"Yo, ini rokoknya gimana? Buat gue aja, ya?" usul Beni.
"Jangan! Kita jual lagi ke Bang Bejo. Trus uangnya kirim ke Rohis buat disedekahin. Kalo buat Loe nanti diisep, yang ada bikin batuk. Sama aja gue nyakitin Loe," terang Ryo. Kedua temannya mengangguk setuju.
"Yo, Loe kenapa sih kagak jadi orang bener aja? Kenapa mesti jadi ketua geng dan malakin rokok orang terus?" Beni mulai protes dan bertanya-tanya.
"Ryo tuh absurd. Gak jelas. Aneh. Labil," sahut Toni menyebutkan sifat-sifat Ryo.
Saat mereka berdua asyik membicarakan dirinya, perhatian Ryo teralihkan dengan sebuah suara tangis perempuan. Ia pun berdiri dan mencoba mencari sumber suara tersebut dengan berkeliling.
"Loe ngapain, Yo? Mau latihan thawaf? Emang Loe mau umroh?" Beni yang hobi bertanya mulai terusik dengan sikap Ryo yang tiba-tiba.
"Loe pada denger suara, enggak?" tanya Ryo.
"Suara paan, Yo?" Toni mengerutkan dahinya dan mencoba untuk mendengarkan.
"Kuping Loe bermasalah kali, Yo. Loe sakit ya? Butuh bantuan dokter?" Toni menyikut perut Beni yang selalu bertanya.
"Ah, elah. Iya apa ya. Gue denger jelas banget tadi ada suara cewe nangis. Emang Loe pada gak denger?" Keduanya menggeleng dengan mantap.
Ryo pun bertanya-tanya. Namun, ia tidak memikirkan lebih jauh. Karena Toni tiba-tiba menyerahkan gawainya pada Ryo.