Mohon tunggu...
Nie
Nie Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Penulis

Hai! Ini Nie yang senang menulis fiksi dan terkadang mengetik artikel. Menggemari genre romansa, psikologi dan slice of life.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mukbang

11 Juli 2024   06:07 Diperbarui: 11 Juli 2024   06:52 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku memandangi sekawanan lalat yang mengerubungi roti di atas meja dan tak bisa kutahan diriku untuk mengingat kejadian lima tahun lalu.

Remang rembulan mengiringi angin yang menusuk tubuhku di antara jaket yang mengerat. Langkahku tergesa-gesa, napasku berantakan dengan keringat dingin mengucur di dahi. Aku menyadari gentong-gentong besar yang bertumpuk di kanan-kiri. Kubawa diriku menelusup di antara mereka tanpa ragu setelah sebelumnya sedikit mengintip pada ujung gang. 

Pria bermasker dan berkacamata hitam tiba-tiba berdiri di sana. ! Secepat cahaya aku kembali menenggelamkan tubuhku. 

Tanganku bergetar; antara sebab salju yang mulai turun dan karena menyertai bulu kuduk yang berdiri. Aku mengutuk diri sendiri yang telah meninggalkan ponsel dan memilih kabur dari hadapannya. ! - ! 

Sementara aku memejamkan mata, berkomat-kamit dalam hati, sebuah tarikan kasar pada kerah membuat kerongkonganku tercekat; memotong paksa napasku hingga terbanting ke aspal. Ah, leherku terasa mau putus. 

"Hei. Mengapa kau menolakku?" Suara berat itu terasa menggerayangi tengkukku.

Aku menatap pria itu sembari berusaha menyunggingkan senyum. "Ah. Se-sepertinya itu bukan kesempatan untukku. Itu untuk---" Kepalaku terjerembab ke belakang setelah kaki pria itu melayang. Terasa setetes darah segar keluar dari hidungku. 

Napasku semakin berantakan ketika dia menjambak rambutku, memaksakan wajahku menghadap pria itu. "Aku berbaik hati memberikan ini kepadamu. Kaupikir aku tak mengetahui apa saja yang terpendam dalam hatimu?"

Suara menenggak saliva terasa begitu jelas, saking tak ada orang pun yang bisa kuteriaki minta tolong. Hingga akhirnya, tubuhku kembali di banting pada lantai sebuah ruangan yang begitu gelap, setelah menelusuri undak-undakan panjang ke bawah. 

"Bangun."

Degup jantungku begitu kencang saat menuruti perkataannya. Sejurus tatapan, aku pun melihat seorang wanita dengan tangan terikat ke belakang dan mulutnya dilakban. Aku masih merasa dia hidup, tetapi matanya terpejam.

Tanpa terasa langkahku mendekat pada wanita itu. Wajahnya baru terlihat jelas setelah menyingkirkan anak rambutnya. Sewaktu itu pula sebuah palu memukul dadaku. 

Rupanya, sentuhan ringanku saat menyingkirkan anak rambutnya membuatnya tersadar. Tubuhnya menyentak sesaat setelah matanya mendelik. Lalu teriakan tak jelas keluar dari mulutnya. 

"Aku sudah melihat percakapan kalian di aplikasiku."

Kini, mataku mendelik pula. ? ? 

Pria itu kini melepaskan maskernya. Terlihat rahangnya begitu tajam, seakan pernah melihatnya. Ia tersenyum---tidak, menyeringai lebih tepatnya. Seketika membuatku kembali berdebar keras. 

"Bukankah dia yang telah berkata kalau videonya tak akan laku bila berkolaborasi denganmu?" Wanita itu menggeleng-geleng seraya menjerit. Perkataannya membuat ingatanku melayang pada percakapan itu. Sudah cukup lama, tetapi membuat bekas kenangan di sekolah yang begitu buruk seumur hidupku. 

Ya, wanita itu pernah bersekolah denganku. Yang dilakukannya hanya memberikanku susu basi, tetapi susu itu lantas muncrat dari mulutku dan mengenai jaket baru si anak konglomerat di kelas. Karena itu, ada bekas luka seumur hidup di mataku akibat tonjokannya. Serta aku harus berlutut di hadapannya. 

"Kau harus melakukan sesuatu, 'kan?" Pria itu menyodorkan sebuah piring dengan roti yang telah dikerubungi lalat. 

"Kau harus membuat senyumnya itu menjadi lebih menjijikan." 

Sejak berbagai ingatan melintasi kepalaku, dadaku terasa panas. Kobaran api hingga ubun-ubun membuat tanganku mengepal. Dengan perlahan, aku pun menerima piring itu. 

Aku menatapnya dalam, lalu membuka lakban hitam itu dengan keras. 

"Kakak---"

Mataku tak melihat apa-apa selain wajah penuh tangisan dan teriakan yang tertahan dengan mulutnya yang kusumpal roti basi ini sekuat tenaga. Hatiku terasa sangat puas, bahkan sangat menikmati, lebih dari merayakan seratus ribu pengikut kanalku.

Saat semua roti itu hampir masuk, wanita itu terbatuk-batuk, tampak matanya mengiba padaku hingga membuatku merasa merinding; jijik. Aku pun menjauh dan dia terus terbatuk-batuk. Lalat menyarang di mulutnya. 

"Bagus sekali." Suara pria itu membuatku tersadar bahwa diriku tidak sendiri. Ketika aku menoleh, ia tengah menatap ponselnya dengan senyum puas. 

Seketika sebuah videoku dengan wanita itu beredar dan aku tersudut di sebuah penjara. Meski kuberi sumpah serapah berjuta kali, pria itu dengan entengnya menghilang dari pandangan polisi. 

"A-ayah ...."

Cicitan itu menarikku kembali ke sebuah roti. Masih dikerubungi banyak lalat, tetapi kini aku tersadar tengah mencekal pergelangan tangan seorang anak perempuan. 

"Makanlah roti itu." Anak itu menggeleng kuat, lalu terdengar suara sesenggukan yang memuakkan. 

"A-aku berjanji tidak---"

"Makan atau kau akan kusumpal?"

Anak itu terdiam menunduk. Ia melemaskan lengannya, lalu mengambil roti itu perlahan setelah kulepas. Aku tersenyum menyeringai. Lalu dengan segera merekam dengan kamera di depannya. 

"Tersenyum, Bodoh!" Bahunya menyentak. Tawaku pecah saat anak itu memasang wajah cerianya. 

"Ya, teman-teman! Hari ini kita akan mukbang roti basi yang dikerubungi banyak lalat!" seruku saat perekaman video itu dimulai. 

Yah, setidaknya selain tindakan kejahatan, roti basi dengan banyak lalat itu sangat bermanfaat untukku dalam mencari uang dan pengikutku. Tentu masih di aplikasi khusus mukbang buatan pria itu. []

Pati, 29 Juni 2024

    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun