Ini ceritaku kuliah S2 di Korea Selatan!
“Mbak, aku pengen dong baca semua cerita mbak Niha selama di sana”.
Pesan WhatsApp (WA) dari salah satu adek kelasku.
Memang, hampir selalu tulisanku di Kompasiana ini aku jadikan status WA agar terbaca oleh teman-teman yang ingin tahu isi hati dan pikiranku. Hehe. Dan tentu saja aku senang bila ada yang memberikan respon semacam ini. Sebab, sebagai seorang yang menikmati aktivitas menulis, aku senang bila ada yang membaca tulisanku. Dan sebagai seorang yang sedang ingin konsisten berliterasi melalui menulis setiap hari, aku membutuhkan topik untuk ditulis. Jadi, feedback dari adek kelasku ini akan menjadi topik yang mungkin akan banyak mengisi daftar artikel kompasianaku. Endingnya, semoga tulisanku ‘menginformasi’ dan memberikan manfaat pada mereka. Semoga bermanfaat bagi adek kelasku dan siapapun dalam persiapan belajar ke luar negeri.
Aku yakin, bagi mereka yang sebelum belajar ke luar negeri, baik sebagai mahasiswa pertukaran pelajar maupun sebagai mahasiswa kuliah penuh (regular), sebelumnya pernah melakukan perjalanan wisata atau kegiatan bisnis, dan lain sebagainya ke luar negeri, pasti akan memiliki persiapan yang lebih baik daripada yang belum pernah sama sekali. Jadi kalau ditanya bagaimana persiapanku berangkat ke Korea Selatan? Bagaimana hari-hariku di sini? tentu saja aku awali dengan banyak kesalahan dan ketidaknyamanan. Ini kali pertamaku melakukan perjalanan ke Luar negeri, belajar di sini, dan menjalani hidup yang tidak satu bulan enam bulan. Rasanya seperti memulai hidupku dari awal lagi.
Aku skip pembahasan mengenai persiapan keberangkatan. Aku akan fokuskan ke kehidupan akademik di kampus sebagai mahasiswa kuliah penuh S2 (Master’s student regular program) jurusan Humaniora dan Ilmu sosial (baca: Liberal Arts and Social Science). Sebenarnya kalau berbicara mengenai kehidupan akademikku, aku memiliki dua cerita yang berbeda. Karena paket beasiswa Global Korea Scholarship (GKS) terbagi menjadi dua kegiatan akademik yaitu ketika kursus Bahasa Korea dan ketika kuliah regular. Lebih baik aku pisahkan pembahasannya agar lebih terfokus.
Apa Perbedaan Kuliah di Dalam Negeri dan Luar Negeri?
Aku kuliah S1 di dalam kota. Memiliki teman-teman sekelas yang sebagian besar dari kota yang sama. Perkuliahanku menggunakan Bahasa Inggris sesuai jurusan, tapi tetap saja, untuk memudahkan komunikasi dengan teman-teman di jam kuliah, serta tidak ada alasan bagiku untuk berkomunikasi dengan dosen dan siapapun menggunakan Bahasa Inggris di luar jam kuliah, maka sudah tentu Bahasa lokal yang lebih banyak aku praktikkan.
Pendahuluan ini perlu aku tulis karena inilah yang mempengaruhi “perbedaan signifikan” yang aku rasakan saat kuliah di dalam negeri dan di Korea. Jujur, ini menjadi salah satu kekhawatiranku saat itu, sekaligus pertimbangan yang perlu mendapat jawaban matang dari diriku sendiri sebelum memutuskan mendaftar beasiswa. Aku bertanya pada diriku sendiri, “Serius kamu siap dengan segala perbedaan yang ada? Siapkah kamu dengan Culture shock akademik dan culture shock sosial yang akan kamu hadapi disana yang mungkin akan mempengaruhi keadaan psikologimu?
Telah sampailah aku di Korea Selatan ini, maka aku sudah bertekad dan percaya bahwa aku pasti bisa melalui semuanya dengan baik.
- Perbedaan Bahasa. Aku bersyukur kuliahku menggunakan Bahasa Inggris 100%. Mengapa harus bersyukur? Kamu harus tahu bahwa kuliah di Korea akan ada kemungkinan perkuliahan menggunakan Bahasa Korea 50% atau 100%. Saranku, bila kamu ingin kuliah ke sini, cek baik-baik bahasa apa yang akan digunakan dalam perkuliahan. Bila kamu tidak yakin dengan Bahasa Koreamu, maka lebih baik pakai Bahasa Inggris saja. Bahasa Korea dalam komunikasi sehari-hari tidak lebih sulit dari Bahasa Korea untuk pembelajaran (buku, artikel, presentasi, dsb). Aku sendiri, menggunakan Bahasa Inggris 100% persen saja terkadang masih rada kikuk karena belum terbiasa dengan tuntutan 100% menggunakan bahasa kedua (baca: second language, bukan bahasa Indonesia) di kelas. Daripada berisiko tidak mendapat pemahaman yang baik dari perkuliahan, lebih baik memakai Bahasa Inggris.
- Perbedaan Komunitas Belajar; Teman Sekelas. Aku merasa agak kurang beruntung dalam hal partner belajar. Aku berharap selain teman-teman dari Negara lain, aku sangat ingin memiliki teman sekelas orang Korea asli, sehingga Bahasa Inggris dan Bahasa Koreaku bisa aku praktikkan di kelas, setidaknya dalam komunikasi. Tapi ternyata, dari 15 orang sekelas (aku hitung rata-rata per mata kuliah), aku seorang diri dari Indonesia, 2 orang dari Vietnam, 1 orang dari Kyrgistan, yang lainnya dari Uzbekistan. Aku merasa sedang bukan kuliah di Korea, tapi kuliah di Uzbekistan. Laki-laki lebih banyak dari perempuan, alhasil yang paling membuat kebisingan di kelas adalah laki-laki. Jumlah kami sekelas tersebut setengah dari jumlah mahasiswa ketika S1 ku di tanah air. Juga karena mahasiswa S2, maka isinya orang-orang dewasa, sudah bekerja, jauh dari orang tua dan keluarga, Sehingga setiap individu terlihat membawa ciri khas etos belajarnya masing-masing.
- Dosen Pengajar. Dosen pengajar semuanya Doktor dan Professor asli orang Korea. Mereka lulusan dari Amerika sehingga Bahasa Inggrisnya bagus meski masih berlogat Korea.
- Budaya belajar. Budaya belajar di dalam kelas sejauh ini masih sama seperti ketika S1. Selama satu semester, per mahasiswa harus presentsi 1 kali. Terkadang ada presentasi tambahan untuk suatu proyek. Jam kuliah 2-2,5jam, dengan jeda istirahat 10-15 menit tergantung dosennya. Perkuliahan pagi dimulai pukul 9.00. Perkuliahan siang pukul 12.00. Perkuliahan sore pukul 15.00 dan perkuliahan malam pukul 19.00. Dalam presentasi, yang di bahas adalah 1 buku materi. Satu bab dipresentasikan oleh satu mahasiswa dan terfokus dalam satu bab itu saja. Aku menyukai metode ini karena dengan begitu, kita bisa fokus membahas satu buku. Selama 1 semester aku bisa memahami isi dari 1 buku mewakili mata kuliah yang diambil. Dosen selalu memberikan masukan dan tambahan atas presentasi yang disampaikan mahasiswa. Apabila tidak sesuai dibenarkan saat presentasi masih berlangsung. Apabila mahasiswa memakai penjelasan yang ambigu dosenlah yang meminta klarifikasi, sebab kami para teman-temannya terkadang tidak enak (pakewuh) apabila menyela teman yang sedang presentasi. Dan dosen sangat tidak menoleransi mencontek ketika ujian. Apabila ketahuan, akan langsung tidak diluluskan dalam mata kuliah tersebut. Kebetulan ada kejadian di kelasku kemarin.
