Mereka mulai meninggalkan Kampung Melayu ini awal tahun 90-an, ketika banjir rob mulai melanda daerah ini. Wajar, daerah ini persis berada di sisi Sungai Mberok, yang bermuara ke pelabuhan Tanjung Emas, Semarang.
“Sejak akhir tahun 80-an daerah ini kerap dilanda banjir rob, mereka banyak yang pindah,”katanya.
Selain menjadi tempat domisili warga keturunan Arab dan Melayu, daerah ini juga berdiri Masjid Layur, salah satu masjid tertua di Semarang.
Menurut Ali Mahsun, pengurus Masjid Layur, masjid yang biasa disebut juga masjid Menara ini dibangun tahun 1743 oleh ulama dan pedagang dari Hadramaut , Yaman.
Ali Mahsun, yang mulai menjadi pengurus masjid ini sejak tahun 2001 mengatakan, sejak pemerintahan Hindia Belanda sekitar 1743 masehi, kawasan ini merupakan tempat bermukim penduduk etnis Melayu.
Seiring berjalannya waktu, saudagar-saudagar pedagang dari Melayu itu membentuk sebuah perkampungan sehingga membutuhkan tempat ibadah.
Arsitektur masjid ini kental bergaya Timur Tengah, hal ini terlihat pada menara yang berdiri di depan pintu masuk masjid. Sementara itu, bangunan utama masjid bergaya khas Jawa dengan atap masjid susun tiga.
Namun, secara keseluruhan Masjid Layur merupakan percampuran dari tiga budaya yakni, Jawa, Melayu, dan Arab. Masjid Menara masih sama seperti pertama kali dibuat. Hanya ada sedikit perbaikan dan penggantian pada bagian genteng dan penambahan ruang untuk pengelola di sisi kanan masjid.
[caption caption="Foto Dok Pribadi"]
Konstruksi dan detail masjid masih asli dan terawat dengan baik. Biaya perawatan masjid diperoleh dari bangunan - bangunan yang diwakafkan untuk kepentingan masjid.
Sejak akhir tahun 80-an perlahan-lahan lantai satu masjid mulai terbenam tanah karena rob yang tiap tahun melanda daerah ini. Sejak tahun 2000 lantai satu sudah tidak berfungsi sama sekali karena diurug tanah.