Mohon tunggu...
Nikodemus Niko
Nikodemus Niko Mohon Tunggu... Ilmuwan - Peneliti

Saya hanya seorang penulis lepas, hidup di jalanan berbatu dan mati di atas rindu yang berserak.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Agama Pohon, Ide Sosiologis Hentikan Penebangan Pohon

27 Maret 2019   00:05 Diperbarui: 27 Maret 2019   00:26 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada kalangan feminis yang berkonsen pada penyelamatan lingkungan, tidak asing dengan nama Vandana Shiva. Karya-karyanya sangat termasyhur. Saya teringat cerita Shiva mengenai aksi perempuan di India. Mereka memeluk pohon sebagai bentuk protes atas pembabatan (pembunuhan) liar terhadap pohon-pohon. Di India, pohon  merupakan sumber hidup bagi perempuan di wilayah pedesaan.

Pada cerita Shiva, menarik untuk di gali kembali esensi kerusakan yang sudah sangat parah terjadi terhadap hutan. Pandangan bahwa perempuan merupakan bagian dari alam tumbuh serta tergambar pada beberapa literatur karya-karya Shiva. Berarti bahwa perempuan berkontribusi terhadap keberlangsungan hidup pohon-pohon yang merupakan asal muasal adanya kertas-kertas.

Tidak hanya terjadi di India, hari ini, di Indonesia pun terjadi perusakan hutan secara besar-besaran dengan dalih untuk kesejahteraan masyarakat. Terlebih lagi perusakan secara terbuka di dukung oleh negara. Hal ini terbukti atas izin-izin ekspansi lahan besar-besaran yang di legalkan oleh negara. Artinya adalah negara turut andil dalam mengacaukan ketidakseimbangan alam.

Hal ini tentu saja menimbulkan dampak, bisa berdampak positif dan bisa berdampak negatif. Dampak positif yang mungkin timbul adalah perluasan pertumbuhan ekonomi. 

Menurut saya sangat sedikit jumlahnya berdampak pada rakyat kecil. Kemudian dampak negatif yang timbul adalah berkurangnya kesuburan alami tanah, banjir dan longsor (pada wilayah tertentu), dampak asap akibat pembakaran liar hutan untuk ekspansi lahan sawit, serta kerusakan lingkungan alam.

Membicarakan kerusakan alam tidak terlepas pada konsep etika lingkungan yang saat ini berkembang. Memahami pemikiran dan perilaku masyarakat sangat penting dalam konteks ini. Artinya bahwa perspektif etika lingkungan sangat erat terkait dengan masyarakat, yang terdiri atas struktur, interaksi dan institusi sosial.

Emile Durkheim dalam karyanya The Elementary Forms of the Religious Life, menyebutkan bahwa ide tentang masyarakat adalah roh agama. Saya mencoba untuk menelisik korelasi hal ini dengan pemikiran Karl Marx yang dengan gamblang menyebutkan bahwa agama itu adalah candu masyarakat.

Pada banyak literatur menyebutkan perbedaan pandang antara Durkheim dan Marx dalam pandangan agama. Korelasi konsep agama yang dikemukanan Marx dan konsep masyarakat yang dikemukakan Durkheim saya rasa cukup menjadi titik temu dalam kesamaan pandang dari keduanya, bahwa alam semesta memiliki cara kerja yang unik.

Ide tentang agama pohon tidak terlepas dari konsep cara kerja alam semesta yang unik. Hal ini tentu membentuk persepsi dasar kita mengenai alam; "jika pohon beragama, ia akan setara dengan manusia, sebab sama-sama beragama", ide sederhana saya demikian. Sama hal nya jika satwa-satwa beragama, mereka tidak akan di buru secara brutal.

Hierarki kekuatan antara manusia, satwa dan pohon adalah terletak pada agama. Tidak menutup kemungkinan agama-agama ketiganya akan memunculkan kekuasaan dalam menguasai struktur alam. Artinya agama menjadi jembatan antara ekosistem pembentuk lingkungan.

Totemisme; Stratifikasi Alam Semesta

Totem adalah hal yang paling sakral dan mengomunikasikan kesakralannya itu kepada makhluk yang ada di sekelilingnya. Pada literatur yang saya baca (Daniel L. Pals: Seven Theories of Religion) terdapat pandangan Durkheim yang mengamati masyarakat primitif, masih berburu dan mereka sebut setiap binatang yang bukan totem sebagai "Yang Profan", sebaliknya binatang dan tumbuhan yang dilarang untuk di bunuh mereka sebut "Yang Sakral", kecuali dalam keadaan tertentu seperti upacara agama dan binatang atau tumbuhan tersebut dijadikan kurban.

Saya kemudian membayangkan seandainya hari ini kita masih percaya pada kesakralan alam untuk tidak diganggu, mungkin keseimbangan alam semesta dapat bertahan hingga 50 juta tahun yang akan datang.

Konsep totem yang menjadikan sakral keseimbangan seluruh aspek kehidupan dengan alam semesta ini menjadi sangat langka pada era teknologi saat ini. Kehidupan masyarakat suku-suku di tiap daerah tidak menutup pemikiran dan pengalaman mereka dalam menjaga keseimbangan alam semesta.

Mari beranggapan bahwa pohon memiliki nilai setara dengan manusia serta memiliki agama. Dengan demikian, agama apapun di dunia tidak pernah membenarkan pembunuhan. Artinya membunuh pohon adalah tindakan ilegal, tidak dibenarkan sebab ia beragama, sama seperti manusia.

Totemisme menjadi bagian penting pada masyarakat yang sangat tradisional, dimana keseluruhan aspek kehidupan dipengaruhi oleh totem. Pada dasarnya konsep totem menjaga hubungan antara manusia dan alam semesta (lingkungan). Meski pada konteks ke-Indonesiaan saya belum menemukan literatur yang menyebutkan bahwa masyarakat suku-suku di Indonesia menganut sistem totemisme, namun yang saya perhatikan terdapat kesamaan-kesamaan cara hidup yang menekankan pada keseimbangan alam semesta. 

Kemudian, pada masyarakat tradisional yang menganut totemisme merujuk pada tipe lain dari agama yang menyembah atau pemujaan terhadap binatang dan tumbuhan tertentu. Para penganut totemisme ini meyakini terdapat satu kekuatan yang anonim dan impersonal terdapat pada tumbuhan dan binatang yang mereka sembah atau puja.

Saya berkeyakinan konsep hidup yang totemisme ini juga eksis pada masa dahulu di dalam masyarakat kita. Sebagai contoh pada masyarakat Dayak di Kalimantan yang di kenal hidup menyatu dengan alam. Tidak menutup kemungkinan masyarakat suku-suku lain juga memiliki cara hidup yang sama.

Sakralitas dalam beragama yang sangat dihayati masyarakat tradisional, bukan dengan mengusik dan menebar pembencian pada makhluk lain; seperti pohon dan tumbuhan, bahkan yang tak bernyawa sekalipun seperti batu dan air, yang dihormati sebagai bagian dari keseimbangan alam semesta.

Durkheim sangat meyakini masyarakat yang meyakini adanya Tuhan melalui perasaan impersonal, maha kuasa (prinsip-prinsip totem). Oleh karena itu, jika perasaan impersonal kita bertumbuh pada pohon-pohon, yang kemudian menyelamatkannya dari kepunahan. Prinsip hidup yang menjaga keseimbangan alam semesta cukup dengan tidak membunuh pohon. Sesederhana itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun