NAMA Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â : Nidaa' Nurul Fajri
NIM Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â : 212121006
PRODI / KELAS Â Â Â Â : Hukum Keluarga Islam / 4A
MATA KULIAH Â Â Â Â : Hukum Perdata Islam Di Indonesia
DOSEN Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â : Muhammad Julijanto, S.Ag., M.Ag.
PENGERTIAN HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA
Hukum perdata Islam merupakan hukum privat yang mengatur mengenai kepentingan seseorang mengenai hubungan-hubungan kekeluargaan yang meliputi perkawinan dan segala macam bentuknya, perwalian, warisan, hibah, wakaf, shodaqoh, kekayaan suami istri, maupun hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan perseorangan yang dilihat dari kacamata hukum syar'i ( islam ) dan hanya mengikat bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam dan tidak berlaku bagi warga negara Indonesia yang tidak beragama Islam.
Hukum perdata Islam merupakan hukum positif yang berlaku di Indonesia yang berasal dari ajaran Islam yang bersumber dari Alquran, Hadis, ijma' ulama, dan sumber hukum lain yang diformulasikan dan di unifikasikan menjadi bentuk kompilasi yang disahkan melalui Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 yang hingga akhirnya menjadi kompilasi hukum Islam ( KHI ) di Indonesia. Selain itu hukum perdata Islam di Indonesia juga bersumber dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Serta keikutsertaan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Pengadilan Agama, yang bertanggung jawab untuk memperjuangkan dan mengembangkan hukum perdata Islam di Indonesia.
PRINSIP PERKAWINAN DALAM UU NO. 1 TAHUN 1974 DAN KHI
Prinsip perkawinan ialah asas yang mengatur mengenai perkawinan yang meliputi segala hal yang berhubungan dengan perkawinan itu sendiri sebagai perwujudan antisipasi terhadap problematika dan tuntutan zaman. Jadi prinsip perkawinan di sini mengatur bagaimana tujuan dari perkawinan itu, asas apa yang dianut dalam perkawinan, prinsip apa yang ada di dalam undang-undang perkawinan, bahkan juga mengatur mengenai hak dan kedudukan istri dalam kehidupan rumah tangga. Asas-asas yang dianut atau prinsip perkawinan yang terdapat di dalam UU Nomor 1974 dan KHI itu mengacu kepada Nash Alquran. Ada 6 asas perkawinan yang terdapat di dalam undang-undang perkawinan yang bersifat prinsipil yakni diantaranya :
- Tujuan perkawinan ialah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal oleh karenanya peran suami istri saling diperlukan untuk melengkapi masing-masing pasangannya agar dapat membentuk keluarga bahagia dan kekal.
- Dalam UU Nomor 1974 dan KHI juga dijelaskan mengenai pencatatan perkawinan karena perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku.
- Undang-undang perkawinan juga menganut asas monogami yang juga sejalan dengan penjelasan ayat 3 surat An-Nisa.
- Undang-undang perkawinan juga menganut prinsip bahwa calon suami istri harus sudah matang baik jiwa dan raganya untuk melangsungkan sebuah pernikahan dengan tujuan mewujudkan perkawinan secara baik tanpa adanya perceraian.
- Prinsip mempersulit terjadinya perceraian juga dianut dalam undang-undang perkawinan perkawinan guna membentuk keluarga yang sakinah mawadah warrahmah.
- Dalam suatu perkawinan hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang sehingga segala sesuatu yang terjadi dalam rumah tangga itu dapat dirundingkan dan diputuskan oleh kedua belah pihak.
PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN DAN DAMPAK DARI PERKAWINAN APABILA TIDAK DICATATKAN
Pencatatan perkawinan merupakan suatu hal yang penting sebab pencatatan perkawinan bertujuan untuk melindungi martabat suatu perkawinan terlebih melindungi perempuan dan anak-anak dalam kehidupan rumah tangga. Karena suatu perkawinan yang tidak dicatatkan akan berdampak buruk terutama bagi perempuan (istri) dan anak yang dilahirkan tersebut. Berikut ini merupakan dampak dari tidak dicatatkannya suatu pernikahan menurut perspektif sosiologis, religius dan yuridis.
- Dampak Sosiologis
- Dalam hal ini sangat berdampak terhadap urusan keperdataan yang menyangkut perkawinan itu. Baik menyangkut masalah keperdataan anak yang lahir dari perkawinan tersebut atau menyangkut harta / hak-hak istri dalam pernikahan tersebut. Pencatatan perkawinan secara sosilogis juga dapat digunakan sebagai bukti sosial di masyarakat bahwa adanya suatu pernikahan antara si A dan si B.
- Dampak Religius
- Secara religius perkawinan yang tidak dicatatkan berdampak terhadap sah tidaknya suatu perkawinan itu menurut undang-undang negara. Sebab di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 perihal perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam telah menetapkan bahwa suatu perkawinan dianggap tidak sah apabila perkawinan tersebut tidak dicatatkan secara legal.
- Dampak Yuridis
- Secara Yuridis perkawinan yang tidak dicatatkan berdampak terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut dan juga pihak istri. Dalam hal ini anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak memiliki kekuatan dimata hukum ( anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan ( pernikahan siri) tidak dapat dilegalisasi oleh negara ). Dan si istri juga tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak ada kejelasan status wanita tersebut baik dimata hukum maupun masyarakat.
PENDAPAT ULAMA DAN KHI MENGENAI PERKAWINAN WANITA HAMIL
Mengenai perkawinan hamil ada empat pendapat ulama mengenai perkawinan wanita hamil, yakni:
- Menurut pendapat ulama Hanafi, perkawinan nya tetap dianggap sah apabila laki-laki yang mengawini perempuan hamil itu merupakan laki-laki yang menghamili perempuan tersebut. Pembolehan ini disebabkan dengan dalih bahwa wanita yang hamil karena zina tidak termasuk dalam lingkup golongan wanita yang diharamkan untuk dinikahi, hal ini berdasarkan dalil ayat 22, 23 dan 24 Surat An-nisa.
- Menurut ulama Syafi'iyah, hukumnya tetap sah, baik menikah dengan laki-laki yang menghamilinya atau tidak dengan laki-laki yang menghamilinya. Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i berpendapat bahwa perkawinan dianggap sah selama perkawinan itu  tidak terikat dengan perkawinan orang lain. Menurut madzhab ini, wanita yang berzina tidak memiliki iddah karena jika dia menikah, maka pernikahannya tetap sah.
- Menurut ulama Malikiyah, perkawinan tersebut tidak sah kecuali jika si wanita hamil tersebut dinikahkan dengan laki-laki yang menghamilinya serta harus memenuhi syarat-syaratnya yakni harus bertaubat terlebih dahulu.
- Menurut ulama Hanabilah, tidak diperbolehkan secara mutlak untuk menikahi wanita yang diketahui berzina, baik dengan  pria yang tidak berzina dengannya, apalagi dengan pria yang berzina dengannya. Kecuali jika wanita tersebut sudah memenuhi dua syarat, yaitu dengan menyelesaikan masa iddahnya dan bertaubat. Dan jika perkawinan itu tetap dilangsungkan dalam keadaan hamil, maka akad itu dianggap fasid dan wajib di fasakh.
Selain itu didalam KHI juga dijelaskan mengenai perkawinan wanita hamil yang tertera didalam Pasal 53. Yang dijelakan bahwa seseorang wanita yang hamil diluar nikah dapat dinikahkan dengan laki-laki yang menghamilinya. Perkawinan tersebut dapat dilakukan sebelum anak yang dikandung lahir didunia. Dengan begitu, tidak diperlukannya perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir kedunia. Maksud dari diperbolehkan perkawinan wanita hamil menurut KHI yakni ialah untuk menutupi aib, baik aib anak yang dikandung maupun aib orang tua si anak tersebut.
CARA UNTUK MENGHINDARI TERJADINYA PERCERAIAN
Untuk mencegah atau menghindari terjadinya suatu perceraian di dalam rumah tangga maka kita dapat melakukan hal-hal berikut :
- Selalu berusaha menjaga komunikasi yang baik dengan pasangan, baik secara langsung maupun melalui media sosial.
- Selalu menghargai pasangan dan memperlakukannya dengan baik.
- Jika ada masalah maka selesaikan dengan baik, dan hindari kekerasan dalam sebuah hubungan.
- Hindari untuk bersikap egois.
- Usahakan untuk selalu menjaga komitmen dan jujur terhadap pasangan, jika terjadi kesalahan maka perbaiki kesalahan itu dengan jujur dan tulus.
- Selalu berdoa dan berserah diri kepada Allah.
BOOK REVIEW
Buku tulisan Dr. H. Imron Rosyadi, S.H., M.H yang berjudul  Rekontruksi Epistemologi Hukum Keluarga Islam mendeskripsikan secara lengkap mengenai permasalahan hukum perdata islam yang ada di Indonesia. Buku ini fokus membahas hukum perdata islam yang ada di Indonesia di bidang perkawinan, perceraian, pencatatan nikah sampai dengan pembagian waris.
Buku ini terdiri dari 314 halaman yang mencakup 12 pembahasan. Pada pembahasan pertama membahas mengenai dinamika hukum keluarga islam di nusantara, bagian kedua menjelaskan mengenai pencatatan perkawinan, hingga bagian ke dua belas membahas mengenai hukum kewarisan. Pada pembahasan pertama dijelaskan mengenai tiga teori mengenai Islam pertama kali masuk ke wilayah nusantara, asas-asas perkawinan, dll. Pembahasan kedua membahas mengenai pencatatan perkawinan, hingga pembahasan kedua belas membahas mengenai kewarisan.
Buku ini juga membahas mengenai hukum perkawinan yang tidak dicatatkan. Di mata hukum perkawinan Yang Tidak dicatatkan Dianggap tidak pernah ada. Secara sosial, perkawinan yang tidak dicatatkan seringkali membawa berbagai dampak seperti penelantaran anak dan terjadinya KDRT. Selain itu didalam masalah perkawinan juga dikenal perkawinan LGBT. Berita perkawinan LGBT dari waktu ke waktu selalu menarik perhatian masyarakat. Dalam hal ini ulama sepakat untuk mengharamkan homoseksual dan menggolongkannya kepada perbuatan keji yang menimbulkan dampak kerusakan sosial terutama moral. Karena pada hakikatnya Perkawinan LGBT adalah perkawinan sejenis antara laki-laki dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan. Namun sebagian orang mengaitkan perkawinan ini dengan hak asasi manusia yang memberi jaminan setiap orang untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan.
Kesimpulan dari materi di atas yakni hukum perdata Islam khususnya hukum keluarga merupakan hukum yang mengatur hubungan yang timbul dari hubungan kekeluargaan. Dalam Islam hubungan antara keluarga menempati kedudukan yang penting dan merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan. Buku dengan judul Rekontruksi Epistemologi Hukum Keluarga Islam ini memiliki beberapa kelebihan yakni diantaranya adalah penggunaan bahasa yang mudah dipahami dan dicantumkan pula berbagai  sudut pandang yang membahas di setiap permasalahan, mulai dari sudut pandang orde lama, orde baru, kompilasi hukum islam, perspektif Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan lain sebagainya.
Selain itu buku ini juga memiliki beberapa kekurangan diantaranya yakni, pembahasannya terkesan seperti diulang-ulang sehinga terkesan monoton. Ada juga beberapa pembahasan yang terlihat menggantung dan tidak relevan antara masalah, jawaban dan hukum al-qur'annya, sehingga penulis mengira diperlukannya reinterprestasi pembaharuan peraturan hukum yang sesuai dengan permasalahan yang terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H