Kelajuan tinggi pembentukan fakultas-fakultas kedokteran baru di Indonesia dapat menjadi tanda bahwa mungkin ada masalah besar yang sedang terjadi. Salah satu hal yang mungkin menjadi alasan fenomena ini terjadi adalah ketidakmerataan distribusi dokter. Sebagai gambaran, hanya ada 123 dokter di provinsi Sulawesi Barat di saat ada 17.002 dokter berada hanya di provinsi Jawa Barat saja. Pemerintah daerah ditengarai banyak yang kesulitan dalam mengadakan tenaga kesehatan di daerahnya. Hal ini membuat beberapa daerah tidak ragu untuk memaksakan berdirinya fakultas kedokteran di daerahnya.
Masalah distribusi tampak semakin jelas jika kita melihat rasio dokter yang ada di Indonesia. Hingga setidaknya pada September 2017, rasio dokter di Indonesia sudah mencapai 1:2.100, telah melampaui batas ideal 1:2.500. Namun, perlu diperhatikan pula bahwa hanya 10-11 provinsi yang memiliki rasio dokter mencapai 1:2.500.
Tuduhan kemudian mengarah kepada dokter. Dokter dikatakan enggan untuk mengabdi di daerah dengan alasan beragam. Beberapa di antara alasan tersebut adalah biaya pendidikan yang terlanjur mahal, serta masa dan beban studi yang tinggi. Namun, di sisi lain, banyak pihak juga melihat bahwa penghargaan pemerintah daerah terhadap dokter yang melayani di daerahnya kurang. Akhirnya, muncul keengganan untuk mengabdi di daerah-daerah.
Solusi yang (semoga) menyelesaikan permasalahan sebenarnya
Permasalahan yang dihadapi Indonesia bukanlah jumlah dokter, melainkan distribusinya. Mahasiswa kedokteran Indonesia dapat mendorong terciptanya sistem distribusi dokter yang baik. Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS), sebuah program yang mengharuskan dokter spesialis yang baru lulus agar wajib bekerja selama jangka waktu 1-2 tahun di daerah tertentu, dapat dipandang sebagai salah satu cara yang cukup efektif untuk meratakan distribusi dokter, walaupun dokter yang bersangkutan hanya ditempatkan sebentar di daerah tempatnya bertugas. Hal yang sama dapat diterapkan untuk dokter umum lulusan baru.
Satu lagi yang kurang disorot—kerendahhatian
Selain melakukan dorongan terhadap terciptanya sistem tersebut, pada setiap mahasiswa kedokteran juga perlu tumbuh kesadaran untuk mengabdi. Salah satu hal yang mungkin menjadi penyebab masih bermasalahnya distribusi dokter hingga saat ini adalah keengganan dokter untuk mengabdi di daerah-daerah dengan beragam alasan, seperti keluarga, biaya dan beban studi yang terlanjur tinggi, serta karir. Salah satu hal yang juga mungkin menjadi penyebab munculnya keengganan adalah rasa ingin dihargai lebih oleh pemerintah daerah, seperti yang sudah disebutkan. Kerendahhatian perlu ditanamkan pada jiwa setiap dokter agar memiliki kemauan dan keikhlasan untuk mengabdi.
Kerendahhatian bukan berarti setiap calon dokter harus menurunkan hidupnya ke standar terendah. Setiap calon dokter (dan juga dokter) perlu memiliki kesadaran bahwa dirinya dilahirkan untuk menjadi abdi bangsa, dan dididik dengan waktu yang tidak sebentar untuk menjadi pelayan masyarakat.
Lantas, mengapa mahasiswa kedokteran (atau calon dokter)? Ya jelas, karena masa depan dunia kesehatan Indonesia ada di tangan (salah satunya) para calon dokter.
Pembatalan moratorium mungkin menambah jumlah dokter, namun apakah akan menambah jumlah dokter yang mau mengabdi di daerah terpencil?
Moratorium perlu dikembalikan, pendidikan dan distribusi dokter mesti diperbaiki, dan kerendahhatian harus ditanamkan.