Setiap agama memiliki hari besar keagamaan yang dirayakan oleh umat yang menganutnya. Hari raya Galungan merupakan salah satu dari banyaknya hari raya yang dikenal oleh umat beragama Hindu. Hari raya Galungan datang setiap enam bulan sekali atau 210 hari yang mana hari raya ini merupakan suatu hari untuk memperingati kemenangan dharma (kebaikan) melawan adharma (kejahatan).Â
Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa inti dari Galungan yang jatuh pada hari Rabu Kliwon wuku Dungulan adalah penyatuan kekuatan rohani yang bertujuan agar memperoleh pikiran serta pendirian yang terang. Kata Galungan sendiri sesungguhnya sama dengan dungulan yang mana memiliki arti menang atau bertarung.Â
Oleh karena itu, penamaan wuku kesebelas di Jawa yaitu Galungan dan Bali yaitu Dungulan tetap memiliki makna yang sama karena memang pada dasarnya hanya nama keduanya yang berlainan tetapi maknanya sama.Â
Berdasarkan salah satu lontar yaitu lontar Purana Bali Dwipa, hari raya Galungan untuk pertama kalinya dirayakan oleh umat Hindu yaitu pada purnama kapat/keempat, Budha Kliwon wuku Dungulan, tepatnya pada abad ke IX atau sekitar tahun saka 804 dan jika dijadikan ke dalam masehi yaitu sekitar tahun 882 masehi.Â
Adapun perayaan ini pertama kali dilaksanakan pada zaman kerajaan Sri Kesari Warmadewa, yang mana diawali dengan suatu peristiwa yang sangat besar dan diluar logika manusia berdasarkan sumber yang diperoleh dari usana-usana yang ada seperti Usana Jawa, Usana Bali, dan juga Usana Bali Dwipa. Hingga saat ini setiap 6 bulan sekali, hari raya suci Galungan rutin disambut oleh umat Hindu.
Tentu hari raya Galungan tidak berdiri sendiri. Tepat sebelum hari raya Galungan, terdapat sejumlah rangkaian lain yang menyertainya. Dimulai dari 25 hari sebelum hari raya tersebut dilakukan upacara persembahan yang mana ditujukan Untuk Ida Sang Hyang Widhi dalam wujud manifestasinya yaitu Sang Hyang Sangkara yang merupakan Dewa Kemakmuran serta Keselamatan bagi Tumbuh-tumbuhan.Â
Perayaan ini disebut sebagai Tumpek Pengatag atau Tumpek Wariga yang dilakukan sebagai perwujudan dari konsep tri hita karana khususnya yaitu palemahan (manusia terhadap tumbuhan). Selanjutnya, 6 hari sebelum Galungan dilaksanakan pula upacara lainnya yang disebut sebagai Sugihan Jawa. Adapun sugihan disini berasal dari kata sugi dan jawa.Â
Sugi sendiri berarti menyucikan sedangkan jawa atau jaba berarti di luar. Dengan begitu, Sugihan Jawa tersebut berarti prosesi pembersihan atau penyucian. Lalu, 5 hari sebelum Galungan dikenal sebagai Sugihan Bali yang maknanya kurang lebih sama yaitu membersihkan atau menyucikan.Â
Semakin dekat dengan Galungan, 3 hari sebelum puncak, yaitu Minggu Pahing wuku Dungulan dikenal sebagai hari penyekeban. Adapun makna dari hari penyekeban ini adalah sebagai wujud untuk mengekang hawa nafsu yang melenceng dari ajaran dharma.Â
Pada umumnya, di hari ini, umat Hindu mulai nyekeb buah salah satunya adalah pisang yang nantinya akan digunakan pada saat Galungan. Setelah penyekeban, dilanjutkan dengan upacara penyajaan.Â