Mohon tunggu...
Nihayatu Saadah
Nihayatu Saadah Mohon Tunggu... Penulis - A life-long learner

Trying to be active in Kompasiana^^ [IG:fforcess]

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan Abadi dari Rumah

25 November 2020   13:11 Diperbarui: 25 November 2020   13:14 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Freepik.com. Ilustrasi anak-anak yang belajar atas dukungan dan pendampingan dari orangtua.

Ibu, terimakasih untuk:

Freepik.com. Ilustrasi anak perempuan yang belajar banyak hal dari Ibunya.
Freepik.com. Ilustrasi anak perempuan yang belajar banyak hal dari Ibunya.

1. Perkenalan pertama tentang belajar. Jujur saja pendidikan pertama saya bukan TK (Taman Kanak-kanak).  Saya langsung masuk pendidikan MI (Madrasah Ibtidaiyyah), yang entah alasan ya apa. Mungkin karena belum adanya kewajiban dari Kemendikbud untuk setiap anak wajib masuk Pra-sekolah sebelum masuk SD sederajat.

Saya tidak ingat pendidikan seperti apa yang dilakukan Orangtua saya sebelum itu. Namun saya masih ingat sekali hari pertama masuk sekolah, tidak lain adalah Ibu yang memastikan semuanya berjalan baik. Saya harus masuk sekolah. Saya harus belajar dengan baik. Saya harus mematuhi setiap perintah Bapak Ibu guru dan saya tidak boleh menjadi anak yang nakal. Kurang lebih begitu pesannya.  Sehingga sampai saat inipun pesan tersebut masih tertanam kuat di hati.

Dan baru saja saya menanyakan pada Ibu, apa alasan beliau menyekolahkan kami? Jawabannya adalah tentu saja ini sudah menjadi kewajiban orang tua untuk melakukannya. Apalagi orangtua sudah tidak banyak mengerti tentang ilmu yang diajarkan di sekolah.  Biar anak-anak tidak memiliki nasib pendidikan yang sama buruknya, biar anaknya tumbuh pintar, cerdas, dan berwawasan luas.  

Lalu saya bertanya lagi, ketika dikandungan, apa saja yang Ibu lakukan untuk segala harapan akan kelahiran kami? Jawabannya adalah selalu membaca Alqur'an, terutama Paket Surat Yusuf dan Maryam, masing-masing oleh Bapak Ibu. Serta berdo'a agar anak yang sedang dikandung lahir dengan selamat, dan tumbuh menjadi anak yang sholih sholihah.

Untuk melengkapi bab ini, saya juga menanyakan, apakah Bapak Ibu pernah memperdengarkan kami dengan musik, atau audio apapun? Juga mengajak kami bicara ketika dikandungan? Jawabannya tidak pernah. Mungkin hanya mengelus-elus ketika momen tertentu saja. Beliau mengatakan, orang tua zaman dulu memang tidak bisa disamakan dengan orang tua modern sekarang. hehe

2. Metode pengajaran untuk kami. Saya dibesarkan di lingkungan keluarga yang tegas, keras, sangat ketat dalam urusan agama, dan tidak segan menghukum apabila mengetahui anaknyalah yang salah. Namun mereka juga tidak segan meluruskan kekeliruan atau kesalahan orang lain atas anak mereka.

Dengan caranya ini, hampir semua dari kami, tumbuh menjadi pribadi yang sama tegasnya, sama kerasnya, disiplin dalam agama, dan tumbuh menjadi pribadi kritis yang tidak mudah menerima begitu saja suatu hal tanpa penjelasan yang rasional, meskipun orang tua kami tidak terlalu rasional.

Tegas artinya tidak segan-segan. Bapak Ibu tidak akan segan dalam peraturan di rumah yang diterapkan. Misalnya kami yang saat itu masih sekolah, maka mereka akan menerapkan kedisiplinan dalam belajar setiap malam. Tugas sekolah mereka pastikan harus telah dikerjakan sebelum pergi tidur.
Keras disini artinya memiliki kepribadian galak dan raut muka yang sedikit menakutkan untuk dilihat (Ingat, hanya SEDIKIT menakutkan). Jadi apabila kami berbuat salah, melihat raut muka Bapak terutama, itu sudah ketakutan. Tentu, setelah itu kami tidak akan pernah melakukan kesalahan yang sama dilain waktu.

Dan satu hal lagi, entah kenapa Bapak Ibu tidak pernah komplen dengan nilai Matematika dan  Bahasa Inggris saya yang jelek. Namun lucunya, saat ini kedua mata pelajaran tersebut justru menjadi Mapel yang paling saya bisa.

3. Satu Ibu untuk empat orang anak. Ini adalah salah satu yang saya kagumi dari Ibu. Dengan pengalaman hidup beliau yang saya katakan kurang beruntung dalam hal pendidikan, namun beliau bisa menyekolahkan semua anak-anaknya sampai minimal sarjana. Meski ada dari kami yang tidak sampai sarjana, perlu diketahui bahwa hal itu dikarenakan minat dan kenakalan masing-masing kami, karena pengaruh lingkungan, juga karena tidak serius dalam meraih pendidikan tersebut.

Saat itulah Bapak dan Ibu tidak bisa memaksakan kehendak anaknya yang dirasa telah memiliki kebebasan menentukan masa depannya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun