Apa itu MK (Mahkamah Konstitusi) ?
Mahkamah Konstitusi adalah salah satu lembaga kekuasaan kehakiman yang ditunjuk untuk melaksanakan fungsi peradilan untuk menegakkan hukum dan juga keadilan dengan seadil-adilnya. Menurut undang-undang Nomor 24 Tahun 2003, Mahkamah Konstitusi memiliki tugas dan fungsi untuk menangani perkara ketatanegaraan yang berkaitan dengan masalah konstitusional tertentu. Untuk menjaga konstitusi dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan prinsip demokrasi. Hakim konstitusi harus memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam penyelenggaraan negara serta komitmen untuk melaksanakan dan mengawasi kehidupan masyarakat.Â
Pemilihan umum dianggap sebagai ukuran kualifikasi seorang pemimpin, dan keputusan ini telah menimbulkan banyak perdebatan di masyarakat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi bagaimana keputusan Mahkamah Konstitusi berdampak pada politik Indonesia serta standar etika yang dilanggar oleh hakim saat membuat keputusan tersebut.
Konstitusi dan negara adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain karena keduanya saling melengkapi. Konstitusi menjadi pondasi dalam pembentukan negara.
Â
Dinamika putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap politik di Indonesia sangat signifikan dan memiliki dampak luas. MK berperan sebagai lembaga pengawal konstitusi yang memutuskan sengketa hasil pemilu, perkara tata usaha negara, dan isu-isu konstitusional lainnya. Berikut beberapa poin penting mengenai dinamika tersebut:
Sengketa Pemilu: MK seringkali menjadi tempat penyelesaian sengketa hasil pemilu. Putusan MK terkait hasil pemilu dapat memengaruhi legitimasi hasil pemilihan dan stabilitas politik di Indonesia.
Perubahan Kebijakan: Putusan MK juga bisa mendorong perubahan kebijakan atau regulasi. Contohnya, jika MK memutuskan suatu undang-undang bertentangan dengan konstitusi, maka undang-undang tersebut harus direvisi, yang dapat berdampak pada sistem politik.
Penguatan Demokrasi: Melalui putusannya, MK berkontribusi pada penguatan prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi hukum. Keberanian MK dalam mengambil keputusan yang independen, meskipun berisiko politik, dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara.
Dinamika Partai Politik: Putusan MK juga dapat memengaruhi strategi dan aliansi politik partai-partai. Misalnya, keputusan mengenai calon yang dapat maju dalam pemilu dapat mengubah peta politik.
Respons Masyarakat: Putusan MK sering kali memicu reaksi dari masyarakat, baik yang mendukung maupun menentang. Hal ini dapat memunculkan gerakan sosial atau protes yang berdampak pada dinamika politik.
Peran Media: Media juga memainkan peran penting dalam menginformasikan putusan MK dan analisisnya. Liputan media dapat membentuk opini publik dan memengaruhi persepsi terhadap legitimasi keputusan MK.
Secara keseluruhan, putusan MK memiliki implikasi yang kompleks dan saling terkait dalam konteks politik Indonesia, dan sering kali menjadi titik tolak bagi perubahan dan perkembangan selanjutnya dalam sistem politik.
 Keputusan MK ini bukan hanya berpihak pada buruh, tetapi sesungguhnya para investor besar pun merasa tenang tuk berinvestasi secara "sehat". Akan ada banyak investor besar yang membuka usaha baru di Indonesia. Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan Perkara Nomor 70/PUU-XXII/2024 mengenai pengujian ketentuan persyaratan batas usia minimal calon kepala daerah yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada). Kendati demikian, dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah menegaskan semua persyaratan calon kepala daerah yang diatur dalam Pasal 7 UU Pilkada harus dipenuhi sebelum dilakukan penetapan calon kepala daerah.
"Artinya, dalam batas penalaran yang wajar, penelitian keterpenuhan persyaratan tersebut harus dilakukan sebelum tahapan penetapan pasangan calon. Dalam hal ini, semua syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU No.10 Tahun 2016 harus dipastikan telah terpenuhi sebelum penyelenggara, in casu KPU, menetapkan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah," ujar Hakim Konstitusi Saldi Isra membacakan pertimbangan hukum Mahkamah dalam sidang pengucapan putusan pada Selasa (20/8/2024) di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.