- Jadwal Ujian. Masih sama dengan kuliah s1, disini juga ada Ujian Tengah Semester dan Ujian Akhir Semester. Tergantung dosen, ujian bisa diberikan dalam metode menjawab pertanyaan 1-10 dengan jawaban eksplanatif, atau dengan metode mengerjakan proyek dengan atau tanpa presentasi. Ada juga campuran keduanya, mengerjakan soal pilihan ganda dengan jumlah soal minimal 25 soal (pilihan danda) dan pertanyaan ekplanatif 1-5 soal. Hasil ujian akan diumumkan bersama di akhir semester melalui sistem akademik mahasiswa atau portal online.
- Jumlah Mata Kuliah. Jumlah sks s2 dalam satu semester di jurusan ku 9 sks, dan secara keseluruhan 24 sks. S2 berjalan selama 2 tahun di Korea.
- Administratif. Tidak perlu khawatir dalam urusan administratif karena pasti ada panduan intensif dari universitas untuk mahasiswa asing. Baik itu dari staf universitas maupun penunjukan perwakilan mahasiswa pernegara untuk meneruskan informasi apapun ke teman-teman se-negara. Sejauh ini keadministrasian sangat memuaskan di kampusku.
Aku merasa kelas Bahasa Korea yang aku jalani selama 1 tahun sebelum masuk kuliah regular sangat berarti untukku. Selain aku belajar intensif Bahasa Korea, aku merasa kelas itu adalah pemanasan kuliah, Setelah kurang lebih gap year 5 tahun dari s1. Selama kursus bahasa Korea, ada tugas presentasi, Pekerjaan Rumah (PR), membuat karya melalui tulisan, ujian TOPIK; semuanya kulalui dengan suka duka yang bisa menyiapkanku lebih baik untuk menghadapi perkuliahan yang sebenarnya.
Cerita kuliah di luar negeri untuk s1 dan s2 mungkin akan berbeda. Misalnya, teman sekelas s1 sudah pasti para anak-anak muda single (belum menikah). Tapi kalo s2 pasti ada yang sudah Bapak-bapak dan Ibu-ibu. Jumlah mata kuliah lebih sedikit untuk S2 jadi bisa sambil bekerja. Kuliah S1 di luar Negeri bisa mengikusi kegiatan non-akademik, sedangkan S2 kesempatannya lebih sedikit.
Fun fact, seberapapun jumlah teman dari negara lain di kelas, Circle pertemanan tetaplah kembali ke sesama orang Indonesia. Entah mengapa. Mungkin karena lebih mudah saja dalam komunikasi dan persamakan budaya. Sehingga terasa lebih nyaman. Namun teman-temanku dari luar negeri semuanya orang-orang yang baik, kooperatif, dewasa, dan juga serius dalam belajar.
Walau tantangannya lebih berat Kuliah di luar negeri, tetapi aku tetap lebih bahagia bisa punya kesempatan belajar di luar negeri. Because really It’s More than study. Tapi dengan catatan, kuliahnya perlu dengan beasiswa ya...
Terkhusus kamu yang kuliah s1nya di luar kota, kemudian lanjut s2 di luar negeri, apakah punya culture shock yang tidak lebih parah dariku? Tahu sendiri kan, beda kota pasti ada perbedaan budaya. Bila terbiasa bertemu dengan orang-orang dari budaya yang berbeda, mungkin bisa lebih terbiasa. Sehingga tidak mengalami shock yang berat.
Jadi siapkah kamu dengan suasana belajar di Luar negeri?
Kalau kamu sudah bertekad kuat dengan niat belajar, kamu pasti bisa.
Busan, 20 Januari 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H