Dissenting Opinion (DO) Hakim Mulyono dalam kasus Asabri memang menarik untuk diperbincangkan. Bagaimana tidak, publik yang sebelumnya dibuat terpukau oleh aksi heroik BPK dan Kejaksaan dalam menemukan kerugian negara fantastis di kasus Asabri, nyatanya mulai dibukakan pemikirannya bahwa apa yang mereka lakukan adalah sebuah kekeliruan bahkan kesalahan fatal. Entah bagaimana nasib keadilan di negeri ini kalau semua penegak hukum tak ada yang berani menyuarakan kebenaran.
Sayangnya Hakim Mulyono hanya ditunjuk untuk memutus perkara Asabri. Bisa dibayangkan kalau sebelumnya ia juga menjadi Hakim di perkara Jiwasraya, bisa dipastikan setiap pengadilan akan diwarnai dissenting opinion.Â
Seperti halnya putusan pengadilan pada empat terdakwa dari penyelenggara negara dan dua terdakwa swasta lainnya. Bahwa dissenting opinion Hakim Mulyono juga mewakili suara para pakar hukum yang sebelumnya menyorot kasus ini.
Berbeda dengan hakim lainnya, Mulyono mampu menemukan kejaknggalan audit BPK hingga menyebut kerugian yang dimaksud masih potensi, bukan angka faktual yang saat ini digembar-gemborkan.Â
Pantas saja vonis para terdakwa selalu berbeda jauh ketimbang tuntutan Kejaksaan. Yang artinya institusi Kejaksaan telah melakukan kecerobohan dalam mengusut perkara besar ini. Setelah menuai dukungan dari pakar hukum UNAIR dan guru besar Jogjakarta, kini dukungan juga hadir dari ahli hukum UI.
Pakar Hukum administrasi negara, Dian Puji Nugara bahkan menyebut dissenting opinion Hakim Mulyono seperti oase di dalam suatu padang gurun pemberantasan korupsi yang tidak berkepastian.Â
Dengan tegas Dian mengungkap bahwa metode perhitungan total lost dalam kerugian keuangan negara yang dilakukan BPK dalam kasus Asabri adalah sesuatu yang aneh. Menurutnya apa yang disampaikan Hkim Mulyono sangat tepat secara teori dan konsep pengaturan kerugian negara.
Dian Puji Nugraha juga menyatakan bahwa total lost tidak dikenal lagi sejak kehadiran Pasal 39 PP Tahun 2016 Tentang Tata Cara Tuntutan Ganti Kerugian Negara/Daerah Terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara atau Pejabat Lain. Pasal 39 PP juga menyebutkan penentuan nilai kekurangan dari penyelesaian kerugian negara atau daerah dilakukan berdasarkan nilai buku atau nilai wajar dari barang yang sejenis. Dalam hal ini, yang digunakan adalah angka yang paling tinggi di antara keduanya.
Disamping itu, Dian Puji Nugraha juga menyebut jika BPK merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan (PKM) Nomor 248 Tahun 2016 yang mengatur soal pengelolaan jaminan TNI-Polri.Â
Menurutnya terdapat aturan yang lebih tinggi yang menegaskan perhitungan kerugian keuangan negara harus berdasarkan kerugian nyata dan pasti yaitu UU Nomor 1 Tahun 2004 mengenai Perbendaharaan Negara dan Putusan Mahkamah Konstitusi.
Dian mengibaratkan nilai nyata semisal jika dirinya kehilangan uang kas 200 ribu rupiah, maka nilai tersebutlah yang dianggap kerugian, bukannya kalau uangnya digunakan maka bertambah jadi 500 ribu rupiah.Â