Sebelum adanya putusan MK 70, MA sudah mengeluarkan Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 23P/HUM/2024. tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota alias UU Pilkada. Putusan MA yang disahkan pada 29 Mei 2024 itu mengatur batas minimum usia calon gubernur dan wakil gubernur berumur 30 tahun saat dilantik sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih pada 7 Februari 2025.
Baleg DPR Lebih Memilih Putusan MA Ketimbang MK Soal Batas Usia Calon Kepala Daerah
Putusan MK Tentang Ambang Batas Pencalonan Kepala Daerah Masuk RUU Pilkada
MK Buka Peluang Parpol Tanpa Kursi di DPRD Ajukan Calon Kepala Daerah
Rupanya, Baleg DPR justru mengabaikan putusan MK dan menggunakan putusan MA tersebut untuk mengatur batas minimum usia calon gubernur dan wakil gubernur dalam revisi UU No 10 Tahun 2016. Hal itu disepakati dalam Rapat Panja Baleg yang diselenggarakan pada Rabu, (21/8). Rencananya pengambilan keputusan atas perubahan UU Pilkada akan dilaksanakan pada Kamis (22/8).
Merespons hal tersebut, Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Aan Eko Widiarto menilai apa yang dilakukan oleh DPR dan presiden terkait penetapan batas usia calon gubernur dan wakil gubernur adalah pelanggaran konstitusi. Dia secara tegas mengatakan putusan MK memiliki derajat yang lebih tinggi daripada putusan MA.
"Putusan MK dan MA, dua putusan ini adalah diametral. Nah dari diametral nya, yang berlaku tentu adalah putusan MK karena putusan MK menafsirkan UU. Kalau MK menafsirkan UU dan sudah dimaknai sebagaimana putusan MK, maka bunyi UU yang usia bakal calon ditetapkan saat penetapan itu lebih berlaku dibandingkan atau mengenyampingkan usia bakal calon yang ditetapkan saat pelantikan, ini versi hukumnya,"
Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan batas usia capres-cawapres tetap 40 tahun kecuali sudah berpengalaman sebagai pejabat negara atau kepala daerah.
Dalam putusannya, MK menyatakan batas usia minimal 40 tahun untuk calon presiden dan calon wakil presiden bertentangan dengan UUD 1945. Namun, seseorang berusia di bawah 40 tahun bisa mengikuti pemilihan presiden dan wakil presiden, asalkan sedang atau pernah menduduki jabatan negara yang dipilih melalui pemilu, termasuk pemilihan kepala daerah. Dalam putusannya, MK memutus bahwa pasal tersebut "bertentangan dengan konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai "berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah". Jabatan yang dipilih melalui pemilu adalah presiden, wakil presiden, anggota DPR, DPD, DPRD serta kepala daerah atau wakil kepala daerah tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. Gibran, yang merupakan putra pertama Presiden Joko Widodo, belakangan disebut-sebut akan dipasangkan oleh sejumlah partai politik dengan Prabowo Subianto dalam pemilihan presiden dan wakil presiden.
Sebelumnya, MK menolak gugatan terhadap syarat batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
MK merinci berbagai pertimbangan hukum mereka, antara lain bahwa pengaturan batas usia minimal tersebut berada di tangan pembentuk undang-undang, yaitu DPR dan pemerintah. MK juga menolak dalil yang diajukan PSI bahwa batas usia 40 tahun bagi capres-cawapres bertentangan dengan moralitas, rasionalitas dan menimbulkan ketidakadilan. Menurut MK, sebagaimana diutarakan hakim Saldi Isra, kalaupun syarat umur itu diturunkan menjadi 35 tahun, syarat tersebut akan tetap menimbulkan persoalan.
"Jadi MK tidak dapat menentukan batas usia minimal karena memungkinkan adanya dinamika di kemudian hari. Jika MK menentukan batas usia capres-cawapres, fleksibilitasnya menjadi hilang dan dapat memicu munculnya berbagai permohonan terkait dengan syarat batas usia minimal pejabat publik," kata Saldi Isra.
