Nida Ningtyas Alfiana Cila (212121094)
Universitas Islam Negri Raden Mas Said Surakarta, IndonesiaÂ
Judul : Hukum Perdata Islam Di indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sampai Kompilasi Hukum Islam)
Penulis : Prof. Dr. H. Amiur Nuruddin, M.A. dan Dr. Azhari Akmal Tarigan, M.Ag.
Penerbit : PRENADAMEDIA GROUP
Tahun terbit : Oktober 2019
Cetakan : Ketuju
Abstract:mÂ
Dalam sejarahnya di indonesiasampainya keadilan kepada yang berhak dalam sistem hukum islamtelah menjadi simbol supremasi hukum di berbagai kerajaan nusantara selama berabad-abad lamanya. Lebih dari itu signifikannya pengaruh hukum tersebut dalam masyarakat muslim indonesiaiaseringkali menjadi rujukan dari berbagai macam kasus perdata antar individu. Sehingga, tak heran jika kemudian hari melalui kompilasi hukum islam dan peradilan agama, pemerintah berusaha mengakomodasi dan menjadikannya sebagai hukum positif yang memiliki kekuatan hukum mengikat.
Memfokuskan kajiannya kepada perkembangan dan pergeseran konseptual hukum islam, buku ini menyajikansebuah studi serius tentang tema inti hukum perdata,yaitu:Perkawinan,perceraian,pengasuhananak,pembatalanperkawinan,hingga hak dan kewajiban suami. Dikemas dalam analisis kritis dan komparatif terhadap fikih, Undang-Undanh Nomor 1 Tahun 1974 hingga kompilasi hukum islamindonesia, buku ini merupakan salah satu rujukan penting bagi mereka yang ingin mendalami atau untuk mengkritisi dan menyempurnakan hukum perdata islam di indonesia atau juga dikenal sebagai hukum munakahat.
Kata Kunci : hukum perdata islam, perkawinan, perceraian,hukum munakahat
PENDAHULUAN
Hukum perdata Islam adalah norma hukum yang memuat : Munakahat hukum perkawinan mengatur segala sesuatu yang berkaitandengan perkawinan, perceraian serta akibat-akibat hukumnya
Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan merupakan Undang-undang yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan segala permasalahan yang terkait dengan perkawinan atau nikah, talak, cerai dan rujuk, yang pengesahannya ditandatangani pada tanggal 2 januari 1974 oleh Presiden Suharto. Agar Undang undang perkawinan dapat dilaksanakan dengan seksama, pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975. Undang-undang ini merupakan hasil usaha untuk menciptakan hukum nasional dan merupakan hasil inifikasi hukum yang menghormati adanya fariasi berdasarkan agama.
Pengertian perkawinan menurut undang-undang ini adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Sementara menurut Dr. Anwar Haryono, SH. Perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci antara seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk membentuk keluarga bahagia.
Pada prinsipnya suatu perkawinan itu ditujukan untuk selama hidup dan kebahagiaan yang kekal (abadi) bagi pasangan suami istri yang bersangkutan. Dalam suatu perkawinan semua orang menghendaki kehidupan rumah tangga yang bahagia, kekal, dan sejahtera, sesuai dengan tujuan dari perkawinan yang terdapat dalam UU No.1 tahun 1974. Akan tetapi, tidak semua orang dapat membentuk suatu keluarga yang dicita-citakan tersebut, hal ini dikarenakan ditengah pernikahan sering ada konflik akibat perbedaan subtansial antara suami dan istri. Adakalannya konflik berakhir dengan damai, namun tidak jarang juga berakhir dengan perceraian. Meskipun pernikahan pada dasarnya diikat dengan cinta dan kasih sayang, namun konflik yang berkelanjutan akan mengarah pada perceraian.
Perceraian merupakan lepasnya ikatan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri, yang dilakukan di depan sidang Pengadilan, yaitu Pengadilan Negeri untuk non muslim dan Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam. Perceraian adalah terlarang, banyak larangan Tuhan dan rasul mengenai perceraian antara suami istri. Talak adalah sesuatu yang halal tapi dibenci oleh allah.
PEMBAHASAN
Hukum Perdata islam di indonesia latar Belakang sejarah dan perkembangannya
   A.Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia.
Sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah Islam itu sendiri. Membicarakan hukum Islam samalah artinya dengan membicarakan Islam sebagai sebuah agama. Benarlah apa yang dikatakan oleh Joseph Sacht, tidak mungkin mempelajari Islam tanpa mempelajari hukum Islam. Ini menunjukkan bahwa hukum sebagai sebuah institusi agama memiliki kedudukan yang sangat signifkan.
Islam masuk ke Indonesia pada abad 1 H atau abad VII M yang dibawa oleh pedagang-pedagang Arab. Tidaklah berlebihan jika era ini adalah era di manahukum Islam untuk pertama kalinya masuk ke wilayah Indonesia. Namun penting untuk dicatat, seperti apa yang dikatakan Martin Van Bruinessen, penekanan pada aspek fkih sebenarnya adalah fenomena yang berkembang belakangan. Pada masa-masa yang paling awal berkembangnya Islam di Indonesia, penekanannya tampak pada Tasawuf. Kendati demikian, hemat penulis pernyataan ini tidaklah berarti fkih tidak penting mengingat tasawuf yang berkembang di Indonesia adalah tasawuf Sunni yang menempatkan fikih pada posisi yang signifkan dalam struktur bangunan tasawuf Sunni tersebut.
Beberapa ahli menyebut bahwa hukum Islam yang berkembang diIndonesia bercorak Syaf'iyyah. Ini ditunjukkan dengan bukti-bukti sejarah di antaranya, Sultan Malikul Zahir dari Samudra Pasai adalah seorang ahli agama dan hukum Islam terkenal pada pertengahan abad ke XIV M. 8Â Melalui kerajaan ini, hukum Islam mazhab Syaf'i disebarkan ke kerajaan-kerajaan Islam lainnya di kepulauan Nusantara. Bahkan para ahli hukum dari kerajaanMalaka (1400-1500 M) sering datang ke Samudra Pasai untuk mencari kata putus tentang permasalahan-permasalahan hukum yang muncul di Malaka.
    B. Hukum Islam Pada Masa Penjajahan Belanda.
Perkembangan hukum Islam di Indonesia pada masa penjajahan Belanda dapat dilihat ke dalam dua bentuk. Pertama,adanya toleransi pihak Belanda melalui VOC (VereenigdeOotsIndischeCompagnie) yang memberikan ruang yang agak luas bagi perkembangan hukum Islam. Kedua, adanya upaya intervensi Belanda terhadap hukum Islam dengan menghadapkannya pada hukum adat. Berangkat dari kekuasaan yang dimilikinya VOC bermaksud menerapkan hukum Belanda di Indononesia, namun tetap saja tidak berhasil karena umat Islam tetap setia menjalankansyariatnya. Dapatlah dikatakan pada saat VOC berkuasa di Indonesia (1602-1800 M) hukum Islam dapat berkembang dan dipraktikkan oleh umatnya tanpa ada hambatan apa pun dari
VOC. Bahkan bisa dikatakan VOC ikut membantu untuk menyusun suatu compendium yang memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam dan berlaku di kalangan umat Islam.
Setelah kekuasaan VOC berakhir dan digantikan oleh Belanda, maka seperti yang terlihat nanti sikap Belanda berubah terhadap hukum Islam, kendati perubahan itu terjadi perlahanlahan.Setidaknya perubahan sikap Belanda itu dapat dilihat dari tiga sisi: pertama, menguasai Indonesia sebagai wilayah yang memiliki sumber daya alam yang cukup kaya. Kedua,menghilangkan pengaruh Islam dari sebagian besar orang Indonesia dengan proyek Kristenisasi.Ketiga, keinginan Belanda untuk menerapkan apa yang disebut dengan politik hukum yang sadar terhadap Indonesia.Maksudnya, Belanda ingin menata dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda
    C. Hukum Islam Pada Masa Penjajahan Jepang.
Setelah berkuasa lebih kurang hampir tiga setengah abad lamanya, akhirnya Pemerintahan Belanda dapat dikalahkan oleh Jepang hanya dalam tempo dua bulan yang menandai berakhirnya penjajahan Barat di bumi Indonesia. Namun bagi Indonesia sendiri peralihan penjajah ini tetap saja membawa kesusahan dan kesengsaraan bagi rakyat.
Dalam konteks administrasi penyelenggaraan negara dan kebijakan-kebijakan terhadap pelaksanaan hukum Islam di Indonesia terkesan bahwa Jepang memilih untuk tidak terlalu mengubah beberapa hukum dan peraturan yang ada.Sebagaimana Belanda pada masa-masa awal penjajahannya, rezim Jepang sekarang mempertahankan bahwa "adat istiadat lokal, praktik-praktik kebiasaan, dan agama tidak boleh dicampurtangani untuk sementara waktu, dan dalam hal-hal yang berhubungan dengan urusan penduduk sipil, adat dan hukum sosial mereka harus dihormati, dan pengaturan yang khusus diperlukan adanya dalam rangka untuk mencegah munculnya segala bentuk perlawanan dan oposisi yang tidak diinginkan.
    D. Hukum Islam Pada Masa Kemerdekaan
Salah satu makna kemerdekaan bagi bangsa Indonesia adalah terbebasnya dari pengaruh hukum Belanda. Menurut Hazairin, setelah Indonesia merdeka, walaupun aturan peralihan menyatakan bahwa hukum yang lama masih berlaku selama jiwanya tidak bertentangan dengan UUD 1945, seluruh peraturan pemerintahan Belanda yang berdasarkan teori receptietidak berlaku lagi karena jiwanya bertentangan dengan UUD 1945. Teori receptie harus exit karena bertentangan dengan AlQur'an dan Sunnah Rasul.Hazairin menyebut teori receptie sebagai teori Iblis.
     E. Hukum Islam Pada Masa Pemerintahan Orde Baru
Era Orde Baru yang dimulai sejak keluarnya surat perintah sebelas Maret 1966, pada awalnya memberikan harapan baru bagi dinamika perkembangan Islam khususnya hukum Islam di Indonesia. Harapan ini muncul setidaknya disebabkan oleh kontribusi yang cukup besar diberikan umat Islam dalam menumbangkan rezim Orde Lama. Akan tetapi, dalam realitanya, keinginan ini bertubrukan dengan strategi pembangunan Orde Baru, yaitu marginalisasi peranan partai-partai politik dan menabukan pembicaraan masalah-masalah ideologis (selain Pancasila) terutama yang bersifat keagamaan.
Prinsip-PrinsipPerkawinan dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam
   A. Perspektif Fikih.
Perkawinan dalam bahasa Arab disebut dengan al-nikahyang bermakna al-wathi' dan al-dammu waal-tadakhul. Terkadang juga disebut dengan al-dammu waal-jam'u, atau 'ibarat 'anal-wath' waal-'aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad.Beranjak dari makna etimologis inilah, para ulama fikih mendefniskan perkawinan dalam konteks hubungan biologis. Untuk lebih jelasnya, beberapa defnisi akan diuraikan di bawah ini seperti yang dijelaskan oleh Wahbahal-Zuhaily sebagai berikut."Akad yang membolehkan terjadinya al-istimta' (persetubuhan) denganseorang wanita, atau melakukan wathi`, dan berkumpul selama wanita tersebut bukan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan, atau sepersusuan"
   B. Perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Di dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 seperti yang termuat dalam Pasal 1 ayat 2 perkawinan didefnisikansebagai:"Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".Pencantuman berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah karena negara Indonesia berdasarkan kepada Pancasila yang sila pertamanya adalahKetuhanan Yang Maha Esa. Sampai di sini tegas dinyatakan bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani tetapi juga memiliki unsur batin/rohani.
    C. Perspektif Kompilasi Hukum Islam.
Menurut Kompilasi Hukum Islam, seperti yang terdapat pada Pasal 2 dinyatakan bahwa perkawinan dalam hukum Islam, yaitu:Pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqanghalidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Prinsip-Prinsip Perkawinan
Menurut M. Yahya Harahap asas-asas yang dipandang cukup prinsip dalam Undang-Undang Perkawinan, yaitu:
1. Menampung segala kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat bangsa Indonesia dewasa ini. UndangUndang Perkawinan menampung di dalamnya segala unsur-unsurketentuan hukum agama dan kepercayaan masing-masing.
2. Sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Maksud dari perkembangan zaman adalah terpenuhinya aspirasi wanityang menuntut adanya emansipasi, di samping perkembangan sosial ekonomi, ilmu pengetahuan teknologi yang telah membawa implikasi mobilitas sosial di segala lapangan hidup dan pemikiran.
3. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagiayang kekal. Tujuan perkawinan ini dapat dielaborasi menjadi tiga hal. Pertama, suami-istri saling bantu-membantu serta saling lengkap-melengkapi. Kedua, masingmasing dapat mengembangkan kepribadiannya dan untuk pengembangan kepribadian itu suami-istri harus saling membantu. Ketiga, tujuan terakhir yang ingin dikejar oleh keluarga bangsa Indonesia ialah keluarga bahagia yang sejahtera spritual dan material.
4. Kesadaran akan hukum agama dan keyakinan masingmasing warga negara bangsa Indonesia yaitu perkawinan harus dilakukan berdasarkan hukum agama dan kepercayaan masing-masing. Hal ini merupakan crusialpoint yang hampir menenggelamkan undang-undang ini. Di samping itu perkawinan harus memenuhi administratif pemerintahan dalam bentuk pencatatan (akta nikah).
5. Undang-Undang Perkawinan menganut asas monogami,
akan tetapi tetap terbuka peluang untuk melakukan poligami selama hukum agamanya mengizinkannya.
6. Perkawinan dan pembentukan keluarga dilakukan oleh
pribadi-pribadi yang telah matang jiwa dan raganya.
7. Kedudukan suami istri dalam kehidupan keluarga adalah
seimbang, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat.
Rukun dan Syarat Perkawinan
1) Calon suami, syarat-syaratnya:
1. Beragama Islam.
2. Laki-laki.
3. Jelas orangnya.
4. Dapat memberikan persetujuan.
5. Tidak terdapat halangan perkawinan.
2) Calon istri, syarat-syaratnya:
1. Beragama, meskipun Yahudi atau Nasrani.
2. Perempuan.
3. Jelas orangnya.
4. Dapat dimintai persetujuannya.
5. Tidak terdapat halangan perkawinan.
3) Wali nikah, syarat-syaratnya:
1. Laki-laki.
2. Dewasa.
3. Mempunyai hak perwalian.
4. Tidak terdapat halangan perwaliannya.
4) Saksi Nikah.
1. Minimal dua orang laki-laki.
2. Hadir dalam ijab qabul.
3. Dapat mengerti maksud akad.
4. Islam.
5. Dewasa.
5) Ijab qabul, syarat-syaratnya:
1. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali.
2. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai.
3. Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua kata tersebut.
4. Antara ijab dan qabul bersambungan.
5. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya.
6. Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau umrah.
7. Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang yaitu calon mempelai atauwakilnya wali dari mempelai wanita dan dua orang saksi
Pendahuluan Perkawinan
 Peminangan, Syarat, dan Akibat Hukumnya
Bahwa peminangan adalah langkah awal untuk menuju sebuah perjodohan antara laki-laki dan perempuan. Para ulama sebenarnya menyatakan tidak wajib melakukan peminangan. Hal ini didasarkan pada argumentasi tidak ada-nya satu dalil yang eksplisit menunjuk akan kewajibannya. Kendati demikian, Dawud al-Zahiri mewajibkan adanya peminangan ini. Setidaknya tradisi yangberkembang di masyarakat menunjukkan betapa peminangan ini telah dilakukan. Bahkan jika ada sebuah perkawinan tanpa didahului dengan peminangan, dapat menimbulkan kesan yang kurang baik setidaknya disebut tidak mengindahkan adat yang berlaku.Di dalam fkih Islam peminangan inidisebut dengan khitbah. Kata ini dapat dilihat pada Hadis-hadis Rasul yang berbicara tentang peminangan tersebut. Perlu dijelaskan di samping peminangan, di masyarakat dikenal sebuah istilah yang disebut dengan tunangan. Biasanya tunangan ini adalah masa antara pinangan (lamaran) dengan perkawinan. Uniknya, kendatipun pinangan dikenal dalam Islam, namun tunangan tidak dikenal. Mungkin juga makna tunangan termasuklah di dalamnya pinangan.
Fikih Islam tampaknya telah mengatur syarat-syarat peminangan dan halangan-halangannya. Beranjak dari Hadis Rasul yang artinya:"Janganlah seseorang kamu meminang (wanita) yang dipinang saudaranya, hingga peminang sebelumnya meninggalkannya atau telah mengizinkannya (Muttafaq 'alaih)."
Fikih Islam telah menetapkan bahwa wanita yang akan dipinang tersebut:
1. Wanita yang dipinang tidak istri orang.
2. Wanita yang dipinang tidak dalam pinangan laki-laki lain.
3. Wanita yang dipinang tidak dalam masa idah raj'i
4. Wanita yang dalam masa idah wafat hanya dapat dipinang
dengan sindiran (kinayah)
5. Wanita dalam masa idah bainsughra dapat dipinang oleh
bekas suaminya.
6. Wanita dalam masa idah bain kubra boleh dipinang oleh
bekas suaminya setelah kawin dengan laki-laki lain, didukhul dan telah bercerai
Pencegahann dan Pembatalan Perkawinan
Pencegahan perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam Pasal 13 yang bunyinya:Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.Tidak memenuhi persyaratan seperti yang dimaskud di dalam ayat di atas mengacu kepada dua hal : syarat administratif dan syarat materiil.Syarat administratif berhubungan dengan administrasi perkawinan sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian yang membahas tata cara perkawinan. Adapun syarat materiil menyangkut hal-hal mendasar seperti larangan perkawinan yang akan dibahas pada bagian lain.Perkawinan dapat dicegah bila salah seorang atau kedua calon pengantin masih terikat dalam perkawinan dengan orang lain (pencegahan ini tidak termasuk bagi suami yang telah mendapatkan dispensasi dari pengadilan untuk berpoligami) dan seorang bekas istri yang masih dalam keadaan berlaku waktu tunggu (idah) baginya, begitu juga dengan mereka yang belum mencapai umur 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita dapat dicegah untuk melangsungkan perkawinan kecuali telah mendapat dispensasi dari pengadilan.
Pembatalan perkawinan ini terjadi karena tidak berfungsinya pengawasan baik dari pihak keluarga atau pejabat berwenang sehingga perkawinan itu terlanjur terlaksana kendati setelah itu ditemukan pelanggaran terhadap Undang-Undang Perkawinan atau hukum munakahat. Jika ini terjadi, maka pengadilan agama dapat membatalkan perkawinan tersebut atas permohonan pihak-pihak yang berkepentingan. Adapun pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinanadalah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami dan istri dan orang-orang yang memiliki kepentingan langsung terhadap perkawinan tersebut.Sampai di sini suatu perkawinan dapat batal demi hukum dan bisa dibatalkan oleh pengadilan. Secara sederhana, adadua sebab terjadinya pembatalan perkawinan. Pertama, pelanggaran prosedural perkawinan. Kedua, pelanggaran terhadap materi perkawinan. Contoh pertama; misalnya, tidak terpenuhinya syarat-syarat wali nikah, tidak dihadiri para saksi dan alasan prosudural lainnya. Adapun yang kedua contohnya adalah perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman, terjadi salah sangka mengenai calon suami dan istri.
