Sudah minggu ke-12 tayang di LineTV dan live streaming youtube GMMTV, 2 gether series mampu menyita perhatian jutaan orang. Bagaimana tidak, setiap jumat malam series ini menjadi trending di Thailand dan bahkan trending worldwide di Twitter. Karakter Tine yang diperankan Metawin dan karakter Sarawat yang diperankan Bright menjadi perpaduan yang selaras.
Jujur saja, menurutku tidak ada konsep pasangan lelaki sesama lelaki yang ideal sebenarnya. Tetapi, aku ingi mengambil kesempatan diri untuk mengidealkan pilihan pribadiku, dan itu adalah Tine dan Sarawat.
 Boleh setuju atau tidak setuju, Tine dan Sarawat sukses membawa dan memenangkan suasana Boys Love dunia yang saat ini pula mulai sering dibincangkan di Indonesia. Series 2gether juga membawa banyak pelajaran soal gender dibaliknya, (baca juga)
Netizen Indonesia menjadi heboh karena diantara penikmat BL series yang menyerang akun instagram Gigie (pemeran Pam di series itu) dengan sebutan "Pelakor", pasalnya peran Pam menjadi masa lalu Sarawat yang kemudian membuat Tine terluka.Â
Tine, tentu saja sudah menjadi bagian dari hidup Sarawat. Perhatian pada 1 atau 10 netizen yang tidak bijak menggunakan sosial media, tidak wajar rasanya menjadi generalisasi bagi penikmat BL, bukan?
Pecinta BL, aku yakini memiliki perspektif dan keluwesan pikir saat menonton same-sex couple. Tidak dibenarkan adanya judgement, tidak dibenarkan adanya kata "Pelakor" juga.Â
Pelakor yang dikatakan adalah singkatan perebut laki orang, itu tentu merendahkan derajat kemanusiaan seseorang ya stigma itu. Bagi penikmat BL sepertiku, jujur saja drama itu kadang terbawa (rasanya ini seperti realita), namun tentu memiliki ruang dan batas tertentu.
Boys Love adalah realita, itu yang aku maksud pada drama yang kadang terbawa realita. Seperti yang disebutkan Sartre dan Merleau-Ponty, bahwa "sexuality is coexistensive with existence", yang artinya seksualitas selalu berdampingan dengan eksistensi.Â
Pada kesalahan kita, acapkali seksualitas diartikan sebagai alat genital (kelamin). Padahal sungguh berbeda, Freud menyebutkan seksualitas adalah kecerdasan intrinsik bagi pelepasan genital. Artinya, alat kelamin itu sendiri tidak sama dengan narasi seksualitas. Ini boleh memunculkan perdebatan.
Mari melihat perspektif Jrgen Habermas, yang ingin agar suatu teori tidak hanya sekadar menjelaskan hal-ikhwal sedemikian rupa. Juga, menurut Habermas, seorang teoritis seharusnya tidak sekadar merenung di perpustakaan lalu memberi saran penyelesaian masalah lewat publikasi tulisan. Hal terpenting yang luput dari cara seperti itu, menurut dia, adalah sisi praxis kehidupan.
Aku menerjemahkan praxis kehidupan yang dimaksud Habermas lebih menyinggung pola masyarakat kita yang sarat dengan heteronormativitas, dan penolakan pada seksualitas diluarnya. "Love is love, love has no gender", Â narasi ini dianggap mengancam bagi heteronormativitas. Bagi aku, love has no gender itu adalah praxis kehidupan yang ditawarkan oleh Habermas.Â
Pola heteronormativitas seiring dengan dengan rasionalitas bertujuan, yang menurut  Habermas "ilmu pengetahuan beserta teori-teorinya sudah terlanjur berada di menara gading dan ketika dilibatkan dalam praktik kehidupan sehari-hari, manusia malah terkurung oleh belitan rasionalitas yang menjadi landasan teori-teori tersebut.Â
Mereka dibius oleh sebuah daya yang menempatkan tujuan di atas segala-galanya dan dibikin percaya bahwa yang mesti diusahakan adalah sarana dan cara mencapai yang seampuh-ampuhnya."
Mari lebih lanjut melihat sisi lain, dimana Habermas sendiri mengidealkan suatu kondisi di mana manusia tak saling sikut dan gencet demi kepentingan dan tujuan instrumental masing-masing. Dia membayangkan masyarakat komunikatif, yang menjadi tempat perbedaan kepentingan dibicarakan lewat cara-cara yang elegan dan tak menutup ruang gerak masing-masing pihak.
 Itu semua bisa berlangsung di ruang publik yang terbuka dan steril dari tekanan ideologi yang hanya meniupkan angin surga. Kepentingan heteronormativitas, tidak jauh lebih penting dari kepentingan ruang hidup bagi seksualitas lainnya. Aku rasa pemikiran Habermas perlu dihadirkan dalam ruang perdebatan mengenai seksualitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H