Mari bertanya. Apakah pencabutan moratorium fakultas kedokteran merupakan "solusi salah masalah"?
Pernah dengar kata moratorium? Sebagian dari kita mungkin masih merasa asing dengan kata ini karena frekuensi penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari memang tidak terlalu tinggi (alias, tidak sering). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Kelima tahun 2016, salah satu arti kata ”moratorium” adalah “penundaan; penangguhan.”Jadi, moratorium fakultas kedokteran adalah penangguhan pendirian fakultas kedokteran baru.
Kelajuan pendirian fakultas kedokteran baru di Indonesia barangkali dapat dikatakan terlampau cepat. Dalam jangka waktu antara 2008 dan 2010, terdapat 20 fakultas kedokteran baru yang berdiri, di mana pada 2008 terdapat “hanya” 52 fakultas dan menjadi 72 fakultas pada 2010. Kelajuan yang cepat ini tidak diimbangi dengan kualitas pendidikan kualitas fakultas kedokteran, baik yang baru didirikan maupun yang sudah ada. Sebagai gambaran, pada tahun 2009, berdasarkan data Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) dari 69 fakultas kedokteran yang ada, 27 fakultas di antaranya belum terakreditasi, sedangkan 10 lainnya terakreditasi C, 18 terakreditasi B, dan “hanya” 16 terakreditasi A.
Pemerintah setidaknya telah melakukan dua kali moratorium pendirian fakultas kedokteran baru, yaitu pada 2010 dan terakhir—yang akan lebih dibahas—pada Juni 2016. Setelah desakan dari berbagai pihak, seperti Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia (ISMKI), Kemenristekdikti akhirnya memberlakukan moratorium fakultas kedokteran baru melalui surat edaran tertanggal 14 Juni 2016.
Ada beberapa hal yang mendorong institusi seperti KKI, ISMKI, serta Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mendukung diberlakukannya moratorium pendirian fakultas kedokteran baru. Tingkat kelulusan mahasiswa kedokteran dalam Ujian Kompetensi Mahasiswa Peserta Pendidikan Dokter (UKMPPD) dapat dikatakan masih sedikit, dengan 30% pesertanya masih harus mengulang ujian.
Surat edaran moratorium fakultas kedokteran yang terbit 14 Juni 2016 tersebut memuat 3 poin, yaitu evaluasi penyelenggaraan dan kualitas lulusan FK yang telah ada, penghentian sementara pengajuan FK sampai terdapat perbaikan mutu yang signifikan, dan pengecualian pembukaan FK baru jika terdapat wilayah yang memerlukan pemenuhan kebutuhan tenaga dokter.
Dicabut
Pada September 2017, dunia kedokteran kemudian dikejutkan dengan pembukaan kembali pengusulan progam studi kedokteran. Dengan kata lain, moratorium yang ditetapkan Juni 2016 dicabut. Kemenristekdikti mengatakan bahwa pembukaan kembali dilakukan karena beberapa daerah masih kekurangan tenaga dokter. Kemenristekdikti menyatakan bahwa prodi kedokteran akan diberikan kepada daerah yang belum memiliki prodi kedokteran, seperti Provinsi Banten dan Provinsi Gorontalo. Alasan lain yang digunakan untuk memvalidasi pencabutan moratorium adalah memenuhi Sustainable Development Goals(SDGs) untuk mencapai masyarakat sehat dan memiliki akses pada layanan kesehatan.
Pencabutan moratorium ini kemudian menuai kritik dari banyak pihak. Dari sisi pemangku kepentingan seperti KKI, ISMKI, IDI, serta asosiasi-asosiasi pendidikan kedokteran dan kedokteran gigi, kritik didasarkan atas fakta bahwa selama moratorium berjalan setahun lebih, belum ada perbaikan signifikan terhadap kualitas pendidikan dokter, terutama fakultas-fakultas yang masih memiliki akreditasi C.
Dari sisi masyarakat awam, ketakutan muncul karena pendirian fakultas-fakultas kedokteran baru tanpa memerhatikan kualitas pendidikan dikhawatirkan dapat menghasilkan dokter dengan kualitas kurang baik. Bukan tidak mungkin di masa depan kepercayaan masyarakat terhadap dokter semakin menurun akibat kasus-kasus seperti malapraktik dan salah diagnosis, dua kasus yang seharusnya dapat dicegah melalui pendidikan dokter dengan kualitas baik dan terjaga. Pemerintah diharapkan mampu menyebar lembaga pendidikan kedokteran yang memenuhi standar sekaligus memperbanyak jumlah dokter lulusan yang kompeten.
Sebenarnya, apa masalahnya?