Pencatatan Perkawinan: akta nikah dan Perjanjian Perkawinan
Sejalan dengan perkembangan zaman dengan dinamika yang terus berubah maka banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi. Pergeseran kultur lisan (oral) kepada kultur tulis sebagai ciri masyarakat modern, menuntut dijadikannya akta, surat sebagai bukti autentik. Saksi hidup tidak lagi bisa diandalkan tidak saja karena bisa hilang dengan sebab kematian, manusia dapat juga mengalami kelupaan dan kesilapan. Atas dasar ini, diperlukan sebuah bukti yang abadi itulah yang disebut dengan akta.Dengan demikian, salah satu bentuk pembaruan hukum kekeluargaan Islam adalah dimuatnya pencatatan perkawinan sebagai salah satu ketentuan perkawinan yang harus dipenuhi. Dikatakan pembaruan hukum Islam karena masalah tersebut tidak ditemukan di dalam kitab-kitab fkih ataupun fatwa-fatwa ulama.
Perjanjian Perkawinan dalam undang-undang perkawinan  diatur dalam Bab V dan hanya terdiri satu pasal saja, yaitu Pasal 29. Dijelaskan pada pasal tersebut:Pada waktu sebelum perkawinan berlangsung, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yangdisahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
Larangan Perkawinan
Hukum Islam juga mengenal adanya larangan perkawinan yang dalam fkih disebut dengan mahram (orang yang haram dinikahi). Di masyarakat istilah ini sering disebut dengan muhrim sebuahistilah yang tidak terlalu tepat. Muhrim kalaupun kata ini ingin digunakan maksudnya adalah suami, yang menyebabkan istrinya tidak boleh kawin dengan pria lain selama masih terikat dalam sebuah perkawinan atau masih berada  dalam idah talak raj'i. Di samping itu, muhrim itu jugadigunakan untuk menyebut orang yang sedang ihram.Ulamafkih telah membagi mahram ini kepada dua macam. Pertama disebut dengan mahram mu'aqqat (larangan untuk waktu tertentu) dan kedua mahram mu'abbad (larangan untuk selamanya).
Alasan dan Prosedur Poligami
Poligami memiliki akar sejarah yang cukup panjang, sepanjang sejarah peradaban manusia itu sendiri. Sebelum Islam datang ke jazirah Arab, poligami merupakan sesuatu yang telah mentradisi bagi masyarakat Arab. Poligami masa itu dapat disebut poligami tak berbatas. Lebih dari itu tidak ada gagasan keadilan di antara para istri. Suamilah yang menentukan sepenuhnya siapa yangpaling ia sukai dan dan siapa yang ia pilih untuk dimiliki secara tidak terbatas. Para istri harus menerima takdir mereka tanpa ada usaha untuk memperoleh keadilan.Seperti yang termuat dalam Pasal 5 ayat 1 UndangUndang Perkawinan, syarat-syarat yang dipenuhi bagi seorang suami yangingin melakukan poligami, yaitu:
1. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri.
2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anakmereka.
3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri dan anak-anak mereka
Hak dan Kewajiban suami istri
Di antara kewajiban suami terhadap istri menurut kitab yang telah disebut di muka adalah berlaku adil dalam mengatur waktu untuk para istri, memberi nafkah dan lemah lembut dalam berbicara dengan mereka. Di samping itu, berangkat dari Hadis-hadis Rasulullah menurut Imam Nawawi setiap suami mestilah mengasihi istrinya dan memperlakukannya dengan baik, karena mereka adalah orang-orang yang lemah dan membutuhkan orang lain untuk menyediakan hal-hal yang menjadi keperluan mereka. Nabi mengumpamakan mereka seperti tawanan, karena pada dasarnyamereka adalah tahanan suami atau pinjaman yang diamanatkan oleh Allah.
