Dengan tegas dirinya menyebut bahwa perhitungan keuangan negara dijumlah dari sejumlah terdakwa, yang nilai totalnya melebihi dari yang didakwakan.Â
Padahal seharusnya dihitung dari Tindakan yang dilakukan terdakwa. Pendapatnya juga pernah diutarakan pakar hukum UNAIR yang menyebut kalau kerugian yang awalnya 5 miliar, jangan sampai yang dibebankan adalah 5 triliun.
Terakhir, Dian Puji menjelaskan dua makna penitng dari dissenting opinion (DO) dari Hakim Mulyono. Pertama, DO ini menjadi dasar kuat bagi para pihak untuk mengajukan banding maupun kasasi terhadap putusan pengadilan.Â
Kedua, catatan untuk BPK, penyidik atau siapa pun yang bertugas menghitung kerugian negara harus betul-betul mengikuti dan sesuai peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, dasar perhitungan kerugian negara harus nyata dan pasti, bukan yang masih potensi.
Sebenarnya sangat disayangkan pihak Kejaksaan akhirnya memilih kompak dengan BPK ketimbang mempertimbangkan masukan dari para pakar hukum. Begitu juga para hakim yang memutus perkara dengan tangan dingin, meski masih ada satu orang yang berani menyuarakan dissenting opinion. Soal saham yang nilainya fluktuatif, harusnya tak dinyatakan merugi saat nilainya turun saja.
Ditambah ada upaya hukum tebang pilih seperti yang diungkap Bentjok dalam kasus Jiwasraya. Bahwa BPK hanya menghitung kerugian di periode tertentu saja dan menutup kerugian di saat Bakrie menanam repo senilai 3 triliun yang juga tak dikembalikan.Â
Kita nantikan saja putusan terkahir pada Bentjok dan HH. Kemungkinan Hakim Mulyono akan Kembali mengeluarkan dissenting opinion yang akan menjadi oase dalam ketidakpastian penanganan korupsi Asabri.
Referensi:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H