Telah menghabiskan waktu abad bersama orangtua, sebagai anak yang masih dibawah tanggung jawab mereka, menurutku sangat luar biasa. Letak luar biasanya adalah pada kondisi dimana aku sadar, kini aku telah memiliki sisi kedewasaan  diri yang benar-benar belum pernah kualami sebelumnya. Dan aku masih bersama mereka, hidup berdampingan dengan mereka, dua orang yang sangat berjasa atas keberadaanku di dunia ini dan atas pertumbuhanku sampai hari ini.
Dengan itu, aku juga lebih berdaya untuk mengejar mimpi. Selain keberadaan orangtua di sampingku, sisi dewasa ini juga membantuku lebih fokus. Meski bagaimanapun pahitnya kenyataan yang sering terjadi tidak sesuai rencana, itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan emosi labil yang muncul sebelum itu dan mengganggu konsentrasiku mengejar cita.
Aku ingin mengatakan bahwa ternyata salah satu faktor yang bisa membentuk kedewasaan seseorang adalah usia, seberapa lama kita hidup, apa saja yang kita hadapi. Sebab, waktu yang mengantarkan kita menghadapi banyak hal diluar, itu akan sedikit demi sedikit membentuk kita menjadi pribadi dewasa hari ini.Â
Ups curhat dikit nggk papa ya, hehe
Baik, mari kita menuju ke tulisan inti kali ini.
Judul tulisan ini "Pendidikan Abadi dari Rumah" sama sekali tidak ada kaitannya dengan belajar dari rumah selama Pandemi Covid-19. Saya juga tidak mau kalau keponakan-keponakan saya yang masih sekolah jenjang PAUD, SD, dan SMP itu, akan abadi belajar dari rumah. Saya yakin semuanya paham bagaimana ketidakefektifan belajar mereka selama Belajar dari Rumah 8 bulan ini.
Tapi yang kumaksud disini adalah bagaimana pendidikan yang kudapatkan selama hidup adalah bentukan dari rumah, dasarnya dari rumah, diawali dari rumah, dan masih diperkuat dari rumah. Apapun itu bentuk pendidikannya. Bukankah cakupan pendidikan itu luas? Ada pendidikan karakter, pendidikan agama, pendidikan ilmu umum, termasuk juga pendidikan cara menghadapi realitas hidup.
Istilahnya begini, memang dipastikan kita semua tidak ada yang lepas dari pendidikan  formal. Melalui peran pemerintah dengan dibentuknya Sistem Pendidikan Nasional, kita diajarkan hampir semua cakupan pendidikan  yang saya sebutkan diatas. Lebih detail disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3, bahwa Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak seta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, serta bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak Mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Mari kita bersyukur untuk cita-cita mulia bangsa ini dalam dunia pendidikan.
Namun kembali lagi, bahwa tanpa peran keluarga di rumah, tanpa dorongan kuat dan kesadaran mereka untuk membentuk kita menjadi salah satu dari bangsa yang cerdas, maka semua itu tidak akan kita dapatkan. Kita tidak mungkin berkembang seperti saat ini. Menjadi kita hari ini.
Dan harus saya akui bahwa Ibu adalah sosok terbaik yang berperan dalam membentuk siapa SAYA hari ini, tentu dengan kolaborasinya bersama Bapak.
Ibu, terimakasih untuk:
1. Perkenalan pertama tentang belajar. Jujur saja pendidikan pertama saya bukan TK (Taman Kanak-kanak). Â Saya langsung masuk pendidikan MI (Madrasah Ibtidaiyyah), yang entah alasan ya apa. Mungkin karena belum adanya kewajiban dari Kemendikbud untuk setiap anak wajib masuk Pra-sekolah sebelum masuk SD sederajat.
Saya tidak ingat pendidikan seperti apa yang dilakukan Orangtua saya sebelum itu. Namun saya masih ingat sekali hari pertama masuk sekolah, tidak lain adalah Ibu yang memastikan semuanya berjalan baik. Saya harus masuk sekolah. Saya harus belajar dengan baik. Saya harus mematuhi setiap perintah Bapak Ibu guru dan saya tidak boleh menjadi anak yang nakal. Kurang lebih begitu pesannya. Â Sehingga sampai saat inipun pesan tersebut masih tertanam kuat di hati.
Dan baru saja saya menanyakan pada Ibu, apa alasan beliau menyekolahkan kami? Jawabannya adalah tentu saja ini sudah menjadi kewajiban orang tua untuk melakukannya. Apalagi orangtua sudah tidak banyak mengerti tentang ilmu yang diajarkan di sekolah. Â Biar anak-anak tidak memiliki nasib pendidikan yang sama buruknya, biar anaknya tumbuh pintar, cerdas, dan berwawasan luas. Â
Lalu saya bertanya lagi, ketika dikandungan, apa saja yang Ibu lakukan untuk segala harapan akan kelahiran kami? Jawabannya adalah selalu membaca Alqur'an, terutama Paket Surat Yusuf dan Maryam, masing-masing oleh Bapak Ibu. Serta berdo'a agar anak yang sedang dikandung lahir dengan selamat, dan tumbuh menjadi anak yang sholih sholihah.
Untuk melengkapi bab ini, saya juga menanyakan, apakah Bapak Ibu pernah memperdengarkan kami dengan musik, atau audio apapun? Juga mengajak kami bicara ketika dikandungan? Jawabannya tidak pernah. Mungkin hanya mengelus-elus ketika momen tertentu saja. Beliau mengatakan, orang tua zaman dulu memang tidak bisa disamakan dengan orang tua modern sekarang. hehe
2. Metode pengajaran untuk kami. Saya dibesarkan di lingkungan keluarga yang tegas, keras, sangat ketat dalam urusan agama, dan tidak segan menghukum apabila mengetahui anaknyalah yang salah. Namun mereka juga tidak segan meluruskan kekeliruan atau kesalahan orang lain atas anak mereka.
Dengan caranya ini, hampir semua dari kami, tumbuh menjadi pribadi yang sama tegasnya, sama kerasnya, disiplin dalam agama, dan tumbuh menjadi pribadi kritis yang tidak mudah menerima begitu saja suatu hal tanpa penjelasan yang rasional, meskipun orang tua kami tidak terlalu rasional.
Tegas artinya tidak segan-segan. Bapak Ibu tidak akan segan dalam peraturan di rumah yang diterapkan. Misalnya kami yang saat itu masih sekolah, maka mereka akan menerapkan kedisiplinan dalam belajar setiap malam. Tugas sekolah mereka pastikan harus telah dikerjakan sebelum pergi tidur.
Keras disini artinya memiliki kepribadian galak dan raut muka yang sedikit menakutkan untuk dilihat (Ingat, hanya SEDIKIT menakutkan). Jadi apabila kami berbuat salah, melihat raut muka Bapak terutama, itu sudah ketakutan. Tentu, setelah itu kami tidak akan pernah melakukan kesalahan yang sama dilain waktu.
Dan satu hal lagi, entah kenapa Bapak Ibu tidak pernah komplen dengan nilai Matematika dan  Bahasa Inggris saya yang jelek. Namun lucunya, saat ini kedua mata pelajaran tersebut justru menjadi Mapel yang paling saya bisa.
3. Satu Ibu untuk empat orang anak. Ini adalah salah satu yang saya kagumi dari Ibu. Dengan pengalaman hidup beliau yang saya katakan kurang beruntung dalam hal pendidikan, namun beliau bisa menyekolahkan semua anak-anaknya sampai minimal sarjana. Meski ada dari kami yang tidak sampai sarjana, perlu diketahui bahwa hal itu dikarenakan minat dan kenakalan masing-masing kami, karena pengaruh lingkungan, juga karena tidak serius dalam meraih pendidikan tersebut.
Saat itulah Bapak dan Ibu tidak bisa memaksakan kehendak anaknya yang dirasa telah memiliki kebebasan menentukan masa depannya sendiri.