Kelajuan tinggi pembentukan fakultas-fakultas kedokteran baru di Indonesia dapat menjadi tanda bahwa mungkin ada masalah besar yang sedang terjadi. Salah satu hal yang mungkin menjadi alasan fenomena ini terjadi adalah ketidakmerataan distribusi dokter. Sebagai gambaran, hanya ada 123 dokter di provinsi Sulawesi Barat di saat ada 17.002 dokter berada hanya di provinsi Jawa Barat saja. Pemerintah daerah ditengarai banyak yang kesulitan dalam mengadakan tenaga kesehatan di daerahnya. Hal ini membuat beberapa daerah tidak ragu untuk memaksakan berdirinya fakultas kedokteran di daerahnya.
Masalah distribusi tampak semakin jelas jika kita melihat rasio dokter yang ada di Indonesia. Hingga setidaknya pada September 2017, rasio dokter di Indonesia sudah mencapai 1:2.100, telah melampaui batas ideal 1:2.500. Namun, perlu diperhatikan pula bahwa hanya 10-11 provinsi yang memiliki rasio dokter mencapai 1:2.500.
Tuduhan kemudian mengarah kepada dokter. Dokter dikatakan enggan untuk mengabdi di daerah dengan alasan beragam. Beberapa di antara alasan tersebut adalah biaya pendidikan yang terlanjur mahal, serta masa dan beban studi yang tinggi. Namun, di sisi lain, banyak pihak juga melihat bahwa penghargaan pemerintah daerah terhadap dokter yang melayani di daerahnya kurang. Akhirnya, muncul keengganan untuk mengabdi di daerah-daerah.
Solusi yang (semoga) menyelesaikan permasalahan sebenarnya
Permasalahan yang dihadapi Indonesia bukanlah jumlah dokter, melainkan distribusinya. Mahasiswa kedokteran Indonesia dapat mendorong terciptanya sistem distribusi dokter yang baik. Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS), sebuah program yang mengharuskan dokter spesialis yang baru lulus agar wajib bekerja selama jangka waktu 1-2 tahun di daerah tertentu, dapat dipandang sebagai salah satu cara yang cukup efektif untuk meratakan distribusi dokter, walaupun dokter yang bersangkutan hanya ditempatkan sebentar di daerah tempatnya bertugas. Hal yang sama dapat diterapkan untuk dokter umum lulusan baru.
Satu lagi yang kurang disorot—kerendahhatian
Selain melakukan dorongan terhadap terciptanya sistem tersebut, pada setiap mahasiswa kedokteran juga perlu tumbuh kesadaran untuk mengabdi. Salah satu hal yang mungkin menjadi penyebab masih bermasalahnya distribusi dokter hingga saat ini adalah keengganan dokter untuk mengabdi di daerah-daerah dengan beragam alasan, seperti keluarga, biaya dan beban studi yang terlanjur tinggi, serta karir. Salah satu hal yang juga mungkin menjadi penyebab munculnya keengganan adalah rasa ingin dihargai lebih oleh pemerintah daerah, seperti yang sudah disebutkan. Kerendahhatian perlu ditanamkan pada jiwa setiap dokter agar memiliki kemauan dan keikhlasan untuk mengabdi.
Kerendahhatian bukan berarti setiap calon dokter harus menurunkan hidupnya ke standar terendah. Setiap calon dokter (dan juga dokter) perlu memiliki kesadaran bahwa dirinya dilahirkan untuk menjadi abdi bangsa, dan dididik dengan waktu yang tidak sebentar untuk menjadi pelayan masyarakat.
Lantas, mengapa mahasiswa kedokteran (atau calon dokter)? Ya jelas, karena masa depan dunia kesehatan Indonesia ada di tangan (salah satunya) para calon dokter.
Pembatalan moratorium mungkin menambah jumlah dokter, namun apakah akan menambah jumlah dokter yang mau mengabdi di daerah terpencil?
Moratorium perlu dikembalikan, pendidikan dan distribusi dokter mesti diperbaiki, dan kerendahhatian harus ditanamkan.
Hiduplah Indonesia sehat!
Referensi
Moratorium FK baru diberlakukan
Pengusulan Prodi Kedokteran Dibuka Kembali Sampai Pertengahan September 2017
Mutu Pendidikan Dokter Belum Rata
Kompas edisi 20 Juni 2016. Artikel “Moratorium FK Baru Diberlakukan”.
Kompas edisi 7 September 2017. Artikel "Moratorium Pendidikan Kedokteran"
Kompas edisi 7 September 2017. Artikel "Moratorium Dicabut, Mutu Dipertaruhkan"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H