaran, dan akhirnya ia cerai dengan istrinya. Kemudian menikah lagi. Suatu hari orang tuanya jengkel dengan perilaku istri mudanya dan mengadukan kejelekan istrinya. Apa jawabnya? "Cukup sekali ini saja saya beristri lagi". Hal ini juga terjadi pada saudara saya, ketika seorang temannya menebak bahwa dia akan menikah empat kali, tegas dia jawab "Tidak".

Cinta, ya, begitulah cinta.

Coba kita kenali dua bersaudara yang tidak pernah bersama, yakni "Rindu" dan "Bosan". Ketika bosan, selalu ingin menjauh, tetapi setelah menjauh, rindu kadang datang.

Ya, begitulah.

Berikutnya tentang objek dan subjek.

Istri sering jadi objek; ada juga yang dua-duanya sama-sama jadi objek dan subjek; ada yang suami yang jadi objek; dan ada yang jabatan, harta, impian, yang jadi objek. Ketika istri jadi objek, berarti dia disenangi (dikenai) oleh suami: disenangi kebaruan keberadaannya, bentuk fisiknya yang masih terasa unik (cantik), dan banyak lagi.

"Cantik dan Baru" itu adalah sifat, kaitannya dengan "Persepsi". Wanita yang biasa-biasa akan dipersepsikan (Persepsi) sangat cantik saat bersama wanita lain yang jelek. Wanita yang baru ditemui juga demikian. Selain itu, persepsi kebanyakan juga berpengaruh, seperti bintang film, karena sudah dipromosikan cantik, maka banyak yang terpengaruh ikut berpersepsi cantik.

Nah, berarti, hubungan yang bersistem subjek-objek memungkinkan untuk melahirkan kebosanan. Lalu? apakah itu memang kewajaran, dan poligami juga diwajarkan? Setujukah kaum hawa?

Bagaimana kalau menyenangi yang bukan sifat dari sesuatu (objek) saja, tetapi keadaan (hasil) yang hanya bisa diciptakan bersama dengan istri/suami? Keduanya bekerja sama untuk menciptakan keadaan yang bisa dinikmati bersama. Keadaan tersebut bisa berupa ketenangan hidup, kedamaian, dan saudara-saudaranya.

Nah, kalau berpoligami? Sebenarnya ingin mendapatkan hasil yang demikian atau menuruti hasrat lelaki tanpa pertimbangan hasil? Saya rasa kaum pria, ayah/calon ayah sangat tahu suara hatinya dan bisa memandang wajah-wajah mungil generasi yang jiwanya perlu diisi dengan teladan yang baik.

*Lanjutkan nanti sampai di sini dulu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun