Mohon tunggu...
Nikodemus Niko
Nikodemus Niko Mohon Tunggu... Ilmuwan - Peneliti

Saya hanya seorang penulis lepas, hidup di jalanan berbatu dan mati di atas rindu yang berserak.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

"Petaka-petaka" Akhir-akhir Ini di Tanah Air

19 September 2019   10:28 Diperbarui: 20 September 2019   14:20 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kulihat ibu pertiwi l sedang bersusah hati l air matanya berlinang l emas intan nya terkenang,
Hutan, gunung, sawah, lautan l simpanan kekayaan l kini ibu sedang lara l merintih dan berdoa,

Kulihat ibu pertiwi l Kami datang berbakti l Lihatlah putra-putrimu l Menggembirakan ibu  
Ibu kami tetap cinta l Putramu yang setia l Menjaga harta pusaka l Untuk nusa dan bangsa --(Lagu Cipt. Ismail Marzuki)

Ibu pertiwi saat ini sedang di rundung duka berkepanjangan. Aku menulis ini sembari meresapi lagu diatas, dengan penuh linang air mata. Melihat situasi tanah air yang tidak kondusif hari ini, mampukah aku selalu menjaga ibu pertiwi? 

Kesedihan, kemarahan, geram, cemas, menjadi satu dalam pelukan duka. Hari ini, ya, hingga hari ini banyak hal yang menjadi duka kita bersama.

1. Revisi UU KPK

Apa yang kita harapkan untuk menciptakan keadilan dan tanah air bebas dari bandit koruptor? Adanya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) adalah kerinduan dan perjuangan bersama rakyat untuk meraih Indonesia tanpa korupsi. 

Adanya revisi UU KPK ini menjadi celah masuk bagi kepentingan-kepentingan kotor dalam meringankan penjahat uang rakyat dari jeratan hukum. Persetujuan presiden untuk ketok palu revisi UU KPK adalah duka mendalam kita. KPK dengan mudah saja bisa dipadamkan oleh siapa saja yang berkepentingan dan kotor.

2. RKUHP (akan) di-sah-kan

Bagaimana kita bernafas lega, menghirup udara segar di bumi pertiwi? RKUHP yang disahkan mengurusi hak-hak privat kita, yang di kekang dan dicampuri negara. Gelandangan dan pengemis dijalanan akan dikriminalisasi dengan mudah, diintimidasi dengan sangat mudah. 

Tanpa komromi, dengan mudah saja anggota dewan yang katanya mewakili rakyat, ketok palu atas pasal-pasal yang gampang dipolitisir. Ini bencana, kita akan balik ke masa kelam Indonesia di masa orba. Bukan tidak mungkin hak-hak privat kita dikebiri oleh RKUHP ini.

3. Pelambatan Pengesahan RUU PKS

SIAL. Aku marah, mengumpat, dan menangis. Marah dengan sikap wakil rakyat yang bertele-tele mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. 

Mengumpat karena tidak bisa berbuat banyak untuk perjuangin. Menangis untuk semua korban kekerasan seksual, termasuk sahabatku yang harus operasi dan kesakita karena mengalami perkosaan di Bandung. 

Perih hati ini, sampai menunggu berapa korban lagi? Korban-korban yang tidak tercatat, ketakutan, dan ini menyakitkan hati. Penundaan pengesahan RUU PKS adalah bencana berantai yang akan terjadi pada tiap manusia-manusia rentan; perempuan dan anak dan other seksualitas dan gender. Anggota dewan yang terhormat sama sekali tidak memiliki nurani jika penundaan pengesahan RUU ini.

4. Asap Berkepanjangan di Kalimantan dan Riau

Aku menangis di kamar sunyi, meringis perih hati. Keluargaku di Kalimantan Barat, bagaimana kabarnya? Asap dan kebakaran hutan terus-terus dan terus terjadi. Sehatkah mereka? 

Pun untuk keluarga di Kalimantan Tengan dan Riau, bagaimana kabar mereka? Sosial media bertebaran kabar yang mengkhawatirkan tentang kebakaran hutan dan bencana asap. 

Bukan saja media sosial, pun nyatanya demikian, koran nasional, koran daerah pun mengabarkan demikian. Oh, Tuhan, bumi kalimantan kami terbakar dan penuh asap. 

Jerat para perambah hutan dan membakar seenak nya. Bisnis berkepanjangan dan bukan tidak mungkin akan membunuh manusia, hewan dan tumbuhan atas buasnya perusahaan-perusahaan kapitalis. Usir mereka dari Kalimantan, jika bisa, mohon, usir mereka. Jangan biarkan mereka tiap tahun menikmati derita masyarakat kami.

Mari tundukkan kepala, berdoa dan bersujud kepada alam semesta, semoga selalu baik-baik saja, walau kita tahu sendiri ibu pertiwi sedang tak baik-baik saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun