Setiap manusia khususnya umat Hindu yang lahir ke dunia ini membawa tiga hutang atau yang dikenal juga sebagai Tri Rna. Tri Rna berasal dari dua kata yaitu Tri dan Rna yang mana kedua kata tersebut berasal dari bahasa Sansekerta yang mana Tri artinya tiga dan Rna artinya hutang.Â
Adapun bagian-bagian dari Tri Rna yang pertama yaitu Dewa Rna artinya hutang yang dimiliki oleh manusia sejak ia dilahirkan yang mana hutang tersebut ditujukan kepada sang pencipta atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena atas dan berkat ialah kita dapat hadir ke dunia ini sebagai ciptaannya melalui percikan-percikan kecil dari-Nya.Â
Lalu Pitra Rna yaitu hutang kepada leluhur dan yang terakhir yaitu Rsi Rna atau hutang kepada para rsi, guru, ataupun pendeta yang senantiasa mengajari kita selaku umat Hindu tentang apa itu ilmu pengetahuan. Dari ketiga hutang ini maka lahirlah Panca Yadnya yang mana dalam hal ini Panca Yadnya digunakan sebagai media untuk membayar hutang-hutang yang dibawa sejak lahir oleh umat Hindu.Â
Panca Yadnya sendiri berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari 2 kata yaitu Panca dan Yadnya di mana Panca artinya lima dan Yadnya artinya memuja atau korban suci sehingga dapat diartikan pula konsep ini sebagai lima persembahan atau korban suci yang dilakukan dengan rasa tulus ikhlas yang dihaturkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Adapun bagian-bagian dari Panca Yadnya tersebut adalah Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Rsi Yadnya, Manusa Yadnya, dan Bhuta Yadnya.Â
Dewa Yadnya yaitu suatu persembahan atau korban suci yang dilakukan oleh umat hindu di mana dalam pelaksanaannya mengedepankan rasa tulus ikhlas yang mana pemujaan ini ditujukan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasinya, lalu Pitra Yadnya adalah suatu bentuk penghormatan atau persembahan kepada para leluhur yang sangat berjasa akan eksistensi kita saat ini di dunia.Â
Adapun Pitra Yadnya ini memiliki tujuan agar roh para leluhur kita senantiasa disucikan sehingga mendapatkan tempat yang baik disisi Ida Sang Hyang Widhi Wasa, selanjutnya Rsi Yadnya yaitu persembahan yang dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada para Maharsi, guru, dan orang suci yang mana berhubungan erat dengan agama Hindu itu sendiri, lalu Manusa Yadnya yaitu suatu korban suci yang dilakukan untuk memelihara hidup dan mencapai kesempurnaan dalam hidup ini sehingga manusia senantiasa diberikan kebahagiaan dan kesejahteraan dan yang terakhir yaitu Bhuta Yadnya yaitu suatu upacara suci atau korban suci yang dilakukan sebagai pelaburan akan hal-hal negatif agar senantiasa kembali ke jalan Ida Sang Hyang Widhi Wasa di mana upacara ini ditujukan kepada bhuta kala atau makhluk bawah.Â
Berbicara tentang Panca Yadnya tentu sebagai umat Hindu sejak kita lahir sudah seringkali melakukan upacara-upacara ini bahkan sebagai umat Hindu sejak masih di dalam kandungan hingga akhirnya kembali kepada Ida Sang Hyang Widhi selaku pencipta, semuanya ada upacara-upacara yang harus dilakukan.Â
Dalam hal ini kita akan membahas terkait upacara ngaben yang mana pada daerah-daerah tertentu ,di Bali khususnya, upacara tersebut dilakukan secara besar-besaran yang tentunya apabila dilihat secara materiil maka diperlukan dana yang cukup besar. Yang menjadi pertanyaan untuk generasi-generasi berikutnya mungkin adalah apakah upacara ngaben secara besar-besaran harus dilakukan di segala situasi bahkan di situasi yang tidak memungkinkan dari segi ekonomi sekalipun.Â
Maka disinilah akan dibahas terkait hal ini di mana tentunya bersumber dari kitab-kitab suci agama Hindu. Mungkin tak jarang ditemui di kehidupan bermasyarakat bahwa ada orang-orang yang rela menjual warisan leluhur mereka demi melakukan upacara ngaben ini yang mana di satu sisi untuk keluarga yang melakukan yadnya tersebut tidak dalam situasi dan kondisi yang memungkinkan tetapi karena kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di masyarakat dari turun-temurun membuat hal tersebut seperti suatu keharusan.Â
Sesungguhnya suatu hal tidak serta merta ketika dilakukan oleh banyak orang, hal tersebut menjadi menjadi benar. Dalam hal ini tidak bermaksud untuk memojokkan pihak-pihak tertentu ataupun suatu adat dan tradisi yang berlaku di suatu daerah, hanya saja lebih merujuk kepada mengupas apa yang terjadi di sekitar kita yang mungkin saja bisa lebih disederhanakan atau dalam artian disesuaikan dengan situasi dan kondisi setiap individu berdasarkan apa yang tertuang dalam Kitab kitab suci agama Hindu. alangkah baiknya jika warisan yang dimiliki senantiasa diberikan kepada generasi-generasi berikutnya sehingga warisan tersebut tidak hanya berhenti di satu generasi saja.Â
Tentu sekali lagi ditekankan bahwa dalam hal ini digarisbawahi adalah situasi dan kondisi yang tidak mendukung. Namun, apabila memang situasi dan kondisi individu tersebut mendukung untuk dilakukan upacara yang memang sepatutnya seperti itu tentu sah-sah saja dan bahkan bagus untuk dilakukan sehingga disini kita mengajak umat Hindu untuk sama-sama belajar terkait bahwa agama tidak pernah menyusahkan umatnya karena dalam yadnya itu sendiri yang dibutuhkan adalah rasa tulus ikhlas dan bukan seberapa besar yadnya yang dilakukan. Dengan begitu, selama kita melakukan yadnya dengan rasa tulus ikhlas dan memang tujuan serta aturan-aturan yadnya yang berlaku dilakukan sebagaimana mestinya meskipun dalam skala yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi masing-masing individu sekalipun maka hal tersebut tentu akan baik dan dibenarkan untuk dilaksanakan.Â
Dalam Manawa Dharmasastra dijelaskan ada lima hal yang menjadi tolok ukur suatu yadnya dikatakan sebagai yadnya yang sukses dalam artian yadnya yang dilakukan itu sampai kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Lima hal tersebut diantaranya yaitu Iksha yang mana itu artinya setiap pelaksanaan yadnya harus dilakukan dengan adanya tujuan yang jelas sehingga segala sesuatunya menjadi terarah, lalu yang kedua yaitu Sakti di mana artinya setiap yadnya harus dilakukan sesuai dengan kemampuan diri sendiri dan tidak memaksakan dari batas kemampuan kita sehingga nantinya tidak menyusahkan diri kita sendiri karena Tuhan tidak mungkin suka atau senang ketika melihat umatnya susah ketika memuja-Nya, lalu yang ketiga yaitu Desa di mana yadnya yang dilakukan harus dipertimbangkan terkait daerah maupun tempat diadakannya yadnya tersebut, yang keempat yaitu Kala di mana yadnya juga harus mempertimbangkan terkait waktu yang baik yang senantiasa berpedoman pada penentuan hari baik dan buruk di agama Hindu itu sendiri, dan yang terakhir yaitu Tattwa yang di mana itu artinya yadnya yang dilakukan harus senantiasa dipahami hakikatnya dalam hidup ini sehingga kita tidak hanya melakukan tapi kita juga mengetahui apa esensi dari yadnya tersebut.Â
Dari uraian di atas sedikit tidaknya mulai tercerahkan bahwa yadnya yang dilakukan termasuk Ngaben itu tidak harus dilakukan secara besar-besaran selama Apa yang dilakukan itu sudah senantiasa mengikuti aturan-aturan yang ada di dalam agama Hindu.
Selain di kitab Manawa Dharmasastra, kuantitas dari yadnya tersebut juga dibahas dalam Bhagawadgita yaitu pada bab 9 sloka 26 yang mana berbunyi "Patram Puspam Phalam Toyam, Yo mebhaktya praya schati, Tad aham bhaktyu pahritam, Tad aham praya tat manah" yang memiliki arti yaitu siapapun yang sujud kepada Tuhan dengan mempersembahkan sehelai daun, sekuntum bunga, sebiji buah-buahan, seteguk air yang dilandasi hati yang tulus, suci dan ikhlas (lascarya) akan diterima sebagai persembahan yang sempurna.Â
Dari sloka tersebut kita dapat mengartikannya bahwa bahkan dengan hal sesederhana itu Tuhan bisa menerima yadnya dari umatnya karena poin yang terpenting disini adalah suci dan ikhlas tetapi dengan catatan ketika seseorang telah mampu atau mempunyai materi yang lebih maka sudah seyogyanya bisa meningkatkan dari kuantitas yadnya. Meskipun tetap sederhana tetapi sederhana dalam situasi dan kondisi individu tersebut bukan sederhana dalam artian situasi dan kondisi orang lain.Â
Adapun tingkatan yadnya itu yang pertama adalah utama, lalu madya, dan terakhir kanista di mana ketiganya dibagi lagi menjadi tiga bagian yaitu utamaning, madyaning, dan kanistaning. Dari penjelasan tersebut sudah terjawab bahwa ketika situasi dan kondisi tidak memungkinkan untuk melakukan Ngaben secara besar-besaran, tidak ada salahnya untuk melakukan secara sederhana dan tidak ada keharusan untuk menjual warisan leluhur untuk sekedar melakukan yadnya agar dipandang berbeda oleh orang lain karena esensi dari melakukan yadnya adalah bagaimana tujuan kita melakukan yadnya tersebut terealisasikan dan pelaksanaan secara tulus ikhlas turut juga terealisasikan. Sekali lagi dalam hal ini kita sama-sama belajar sebagai umat Hindu agar senantiasa menjadi umat yang berada di jalan dharma dan memiliki rasa tulus ikhlas dalam menjalankan yadnya.
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H