Dalam kesimpulan lainnya, MK menyatakan ketentuan batas usia capres-cawapres tidak dapat disamakan dengan perubahan batas maksimal umur pimpinan KPK.
Dalam putusan terhadap batas usia minimal capres-cawapres ini, dua hakim konstitusi menyatakan ketidaksetujuan dan memberikan pendapat hukum berbeda (dissenting opinion). Keduanya adalah hakim Suhartoyo dan hakim Guntur Hamzah. Namun pendapat keduanya tidak memiliki kekuatan hukum atas putusan secara keseluruhan.
Apa saja pertimbangan lain MK?
Sebelum mengeluarkan putusan, MK telah membaca dan mendengar keterangan para pemohon, DPR dan pemerintah.
MK juga mendengarkan keterangan pihak terkait serta para ahli yang mereka ajukan. Pihak terkait ini antara lain Perludem, Komite Independen Pemantau Pemilu dan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat.
Dalam mempertimbangkan putusan mereka, MK menyebut telah merunut pengaturan syarat usia capres-cawapres sejak era kemederkaan, berakhirnya Orde Lama, dan pemilu pada masa Orde Baru.
MK juga melacak risalah perdebatan dalam pembahasan perubahan UUD 1945, terutama mengenai persyaratan presiden yang tertuang dalam Naskah Komprehensif Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945.
Dalam proses perubahan konstitusi, Panitia Ad Hoc Badan Pekerja MPR, kata MK, menyepakati dua alternatif yang dilaporkan ke Rapat ke-5 tertanggal 23 Oktober 2001.
Alternatif pertama, UUD 1945 hanya akan mengatur syarat kewarganegaraan capres-cawapres, sementara syarat lainnya akan diatur melalui undang-undang.
Alternatif dua yang didiskusikan pada waktu itu, UUD 1945 akan mengatur syarat kewarganegaraan capres-cawapres, batas usia minimal sekurang-kurangnya 40 tahun, aturan tentang tidak pernah dijatuhi pidana, dan kemampuan jasmani dan rohani.
Yang disetujui oleh MPR, kata MK, adalah alternatif pertama. Merujuk fakta hukum ini, MK menyebut pengaturan soal batas usia minimal 40 tahun adalah pelaksanaan atas Pasal 6 ayat 2 UUD 1945.
MK juga menolak dalil PSI yang menuduh batas usia minimal bertentangan dengan konvensi ketatanegaraan karena Sutan Sjahrir pernah memimpin Indonesia pada usia 36 tahun. Menurut MK, dalil ini tidak tepat karena kepemimpinan Sjahrir terjadi pada pemerintahan parlementer.
MK juga menolak dalil bahwa batas usia minimal capres-cawapres melanggar prinsip kelembagaan triumvirate atau ketika menteri luar negeri, menteri dalam negeri, dan menteri pertahanan menggantikan presiden dan wakil presiden yang berhalangan. Menurut PSI, para menteri yang tidak memiliki batas usia minimal tidak dapat menggantikan presiden-wakil presiden karena kemungkinan tidak berumur 40 tahun.
Namun menurut MK, kedudukan tiga menteri tadi, dalam konsep triumvirate, bukanlah sebagai presiden dan wakil presiden definitif, tapi hanya pelaksana tugas sampai terpilihnya presiden dan wakil presiden baru. Tidak cuma mengenai batas usia minimal, MK juga menolak permohonan sejumlah kepala daerah yang meminta agar setiap orang di bawah 40 tahun tetap bisa menjadi capres-cawapres asalkan pernah menjabat sebagai penyelenggara negara.
Menurut MK, sebuah pasal yang memuat batas usia minimal tapi membuka peluang untuk mengabaikan batasan tersebut dengan aturan lain berpotensi memicu kontradiksi hukum.
"Melarang sekaligus membolehkan yang seseorang di bawah 40 tahun untuk dicalonkan sebagai capres-cawapres sepanjang yang bersangkutan adalah atau pernah menjabat pejabat negara memicu kontradiksi. Sifat kontradiktif akan memicu kebingungan dan ketidakpastian hukum, yang bertentangan dengan UUD 1945," kata MK dalam putusannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H