Tema yang cukup menarik dibahas. Saking menariknya sampai-sampai saya tidak ingin membatasi definisi tetangga itu hanya pada “orang-orang yang rumahnya berdekatan atau sebelahan dengan rumah kita” (definisi KKBI), akan tetapi ingin saya tambahkan dengan—“siapapun mereka yang dalam sehari-harinya berada di sekitar kita sehingga hampir mengetahui semua tentang kita dengan segala aktifitas yang kita lakukan.” Haha, maafkan saya KBBI.
Karena umumnya begitu. Kita akan lebih tertarik menyebut mereka tetangga, apabila ada tingkat keseringan bertemu atau bersosialisasi hingga diantara kita saling tahu satu sama lain. Buktinya, sampai-sampai saling ngomongin di belakang, Upzz. Seandainya mereka tidak tahu tentang kita, lalu atas sebab apa mereka menjadikan/dijadikan bahan pembicaraan? Karena Naksir? Masa sih?
Dan seharusnya, kita tidak perlu terheran-heran ketika begitu banyak tema yang bisa dibahas oleh tetangga terhadap kita atau sebaliknya. Sebabnya ya itu tadi, karena mereka sudah mengetahui siapa kita.
Lalu dengan kebiasaan umum sosialitas yang suka berkelompok dengan yang se-frekuensi (kalau bahasa sekarang menyebutnya begitu), jadinya khilaf deh ngomongin orang lain yang tidak masuk dalam kelompoknya.
Dan entah mengapa, ngomongin orang lain itu lebih menyenangkan daripada diskusi membahas isu prediksi harga emas yang akan tembus hingga Rp 1,4 juta di akhir tahun 2021. Ya gimana mau bahas itu, soalnya kan tidak paham dengan dunia investasi. Kita harus saling mengenal dulu dong. Iya kan?
Sekali-kali kita menempatkan diri menjadi pelaku ya, biar kesannya tidak protagonis terus, sok-sokan selalu menjadi korban (peace). Mari kita menempatkan diri menjadi salah satu geng sosialitas tersebut dengan kelompok se-frequensi kita sendiri. Tidak perlu basa-basi bahwa kita pasti pernah ngomongin tetangga. Tema itu bahkan tidak akan ada habisnya. Hayolah jujur saja.
Tetangga beli motor baru, diomongin. Di teras rumah tetangga tiba-tiba terparkir mobil bagus ,dikepoin. Anak tetangga sukses, di syirikin. Tetangga belum nikah, dipanas-panasin.
Tidak cukup begitu, malah pake dibanding-bandingkan dengan anaknya sendiri yang katanya usianya lebih muda tapi sudah menikah. Bahkan yang sudah menikah pun masih juga diomongin. Katanya, sudah menikah cukup lama kok belum juga punya anak.
Ya Allah, itu mulut bawaannya perlu dikirimin hamper sensodyne biar tidak sensitif.
Sekali lagi biar tidak lupa, saya ingatkan kembali bahwa kita ini sama saja. Gelar kita sama –sama sebagai tetangga bagi orang lain. Dan tidak perlu menutup-nutupi kenyataan kalau kita tidak dapat lepas dari membicarakan orang lain di belakangnya. Dibelakangnya loh ya, perlu digaris bawahi. Karena kalau kita membicarakan orang lain di depan, itu beda lagi.
Namanya nyindir, atau bila ketahuan basah oleh yang diomongin tersebut, endingnya menyakiti hatinya. Hati –hati kalau sudah begini. Dosaya dobel loh. Taukan kalau tiada orang di dunia ini yang suka diomongin di belakang.
Tapi Uniknya, orang sekarang kalau mau ngomongin orang lain pake alasan. “Eh siapa juga yang ngomongin orang. Kan kita lagi study case, diskusi, curhat, mengungkapkan perasaan; dan macem-macem bahasa milenial lainnya.” Aigo.. alasanmu loh kreatif sekali!
Nah, karena kita sebenarnya sudah ketahuan, sudah menjadi subjek yang melakukan dan juga menjadi objek yang diomongkan, maka untuk menepis omongan di belakang yang tidak kita sukai itu dengan cara,-- mencintai diri sendiri (Self-love). Cintailah diri sendiri dengan tidak mudah tersinggung dengan apa yang dilakukan orang lain terhadap kita.
Jangankan hanya dengan diomongin di belakang yang kitanya juga pernah ngomongin dia di belakang, misalnya dengan kedholiman dalam bentuk lainpun, semuanya bisa diatasi dengan senjata yang disebut Self-love tersebut.
Lalu bagaimana sih teknik penerapan Self-love agar sedikit-sedikt tidak sakit hati atau baperan dengan omongan tetangga atau tingkah mereka yang lainnya?
Sebelum menuju tipsnya, lebih baik kita sedikit menyinggung definisi dari mencintai diri sendiri. Mencintai diri sendiri berarti memenuhi segala kebutuhan diri, memprioritaskan diri sendiri dan tidak mengorbankan kesejahteraan diri untuk menyenangkan orang lain.
Dengan mencintai diri sendiri dengan setulus hati, kita akan terbebas dari beban sosial. Karena sejatinya kita memiliki jalan hidup yang berbeda dengan orang lain. Jadi jangan sampai kita gagal mengurus diri sendiri dengan membandingkan kehidupan kita dengan hidup orang lain.
Tapi jangan keliru mendefinisikan antara Self-love dan egoisme ya, karena keduanya jelas memiliki tujuan yang berbeda.
Egoisme itu selalu cenderung ingin memperloleh keuntungan diri sendiri terus-menerus dan abai dengan kesulitan dan kondisi orang lain. Pokoknya tidak peduli sama sekali dengan orang lain yang membutuhkan bantuan.
Sedangkan Self-love adalah mengutamakan penghargaan terhadap diri sendiri dan setelahnya akan berusaha untuk memberikan kontribusi positif bagi orang lain.
Contohnya pada kondisi berikut ini. Pada kondisi kelangkaan peredaran tabung gas LPG 3kg yang dibutuhkan oleh masyarakat menengah kebawah untuk kebutuhan masak sehari-hari, tipe Self-love akan membeli tabung gas tersebut 1 atau lebih sebagai cadangan ketika ketersediaan tabung sedang banyak di warung.
Hal ini akan menjadi kesempatan baginya apabila pada suatu saat nanti, ada sanak saudara atau orang lain yang membutuhkan tabung gas tersebut untuk dipergunakan lebih dulu ketika di warung sudah habis. Cara seperti ini wajar ya kalau di desa.
Sedangkan orang egois, pada kondisi misalnya seorang penjual tabung gas LPG yang melakukan penimbunan barang dan memanfaatkan kondisi kelangkaan tersebut untuk dijual dengan harga diatas rata-rata. Jelas ini si penjual ingin menumpuk keuntungan sebesar-besarnya.
Sebetulnya dari contoh di ataspun, kita tidak dapat mengkatagorikan si penjual maupun si pembeli itu, yang sebenarnya egois atau Self-love, yang pihak mana. Ini akan tergantung bagaimana sebetulnya alur keuntungan itu akan dijalankan. Kita tidak boleh asal menuduh orang lain itu egois. Lebih baik kita tidak terlalu cepat berprasangka buruk.
Mari sebaiknya kita menerapkan Self-love dalam berbagai kondisi , terutama untuk menepis omongan tetangga yang menyakitkan hati.
- Menyadari dengan segenap hati bahwa kita juga terkadang khilaf telah melakukan kesalahan terhadap orang lain. Dengan ini, kita akan berpikir bahwa poin kita 50:50 sebagai manusia biasa.
- Meningkatkan standar diri dengan tidak berhenti belajar dan berusaha menggapai cita-cita tinggi yang diimpikan. Dengan meningkatnya standar diri, taraf hidup kita juga akan meningkat beriringan, sehingga orang lain tidak akan mudah meremehkan kita. Biasanya, orang yang lebih baik dari yang meremehkan, tidak akan mudah tersinggung oleh anggapan rendah orang lain. Justru upaya memperbaiki diri akan semakin besar setelahnya.
- Inti dari self love adalah Mengenali diri sediri, memperbaiki diri sendiri, menenangkan diri sendiri, memaafkan diri sendiri, Jujur terhadap diri sendiri, dan menerima kebaikan maupun keburukan diri sendiri. Kalau kita sudah sadar akan hal ini, maka tingkah orang lain yang menyakitkan hati itu tidak akan berarti lagi bagi kita. Biarlah angin buruk itu berlalu.
- Kembalikan semuanya kepada Allah. Manusia dimana-mana tidak akan lepas dari yang namanya menilai buruk orang lain. Padahal mereka tidak mengerti apa yang sebenarnya telah kita lalui dan alami. Dengan pasrah dan tawakkal kepada Allah, beban pikiran akan lebih ringan.
- Sekali-kali, apresiasi kerja keras diri sendiri dengan memenuhi keinginan yang selama ini diimpikan sejak lama. Misalnya ingin main ke Namsan Tower South Korea, ya mulai sekarang nabung untuk merealisasikan keinginan tersebut. Aamin ya Allah semoga terkabul. Tapi jangan memaksakan diri juga ya kalau belum mampu. Sabar dulu lah pokoknya.
Semoga dengan menerapkan hal-hal diatas, kita tidak akan mudah sakit hati ya. Karena inti dari masalah OMONGAN TETANGGA itu ada pada sakit hati atau tidaknya kita.
Dan masih banyak cara lainnya yang termasuk dalam kategori Self-love. Apabila kita sudah mencintai diri sendiri, orang lain yang menganggap kita rendah atau menyakiti hati dalam bentuk apapun itu sudah tidak memiliki efek yang besar untuk kita. Serius ini, karena kebetulan saya sudah membuktikannya.
Self-love itu, cara untuk menjadi bahagia untuk diri sendiri. Dan takaran bagi masing-masing orang untuk Self-love itu berbeda-beda. Kalau kita udah nyaman dengan bahagia yang kita ciptakan itu, maka apapun yang berkaitan dengan orang lain itu sudah tidak berarti lagi. Ada semacam tembok yang membuat kita sudah tidak peduli dengan apapun pendapat orang lain.
***
Anggap saja tulisan ini hanya sebagai curhatan penulis. Alhamdulillah bila ada yang dapat mengambil manfaatnya.
Salam,
Jepara, 29 Mei 2021
NS
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H