4. Pendekatan Religi. Ingin saya katakan bahwa pendidikan  inti yang diterapkan orang tua kami adalah pendidikan agama lebih utama dari ilmu umum. Istilah lainnya, beliau menyerahkan semua wawasan keilmuan umum (llmu keduniaan) kepada lembaga sekolah, dan kepada tingkat keingintahuan  kami masing-masing akan ilmu tersebut.
Namun soal ilmu agama, beliau akan sangat ketat dan keras menerapkannya, sampai tidak segan memukul apabila ada dari kami yang tidak melaksanakan sholat lima waktu, dan tidak mau mengaji. Beliau mengatakan membengkokkan lidi muda lebih aman, daripada lidi tua yang jelas akan patah saat itu juga.
5. Suri tauladan terbaik. Ibu memang pantas mendapat gelar suri tauladan terbaik dan Ibu Sekolah Pertamaku. Mengapa? Karena begitu banyak hal yang beliau lakukan yang semata-mata agar dicontoh dan  sebagai kaca pendidikan bagi anak-anaknya.
Saat kami masih kecil, yang beliau lakukan memang layaknya mendidik anak kecil yang masih pantas diajarkan dengan cara keras, seperti dipukul, dicubit, atau bentuk lain agar kami tetap melaksanakannya meskipun dengan berat hati. Namun diusia kami yang sudah dewasa, yang sudah tidak pantas lagi diperlakukan layaknya anak kecil, beliau mengajarkan kami dengan melaksanakannya sendiri.
Ibu meminta kami sholat lima waktu, dengan melakukannya. Ibu meminta kami sholat sunnah rawatib, sunnah Tahajud, sunnah Dhuha, dengan melakukannya. Ibu meminta kami puasa Sunnah Senin&Kamis juga tidak dengan perintah saja, namun dengan melaksanakannya terus-menerus tanpa lelah dan tanpa menyerah sampai kami tergugah ikut melaksanakan. Bahkan apabila kami belum juga tergugah, beliau tetap melakukannya sendiri. Luar biasa!
6. Dorongan atas harapan. Keberadaan Ibu selama hidupku, mengajarkanku bahwa tiada Ibu yang tidak ingin anaknya tumbuh jauh lebih baik darinya. Agar anak-anaknya menjadi anak yang sholih-sholihah, menjadi anak yang berguna untuk bangsa dan Negara, serta memiliki mimpi yang tinggi yang mampu dicapainya. Maka setelah dididik dengan keras saat masih kecil, kini yang masih bisa mereka berikan adalah suri tauladan selama masih menjadi tanggung jawabnya, lalu juga dorongan penuh atas harapan yang kami miliki. Saya pribadi bersyukur memiliki Orangtua yang tidak terlalu memaksakan kehendak, dan selalu mendukung apapun keputusan anaknya, selagi itu untuk kebaikan.
7. Doa. Sekali lagi saya  menanyakan pada Ibu, apa modal utamanya dalam mendidik dan membesarkan kami? Kunci utamanya adalah DOA. Ibu mengatakan, "Saya lakukan dengan suri tauladan, dan saya perkuat dengan DOA. Hanya itu modal utama untuk semuanya. Dan saya sangat bersyukur untuk dewasanya kalian hari ini".
Ibu melanjutkan, "Selama belum menikah, kalian adalah tanggungjawab orangtua. Maka akan kami memberi suri tauladan terbaik,  memarahi bila ada tindak tanduk  yang kurang sesuai. Serta, selama masih hidup, DOA tidak akan pernah berhenti dipanjatkan".
Biarlah saya mengakhiri tulisan ini dengan peribahasa " Tak jauh rebung dari rumpunnya", tabiat anak tidak jauh berbeda dari tabiat orangtuanya. Kurang lebih saya tumbuh hari ini tidak jauh dari tabiat dan perilaku Bapak  Ibu, sebagai hasil dari pengajaran mereka selama ini, serta lingkungan pergaulan yang telah dan sedang saya pijaki.
Namun, rumah tetap tempat kita pulang dan berperan menyeleksi semua hal yang kita bawa dari luar. Rumahku pendidikan abadiku.
Sekian,
Jepara, 25 November 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H