Putusnya Perkawinan dan tata cara Perceraian
Sayyid Sabiq mendefnisikan talak dengan sebuah upaya untuk melepaskan ikatan perkawinan dan selanjutnya mengakhiri hubungan perkawinan itu sendiri.Defnisi yang agak panjang dapat dilihat di dalam kitab Kifayatal-Akhyar yang menjelaskan talak sebagai sebuah nama untuk melepaskan ikatan nikah dan talak adalah lafaz Jahiliah yang setelah Islam datang menetapkan lafaz itu sebagai kata untuk melepaskan nikah. Undang-Undang Pengadilan Agama, Kompilasi Hukum Islam juga memuat aturan tata cara pelaksanaan talak. Hal ini dapat dilihat pada pasal berikut ini:Pada Pasal 129 ada pernyataan: Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada pengadilan agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.
Iddah dan masalahnya
Iddah bermakna perhitungan atau sesuatu yang dihitung. Secara bahasa, mengandung pengertian hari-hari haid atau hari-hari suci pada wanita. Adapun secara istilah, "idah" mengandung arti masa menunggu bagi wanita untuk melakukan perkawinan setelah terjadinya perceraian dengan suaminya, baik cerai hidup maupun cerai mati, dengan tujuan untuk mengetahui keadaan rahimnya atau untuk berpikir bagi suami.Para ulama mendefnisikan idah sebagai nama waktu untuk menanti kesuciaan seorang istri yang ditinggal mati atau diceraikan oleh suami, yang sebelum habis masa itu dilarang untuk dinikahkan.
Rujuk dan Permasalahannya
Rujuk secara bahasa bermakna kembali atau pulang. Dalam istilah fkih, rujuk berarti meneruskan atau mengekalkan kembali hubungan perkawinan antara pasangan suami istri yang sebelum itu dikhawatirkan dapat terputus karena dijatuhkannya talak raj'i oleh suami. Rujuk merupakan hak suami yang telah ditetapkan Allah Swt.MazhabHanafmendefnisikan rujuk dengan "melangsungkan hak milik yang ada tanpa adanya gan ti rugi, selama masa idah masih ada, atau melanjutkan hubungan suami istri selama masih dalam masa idah akibat talak raj'i." Adapunmenurut jumhur ulama, rujuk adalah, mengembalikan wanita yang ditalak, selain talak bain, pada perkawinan selama wanita itu masih berada dalam masa idah tanpa akad yang baru.
Asal -- Usul Anak
Penetapan asal-usul anak dalam perspektif hukum Islam memiliki arti yang sangat penting, karena dengan penetapan itulah dapat diketahui hubungan mahram (nasab) antara anak dengan ayahnya. Kendatipun pada hakikatnya setiap anak yang lahir berasal dari sperma seorang laki-laki dan sejatinya harus menjadi ayahnya, namun hukum Islam memberikan ketentuan lain. Seorang anak dapat dikatakan sah memiliki hubungan nasab dengan ayahnya jika terlahir dari perkawinan yang sah. Sebaliknya anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, tidak dapat disebut dengan anak yang sah, biasa disebut dengan anak zina atau anak di luar perkawinan yang sah dan ia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya. Dengan demikian, membicarakan asal usul anak sebenarnya membicarakan anak yang sah.
Pemeliharaan anak dan tanggung jawab orangtua terhadap anak bila terjadi Perceraian
Sesuai dengan ketentuan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang menegaskan bahwa bapak bertanggung jawab atas semua pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan si anak, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan agama dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya dimaksud. Bagaimanapun pemeliharaan anak merupakan kewajiban kedua orangtua, oleh karenanya setiap orangtua tidak bisa melepaskan tanggung jawabnya begitu saja, sebab baik buruknya sifat dan kelakuan anak-anak, sepenuhnya tergantung baik buruknya pendidikan yang diberikan oleh kedua orangtuanya.
Perkawinan Berbeda agama
Pada masyarakat Muslim ada penolakan yang sangat kuat berkenaan dengan perkawinan beda agama. Ayat-ayat yang kerap digunakan sebagai dalil adalah QS al-Baqarah :221 dan ayat QS al-Mumtahanah ayat 10. Ayat-ayat tersebut adalah ayat-ayat Madinah di mana Allah Swt. telah memberi ketegasan apa yang halal (mayuhallu) dan apa yang haram (mayuhramu). Ayatayat tersebut langsung dapat dipahami sebagai larangan untuk melakukan pernikahan beda agama antara orang Islam dengan musyrik sebagaimana tegas disebut oleh ayat. Masalahnya adalah siapa yang musyrik? Ada kecenderungan dikalangan ahli untuk memahami kata musyrik itu adalah non muslim yang di dalamnya ada Hindu, Buddha, Konghucu dan kepercayaankepercayaan lainnya.
Harta dalam Perkawinan
Fikih Islam klasik sesungguhnya tidak mengenal istilah harta bersama yang diakibatkan oleh perkawinan. Para ulama agaknya sampai pada satu pemahaman yang tegas bahwa perkawinan tidak berdampak terhadap persatuan harta. Bagi laki-laki ada harta yang diperoleh dari hasil usahanya. Demikian juga bagi perempuan. Hanya saja suami berkewajiban untuk memberikan sebagian hartanya kepada istrinya sebagai nafkah.
Kesimpulan
Hukum Perdata Islam di Indonesia ini secara umum membahas tentang hukum perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah dan perwakafan yang telah menjadi bagian dari peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Khusus untuk Jurusan Hukum Tata Negara, pembahahan yang akan dikaji berkisar tentang hukum perkawinan di Indonesia saja. Mata Kuliah ini akan dimulai dengan penjelasan singkat tentang istilah Hukum Perdata Islam di Indonesia, sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia dan proses perumusan Kompilasi Hukum Islam yang merupakan hukum materil yang menjadi bahan rujukan terhadap penyelesaian persoalan-persoalan keperdataan Islam di Indonesia. Pembahasan  selanjutnya merupakan kajian materi hukum perdata Islam di Indonesia yang diawali dengan hukum perkawinan. Berawal dari ketentuan peminangan, prinsip-prinsip perkawinan, pencatatan perkawinan, pencegahan dan pembatalan perkawinan sampai dengan pembahasan putusnya perkawinan Kajian tentang hukum perkawinan ini merujuk kepada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perkawinan seperti UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Daftar Pustaka
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), cet.ke-2. hlm. 1.
Undang-undang perkawinan nomer 1 Tahun 1974 Bab 1 Pasal 1
Hasil seminar masuknya Islam ke Indonesia yang dilaksanakan di Medan pada tahun 1963. Diinformasikan kembali oleh Endang Saifuddin Ansari, Wawasan Islam:
Pokok-pokok Pikiran tentang Islam dan Umatnya, (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), h. 253. Bandingkan dengan Hasymi (ed), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: al-Ma'arif, 1981).
Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, (Jakarta: INIS, 1998), h. 28 .
Lihat: H. Aqib , Politik Islam Hindia-Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1996), h.9-64
Ratno Lukito, Op. cit., h. 51
Ichtijanto, Op. cit., h. 128
Wahbah al-Zuhaily, al-fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, Juz VII, (Damsyiq: Dar al Fikr, 1989). h.29.
Moh. Idris Ramulyo, Op. cit.
Yahya Harahap, Op.cit
Ahmad Rafq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1998), h. 139.Abdul Aziz Dahlan, (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 3, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve), h. 1049.
Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, (Yogyakarta: LKiS, 2003), h. 111
Teks ini terjemahan Forum Kajian Kitab Kuning terhadap teks kitab 'Uqud al-Lujjain. Lihat, FK3, Wajah Baru Relasi Suami Istri: Telaah Kitab 'Uqud al-Lujjain, (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 12-13
Taqiyuddin, Kifayat al-Akhyar, Juz II, (Bandung: Al-Ma'arif, t.th.), h. 84
Abd al-Rahman al-Jaziri, Al-fiqh 'ala Mazahib al-Arba'ah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986).
Ahmad Rafq, Op. cit., h. 266
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H