Mohon tunggu...
Ni Kadek Sri Intan Putri A.
Ni Kadek Sri Intan Putri A. Mohon Tunggu... Mahasiswa - Medstud'21

Halo!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Kebiasaan Keluarga dalam Menyambut Galungan

9 November 2021   15:42 Diperbarui: 9 November 2021   16:13 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Umat Hindu saat melakukan upacara keagamaan di Pura Jaganatha Denpasar. (KOMPAS.com/Ach. Fawaidi)

Setiap agama memiliki hari besar keagamaan yang dirayakan oleh umat yang menganutnya. Hari raya Galungan merupakan salah satu dari banyaknya hari raya yang dikenal oleh umat beragama Hindu. Hari raya Galungan datang setiap enam bulan sekali atau 210 hari yang mana hari raya ini merupakan suatu hari untuk memperingati kemenangan dharma (kebaikan) melawan adharma (kejahatan). 

Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa inti dari Galungan yang jatuh pada hari Rabu Kliwon wuku Dungulan adalah penyatuan kekuatan rohani yang bertujuan agar memperoleh pikiran serta pendirian yang terang. Kata Galungan sendiri sesungguhnya sama dengan dungulan yang mana memiliki arti menang atau bertarung. 

Oleh karena itu, penamaan wuku kesebelas di Jawa yaitu Galungan dan Bali yaitu Dungulan tetap memiliki makna yang sama karena memang pada dasarnya hanya nama keduanya yang berlainan tetapi maknanya sama. 

Berdasarkan salah satu lontar yaitu lontar Purana Bali Dwipa, hari raya Galungan untuk pertama kalinya dirayakan oleh umat Hindu yaitu pada purnama kapat/keempat, Budha Kliwon wuku Dungulan, tepatnya pada abad ke IX atau sekitar tahun saka 804 dan jika dijadikan ke dalam masehi yaitu sekitar tahun 882 masehi. 

Adapun perayaan ini pertama kali dilaksanakan pada zaman kerajaan Sri Kesari Warmadewa, yang mana diawali dengan suatu peristiwa yang sangat besar dan diluar logika manusia berdasarkan sumber yang diperoleh dari usana-usana yang ada seperti Usana Jawa, Usana Bali, dan juga Usana Bali Dwipa. Hingga saat ini setiap 6 bulan sekali, hari raya suci Galungan rutin disambut oleh umat Hindu.

Tentu hari raya Galungan tidak berdiri sendiri. Tepat sebelum hari raya Galungan, terdapat sejumlah rangkaian lain yang menyertainya. Dimulai dari 25 hari sebelum hari raya tersebut dilakukan upacara persembahan yang mana ditujukan Untuk Ida Sang Hyang Widhi dalam wujud manifestasinya yaitu Sang Hyang Sangkara yang merupakan Dewa Kemakmuran serta Keselamatan bagi Tumbuh-tumbuhan. 

Perayaan ini disebut sebagai Tumpek Pengatag atau Tumpek Wariga yang dilakukan sebagai perwujudan dari konsep tri hita karana khususnya yaitu palemahan (manusia terhadap tumbuhan). Selanjutnya, 6 hari sebelum Galungan dilaksanakan pula upacara lainnya yang disebut sebagai Sugihan Jawa. Adapun sugihan disini berasal dari kata sugi dan jawa. 

Sugi sendiri berarti menyucikan sedangkan jawa atau jaba berarti di luar. Dengan begitu, Sugihan Jawa tersebut berarti prosesi pembersihan atau penyucian. Lalu, 5 hari sebelum Galungan dikenal sebagai Sugihan Bali yang maknanya kurang lebih sama yaitu membersihkan atau menyucikan. 

Semakin dekat dengan Galungan, 3 hari sebelum puncak, yaitu Minggu Pahing wuku Dungulan dikenal sebagai hari penyekeban. Adapun makna dari hari penyekeban ini adalah sebagai wujud untuk mengekang hawa nafsu yang melenceng dari ajaran dharma. 

Pada umumnya, di hari ini, umat Hindu mulai nyekeb buah salah satunya adalah pisang yang nantinya akan digunakan pada saat Galungan. Setelah penyekeban, dilanjutkan dengan upacara penyajaan. 

Tepat sehari sebelum Galungan adalah hari penampahan. Di hari ini, umat Hindu banyak yang menyembelih hewan, seperti babi, sebagai simbol untuk membunuh nafsu yang tak baik dari dalam diri. Selain itu, hewan yang telah disembelih juga akan digunakan sebagai salah satu sarana perlengkapan upacara. Biasanya, umat Hindu akan membuat makanan khas seperti sate, tum, bahkan lawar di hari ini. 

Sehari sebelum Galungan pula, umat Hindu membuat sarana-sarana persembahyangan, salah satunya yang memiliki filosofi sebagai simbol kemakmuran serta kesejahteraan yaitu penjor yang terbuat dari bambu. 

Pada hari puncak yaitu Galungan, umat Hindu akan melakukan persembahyangan mulai dari di rumah, sanggah/merajan, kahyangan tiga, hingga ke pura-pura lain. Lalu, sehari setelahnya, masyarakat akan mengunjungi sanak saudara untuk menjalin tali silaturahmi yang lebih erat ataupun melakukan tirta yatra.

Berbicara tentang rangkaian hari raya Galungan, tentu saja perayaan ini sangat ditunggu-tunggu oleh umat Hindu. Di keluarga saya terdapat kebiasaan-kebiasaan yang sudah terjadi sejak bertahun-tahun yang lalu. Kebiasaan ini adalah dengan masak bersama di hari penampahan serta berkumpul bersama usai melakukan persembahyangan di hari raya Galungan. 

Untuk saya sendiri, kebiasaan yang ada sangat berperan dalam mempererat persaudaraan. Biasanya keluarga saya akan membeli daging babi dengan patungan atau saling menyumbang uang. Tentu dengan membeli secara bersama-sama seperti ini, biaya yang nantinya akan dikeluarkan menjadi lebih sedikit dan jauh lebih irit. 

Acara masak-masak ini sering kali diadakan di rumah saudara tertua dari pihak ayah. Kebetulan rumah kami cukup dekat hanya berbeda blok saja. 

Selain itu, mengingat baik ayah saya maupun saudaranya sama-sama merupakan perantau, dalam artian tidak tinggal di desa yang sama dengan orangtua yaitu kakek dan nenek saya, sehingga masak bersama membuat suasana menjadi lebih kekeluargaan. Biasanya ayah saya akan mulai membuat bumbu, lalu Ibu dan tante saya akan mengolah bahan-bahan yang lain, begitu pula dengan paman dan tante saya yang lain.

Olahan daging tersebut sangatlah banyak macamnya, untuk jumlahnya sendiri pun memang sengaja dibuat lebih banyak mengingat kami nanti akan membaginya dan akan dimakan bersama-sama setelah semua makanan yang dibuat matang. Makanan yang dibuat diantaranya sate lilit yang terbuat dari daging babi serta parutan kelapa dengan bumbu-bumbu khasnya. 

Di desa saya sendiri, sate lilit dibuat dengan rasa yang khas yaitu manis. Saya sendiri sangat suka dengan cita rasanya, mengingat di daerah tempat tinggal saya rasa khas sate lilit yang dibuat cukup berbeda yaitu gurih dan pedas. 

Selain sate, ada pula tum, lawar, serta jukut balung yang tak pernah absen kami buat. Tak jarang pula kami membuat urutan yang mirip seperti sosis yang mana bagian luarnya terbuat dari usus babi sedangkan di dalamnya terdapat daging dan lemak babi yang telah dibumbui. Lagi-lagi makanan ini menjadi ciri khas desa saya dan sangat identik dengan urutan manisnya. Sangat enak.

Selain mengolah daging yang telah dibeli, kami juga membuat tumpeng yang sangat lezat. Tumpeng sendiri merupakan makanan yang berbahan dasar nasi yang ditumbuk sesaat setelah matang dan tidak lupa diberi minyak goreng yang dibuat sendiri atau dikenal pula sebagai “lengis tandusan” serta ditambahkan pula garam secukupnya yang nantinya akan memberikan sensasi rasa gurih dari tumpeng yang dibuat. Setelah semuanya matang, kami akan menghaturkan terlebih dahulu atau dikenal dengan ngejot. 

Lalu setelahnya, kami akan makan bersama dan saling bercakap-cakap. Mungkin kebiasaan-kebiasaan seperti ini terdengar cukup sederhana, tetapi dampak yang kami rasa cukup besar. Setelah sibuk dengan kegiatan masing-masing, disaat seperti inilah menjadi waktu yang tepat untuk berkumpul dan saling bercerita tentang kabar masing-masing. 

Tak jarang para orangtua juga menceritakan masa kecil mereka dan bernostalgia akan hal itu. Sederhana tetapi sangat menyenangkan. Di hari raya Galungan sendiri, saat pulang ke desa akan diadakan rapat keluarga dan saling bertukar kabar. 

Berbagi lungsuran pun sudah sangat lumrah terjadi, kebetulan rumah kakek dan nenek saya berada di tengah-tengah dari satu keluarga besar. Sehingga sesaat setelah selesai bersembahyang kami akan duduk-duduk dan berkumpul bersama di terasnya. Saat kecil dulu, di saat seperti ini saya akan bermain dengan sepupu dan saudara saya yang lain, sangat menyenangkan untuk diingat.

Upacara keagamaan seperti Galungan merupakan suatu waktu yang tepat untuk mendekatkan diri dengan tuhan, sesama, dan menjaga lingkungan. 

Konsep tri hita karana yang kuat akan sangat terealisasikan. Setiap keluarga pasti memiliki kebiasaan-kebiasaan yang unik dan terjadi setiap tahunnya. Selama kebiasaan tersebut berdampak positif, tentu harus terus dilakukan dan dilestarikan. Jangan sampai karena perubahan zaman yang semakin canggih, yang jauh bisa menjadi dekat tetapi yang dekat malah sebaliknya yaitu menjadi jauh. 

Kebiasaan yang sederhana seperti sekadar memasak bersama dan juga berkumpul setelah persembahyangan mungkin terdengar sepele, tetapi kenyataanya begitu besar dampak yang mungkin dihasilkan. 

Terkadang dampaknya tidak hanya dirasakan sekarang, tetapi bisa di kemudian hari. Komunikasi yang erat dan memastikan seluruh keluarga tetap dalam jangkauan akan sangat berguna untuk senantiasa mempertahankan tali silaturahmi yang kuat.

Nama : Ni Kadek Sri Intan Putri Ariawan

NIM : 2118011016

Jurusan : Kedokteran

Program Studi : Kedokteran

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun