Mataku terbuka. Mencoba fokus. Sayup-sayup mataku memandang, tempat ini tidak asing. Masih dalam sudut pandang yang sama. Masih dalam tata ruang yang sama. Oh aku ada di kamarku. Ternyata beberapa detik yang lalu hanya mimpi. Lagi-lagi dia muncul dalam alam ilusi.
"Semoga harimu menyenangkan dan sehat selalu." Â
"Aamiin. Terimakasih. Begitu juga denganmu."
Tanpa komando, pikiranku langsung menuju pada momen perkenalanku dengan Amor. Lelaki dengan tatapan polos dan meneduhkan, berjiwa pemberani, dan humoris. Aku tidak bisa bohong bahwa aku tertarik padanya. Meski saat itu baru pertemuan yang ke-dua, tapi aku langsung tidak ragu untuk merespon virtual greetingnya. Aku tidak terlalu peduli darimana dia mendapat nomor WAku.
Diantara benci, rindu, dan rasa penasaranku, aku masih belum lelah untuk menemukan jawaban. Apa yang sebenarnya terjadi padanya. Mungkinkah benar dia seorang 'duality'? Sudah tepatkah sumber yang kudapatan ini kalau duality bisa disamakan dengan gangguan mental DID (Dissosiative identity disorder)? Atau aku sendiri yang terlalu cepat memberi nama. Heih. Mungkin benar, Â aku terlalu sering mendengar istilah duality dari komunitas fandom.
"Zaya, kau disini juga?"Â
"Hey, Amor. Iya aku sedang mencari buku ke-2 dari kisah inspiratif Mukhamad Ridwan yang sukses kuliah di Turki ituloh. Kamu sendiri sedang nyari buku apa?"
"Aku disini untuk nemenin kamu. Aku nyari kamu."
"Serius? Ada apa?"
"Iya serius. Nggak ada apa-apa sih. Aku hanya ingin di dekatmu. Mungkin sampai kamu keluar dari sini aku juga ikut keluar dan nemenin kemanapun kamu melangkah."