Mohon tunggu...
Nico Erdi Purwanto
Nico Erdi Purwanto Mohon Tunggu... Penjelajah -

Ecclesia et Patria - Ora et Labora ||| Ikuti saya di Instagram melalui akun @nicopurwanto

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Akhir Kisah Ajax nan Romantis: Dramatis Sekaligus Tragis

9 Mei 2019   13:30 Diperbarui: 10 Mei 2019   09:54 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya bukanlah fan Ajax Amsterdam. Tapi, entah mengapa saya juga ikut sedih dan kecewa berat ketika Ajax gagal melangkah ke final Liga Champions 2018/2019, setelah kalah 2-3 dari Tottenham Hotspur di Johan Cruyff Arena, Amsterdam, pada Kamis (9/5/2019) dini hari WIB tadi.

Dalam leg kedua semifinal Liga Champions 2018/19 tersebut, Ajax nyaris masuk final, hanya tinggal sepersekian detik saja jaraknya, ketika sampai menit 90+4 (atau 90+5, menurut beberapa sumber dan klaim Matthijs de Ligt, gol terlewat 5 detik dari waktu tambahan) masih imbang 2-2 sehingga agregat menjadi 3-2 untuk kemenangan wakil Belanda itu atas wakil Inggris. Seperti diketahui, di leg pertama Ajax berhasil mengalahkan Spurs di kandangnya sendiri, lewat gol tunggal Donny van de Beek.

Namun, dramatis sekaligus tragis, Tottenham berhasil membalikkan keadaan, mulai dari pembalasan atas ketertinggalan di leg pertama, kemudian pembalasan atas ketertinggalan di laga leg kedua ini.

Laga baru saja berjalan, kapten Matthijs de Ligt mencetak gol di menit ke-5, yang seolah mempertegas kepada Spurs bahwa tim yang dipimpinnya itu sangat layak masuk final Liga Champions untuk menantang Liverpool yang telah masuk final terlebih dahulu dengan mengalahkan Barcelona, dengan cara yang dramatis.

Agregat sudah melebar menjadi 2-0 untuk kemenangan De Godenzonen. Tapi, bagi Hakim Ziyech hal tersebut belumlah cukup, sekaligus ia ingin membuat namanya masuk buku sejarah yang akan terus dikenang apabila nantinya timnya masuk final dan juara, dengan cara mencetak gol kedua Ajax ke gawang kawalan Hugo Lloris. Agregat makin melebar: 3-0!

Tamat bagi Mauricio Pochettino, selesai sudah bagi Spurs! Tunggu dulu, bukankah kemarin Liverpool yang di leg pertama tertinggal 0-3 tapi bisa membalikkan keadaan dengan membantai Barcelona empat gol tanpa balas di leg kedua? Jika Juergen Klopp bisa, mengapa seorang Mauricio Pochettino dan Tottenham Hotspur tidak mencoba seperti itu saja? Sedikit menebak, begitulah yang dipikirkan oleh manajer The Lilywhites.

Terinspirasi Liverpool yang comeback atas Barcelona, juga terinspirasi Ajax itu sendiri. Ajax? Ya, selain Liverpool yang membalikkan keadaan dari tertinggal 0-3 dari Barca di leg pertama --yang dianggap nyaris mustahil-- kemudian malah menjadi menang menjadi agregat 4-3 di leg kedua, Ajax juga dikenal spesial soal membalikkan keadaan, bahkan bisa dibilang juga tim pembunuh raksasa.

Mari sedikit mundur.  Di babak 16 besar, Ajax mendapat undian yang dirasa kurang beruntung: bertemu Real Madrid, sang juara bertahan dan satu-satunya tim yang bisa menjuarai kompetisi ini 3 kali berturut-turut yakni pada musim 2015/16, 2016/17, 2017/18.

Leg pertama dilaksanakan di Amsterdam. Hasilnya minor bagi tim asuhan Erik ten Hag, mereka berhasil digembosi 1-2. Di leg kedua, keajaiban terjadi. Di Madrid, gantian Ajax menjungkalkan Los Blancos. Tak tanggung-tanggung, skor 4-1 dengan jelas terpampang di papan skor Santiago Bernabeu untuk tim tamu. Ajax lolos dengan penuh kejutan.

Meski mengejutkan, sebagian lain mencibir: Ah, itu kan karena performa Madrid memang menurun, plus tanpa Cristiano Ronaldo, Madrid bisa apa? Mungkin begitu. Tetapi, kemudian di perempat final, Ajax berhadapan dengan Juventus, juga salah satu calon kuat juara di kompetisi ini. Dengan menjadi juara Serie beberapa musim terakhir, plus dengan adanya sang megabintang Cristiano Ronaldo, peluang Ajax lebih tipis untuk mengalahkan La Vecchia Signora, dibanding mengalahkan Real Madrid sebelumnya.

Di leg pertama yang dimainkan di Johan Cruyff Arena, Ajax tidak bisa memaksimalkan keuntungan sebagai tuan rumah dan hanya mampu bermain imbang 1-1. Berbekal optimisme, daya juang, dan hasil pada fase sebelumnya saat menyingkirkan Madrid, Ajax berambisi mengulanginya lagi. Benar saja, di leg kedua, pasukan anak muda Erik ten Hag tersebut berhasil mengalahkan juara Italia 7 musim terakhir tersebut dengan skor 2-1 di hadapan publik Allianz Stadium untuk memastikan ke semifinal. Lagi-lagi terulang, membalikkan keadaan di leg kedua di kandang lawan.

Masuk semifinal adalah sebuah kejutan bagi De Godenzonen, terlebih lagi mayoritas skuatnya adalah pemain muda. Dipertemukan dengan Tottenham Hotspur, secara kualitas skuatnya masih kalah dibanding tim asal Inggris tersebut. Lagi-lagi, Ajax bukan unggulan. Namun, kejutan kembali terjadi. Di stadion baru Tottenham, Donny van de Beek menjadi penegas bahwa Ajax spesialis menang di kandang lawan lewat golnya.

Dengan optimisme tinggi, tiket final siap diamankan melalui leg kedua, yang dilangsungkan di markas sendiri dengan keuntungan didukung puluhan ribu suporter fanatiknya. Dramatis, sekaligus miris! Begitu yang terjadi selanjutnya di leg kedua. Tidak perlu saya tuliskan kembali, cukup baca alinea-alinea awal tulisan ini, semua sudah tergambarkan. Bahkan kalau mau, akan saya tambahkan: dramatis, penuh magis, miris, plus tragis, semuanya sudah membuat pemain, pelatih, dan para fan Ajax, bahkan Anda sekalipun: menangis!

Tidak perlu seorang Harry Kane --yang sedang absen karena cedera-- untuk menghancurkan rangkaian dongeng indah Ajax. Hanya cukup satu orang pemain 'buangan', untuk melaksanakan misi penghancuran tersebut.

Adalah Lucas Moura, pemain yang tersia-sia di Paris Saint Germain (PSG), yang menjadi mimpi buruk Ajax, dengan tiga golnya ke gawang Andre Onana. Yang paling menyakitkan tentu gol ketiganya di menit 90+5, ketika semua pendukung Ajax sudah bergembira dengan menggemuruhi stadion, ketika raut-raut muka semringah tengah menghiasi wajah Frenkie de Jong dan kawan-kawan.

Hanya sepersekian detik dari final.... Tapi gol ketiga Lucas Moura merobek-robek tiket indah itu. Perjuangan di 90 menit laga itu seolah tidak ada artinya, yang sebenarnya penampilan Ajax menurun di babak kedua. Perjuangan dan kemenangan di leg pertama pun tidak berarti apa-apa. Skor leg kedua menjadi 2-3 untuk kekalahan Ajax, dengan demikian agregat menjadi 3-3. Ajax hancur karena kalah gol tandang.

Setelah sebelumnya selalu comeback dramatis, kini Ajax sendiri yang harus mengalaminya. Mungkin, kini Erik ten Hag mulai memahami perasaan Massimiliano Allegri, mungkin Matthijs de Ligt kini mulai memahami apa yang dirasakan Sergio Ramos.

Demikianlah akhir dari sebuah kisah dongeng Ajax yang romantis: dramatis, sekaligus tragis....

_________________

Instagram: @nicopurwanto

Twitter: @nicoerdi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun