Sebagai seorang hamba yang hidup di dunia ini banyak sekali pertanyaan yang muncul agar diri dapat memahami hakikat kebahagiaan, kegagalan dan keberhasilan. Karena jika parameter yang digunakan keliru bisa saja diri bagaikan orang yang tersesat di jalan yang tak bertepi. Â Seorang hamba yang tahu keberadaannya bisa memiliki landasan kehidupan di hari-hari kemudian. Akan tetapi dapat terjadi sebaliknya seolah diri berjalan tanpa tujuan jelas dan tidak akan berjalan di dunia ini dengan tenang.
"Uqdah Al-kubra" ( ) dalam akidah Islam secara harfiah diterjemahkan sebagai "simpul terbesar" atau "permasalahan terbesar." Â Istilah ini merujuk pada pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang keberadaan dan tujuan hidup manusia. Â Pertanyaan-pertanyaan ini dianggap sebagai permasalahan terbesar karena jawabannya menentukan arah dan pemahaman kita tentang dunia dan diri kita sendiri.
Berikut beberapa pertanyaan mendasar yang termasuk dalam "Uqdah Al-kubra":
Apakah Allah SWT itu ada?
Apa arti kehidupan ini?
Dari mana kita berasal dan kemana kita akan pergi?
Apa tujuan kita diciptakan?
Bagaimana seharusnya kita menjalani hidup ini?
Dengan memahami dan meyakini jawaban Islam terhadap "Uqdah Al-kubra," seorang muslim dapat menjalani hidup dengan penuh makna dan tujuan. Mereka memiliki landasan yang kuat untuk menghadapi tantangan hidup dan meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dalam Q.S. Al-Ma'idah : 105 ("Wahai orang-orang yang beriman! Jagalah dirimu; (karena) orang yang sesat itu tidak akan membahayakanmu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu semua akan kembali, kemudian Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.")
Aqidah Islam memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan berlandaskan pada wahyu Allah SWT yang terdapat dalam Al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad SAW. Ajaran Islam memberikan panduan tentang cara beriman kepada Allah Swt., malaikat, kitab-kitab-Nya, hari akhir, qada dan qadar, serta para nabi dan rasul.
Panduan yang diberikan Allah tidak hadir secara tiba-tiba melainkan dari proses berpikir, mengamati, meneliti, memperhatikan serta bertahkim pada akalnya dalam beriman kepada:
- Proses keimanan kepada Al Khaliq
Dalam menentukan sifat Al Khaliq (Pencipta) ini tentu saja hanya ada tiga kemungkinan: Pertama Ia diciptakan oleh yang lain. Dengan pemikiran aqliyah yang jernih dan mendalam, akan dipahami bahwa kemungkinan ini adalah kemungkinan yang bathil (tidak dapat diterima oleh akal). Sebab apabila Ia diciptakan oleh yang lain maka Ia adalah makhluk dan bersifat terbatas, yaitu butuh kepada yang lain untuk mengadakannya. Kedua Ia menciptakan diri-Nya sendiri. Kemungkinan kedua ini pun bathil juga. Karena dengan demikian ia akan menjadi makhluk dan Khaliq pada saat yang bersamaan. Jelas ini tidak dapat diterima oleh akal. Ketiga Ia bersifat azali dan wajibul wujud dan mutlak keberadaannya. Setelah dua kemungkinan di atas dinyatakan batil, maka hanya tinggal satu kemungkinan lagi dan hanya kemungkinan yang ketigalah yang shahih, yakni Al Khaliq itu tidak boleh tidak harus bersifat azali dan wajibul wujud serta mutlak adanya. Dialah Allah Swt.
Dari proses semua proses keimanan yang dilalui akan semakin memperkuat apa yang menjadi kebenaran hakiki sebagai pijakan dalam melangkah di dunia yang fana menuju akhirat yang kekal kelak.
Proses keimanan kepada rasul
Agama merupakan sesuatu yang fitrah dalam diri manusia karena termasuk dalam naluri pengagungan dan penyucian manusia. Secara fitrah, manusia selalu mengagungkan Penciptanya. Aktivitas pengagungan inilah yang dikenal sebagai ibadah, yang menjadi penghubung antara manusia dan Penciptanya. Jika hubungan ini tidak diatur, akan terjadi kekacauan dalam ibadah dan mungkin menyebabkan penyembahan kepada selain Pencipta yang sebenarnya. Oleh karena itu, aturan ini harus berasal dari Sang Pencipta dan harus disampaikan kepada manusia. Maka, diperlukan kehadiran para rasul untuk menyampaikan ajaran Allah kepada umat manusia.
Proses keimanan kepada Al Qur'an
Bukti yang sangat jelas bahwa Al Qur'an berasal dari Allah Swt. dapat dilihat dari kenyataan bahwa Al Qur'an adalah kitab berbahasa Arab yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Untuk menentukan asal Al Qur'an, ada tiga kemungkinan yang bisa kita pertimbangkan, dan hanya tiga kemungkinan tersebut yang mungkin yaitu:Â
Al Qur'an adalah karangan bangsa Arab. Kemungkinan pertama ini, yang menyatakan bahwa Al Qur'an adalah karangan bangsa Arab, adalah tidak benar. Hal ini karena Al Qur'an sendiri menantang bangsa Arab untuk membuat karya serupa, yang mereka tidak mampu lakukan. "Katakanlah: 'Maka datangkanlah sepuluh surat yang menyamainya." (QS Hud: 13)
Kemungkinan kedua menyatakan bahwa Al Qur'an adalah karangan Nabi Muhammad SAW. Namun, anggapan ini juga keliru. Sebagai seorang Arab, Muhammad adalah bagian dari bangsanya. Meskipun ia seorang yang sangat cerdas, ia tetap manusia dan bagian dari bangsa Arab. Jika bangsa Arab tidak mampu menghasilkan karya serupa Al Qur'an, maka masuk akal jika Muhammad SAW, sebagai orang Arab, juga tidak mampu melakukannya. Oleh karena itu, jelaslah bahwa Al Qur'an bukanlah karangan beliau. "(Dan) Sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata, 'Sesungguhnya Al Qur'an itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad). Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya (adalah) bahasa 'ajami (non arab), sedangkan Al Qur'an itu dalam bahasa Arab yang jelas."(QS An Nahl: 103)
Kemungkinan ketiga menyatakan bahwa ia berasal dari Allah semata, sebagaimana pernyataan pembawanya (Kemungkinan inilah yang paling sahih sekaligus membuktikan bahwa Muhammad adalah Rasulullah ).
Iman kepada Allah, Rasulullah, dan Al Qur'an membawa konsekuensi tertentu. Karena kita beriman kepada Allah, kita juga harus beriman kepada segala yang diberitakan oleh-Nya, baik yang dapat dipahami oleh akal maupun tidak. Kita harus menjalani kehidupan sesuai dengan aturan Allah dan meyakini bahwa setiap orang diciptakan oleh Allah dan akan dihisab pada hari kiamat atas perbuatannya di dunia. Dengan demikian, terbentuklah pemahaman yang jelas tentang apa yang ada di balik kehidupan alam semesta dan manusia, serta alam sebelum dan sesudah dunia. Selain itu, terdapat hubungan yang menghubungkan dunia dengan kedua alam tersebut.
Penulis: Ninin Suryani, Yufi Fisalma (Universitas Panca Sakti Program Magister PAUD)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H