Pada kalangan feminis yang berkonsen pada penyelamatan lingkungan, tidak asing dengan nama Vandana Shiva. Karya-karyanya sangat termasyhur. Saya teringat cerita Shiva mengenai aksi perempuan di India. Mereka memeluk pohon sebagai bentuk protes atas pembabatan (pembunuhan) liar terhadap pohon-pohon. Di India, pohon  merupakan sumber hidup bagi perempuan di wilayah pedesaan.
Pada cerita Shiva, menarik untuk di gali kembali esensi kerusakan yang sudah sangat parah terjadi terhadap hutan. Pandangan bahwa perempuan merupakan bagian dari alam tumbuh serta tergambar pada beberapa literatur karya-karya Shiva. Berarti bahwa perempuan berkontribusi terhadap keberlangsungan hidup pohon-pohon yang merupakan asal muasal adanya kertas-kertas.
Tidak hanya terjadi di India, hari ini, di Indonesia pun terjadi perusakan hutan secara besar-besaran dengan dalih untuk kesejahteraan masyarakat. Terlebih lagi perusakan secara terbuka di dukung oleh negara. Hal ini terbukti atas izin-izin ekspansi lahan besar-besaran yang di legalkan oleh negara. Artinya adalah negara turut andil dalam mengacaukan ketidakseimbangan alam.
Hal ini tentu saja menimbulkan dampak, bisa berdampak positif dan bisa berdampak negatif. Dampak positif yang mungkin timbul adalah perluasan pertumbuhan ekonomi.Â
Menurut saya sangat sedikit jumlahnya berdampak pada rakyat kecil. Kemudian dampak negatif yang timbul adalah berkurangnya kesuburan alami tanah, banjir dan longsor (pada wilayah tertentu), dampak asap akibat pembakaran liar hutan untuk ekspansi lahan sawit, serta kerusakan lingkungan alam.
Membicarakan kerusakan alam tidak terlepas pada konsep etika lingkungan yang saat ini berkembang. Memahami pemikiran dan perilaku masyarakat sangat penting dalam konteks ini. Artinya bahwa perspektif etika lingkungan sangat erat terkait dengan masyarakat, yang terdiri atas struktur, interaksi dan institusi sosial.
Emile Durkheim dalam karyanya The Elementary Forms of the Religious Life, menyebutkan bahwa ide tentang masyarakat adalah roh agama. Saya mencoba untuk menelisik korelasi hal ini dengan pemikiran Karl Marx yang dengan gamblang menyebutkan bahwa agama itu adalah candu masyarakat.
Pada banyak literatur menyebutkan perbedaan pandang antara Durkheim dan Marx dalam pandangan agama. Korelasi konsep agama yang dikemukanan Marx dan konsep masyarakat yang dikemukakan Durkheim saya rasa cukup menjadi titik temu dalam kesamaan pandang dari keduanya, bahwa alam semesta memiliki cara kerja yang unik.
Ide tentang agama pohon tidak terlepas dari konsep cara kerja alam semesta yang unik. Hal ini tentu membentuk persepsi dasar kita mengenai alam; "jika pohon beragama, ia akan setara dengan manusia, sebab sama-sama beragama", ide sederhana saya demikian. Sama hal nya jika satwa-satwa beragama, mereka tidak akan di buru secara brutal.
Hierarki kekuatan antara manusia, satwa dan pohon adalah terletak pada agama. Tidak menutup kemungkinan agama-agama ketiganya akan memunculkan kekuasaan dalam menguasai struktur alam. Artinya agama menjadi jembatan antara ekosistem pembentuk lingkungan.
Totemisme; Stratifikasi Alam Semesta