Australia, menyimpan begitu banyak kisah bagi dua belas pemuda-pemudi Nusantara yang sedang menuntut ilmu di universitas-universitasnya. Mereka adalah Alfatih Ronggolawe, Cankaya Hairunnisa, Ahmad Gassing, Dadang Suhendar, Ethan Zhang He, Sulaeman Pattipi, Shinta Chaniago, Gusti Zulfansyah, Irma Ayesha, Zahid Nasution, Maya Khairina dan Sadrach Hadikuncoro. Mereka sedang berjuang mengejar mimpi-mimpi di Negeri Kanguru.
Kisah-kisah mereka adalah mozaik indah, kepingan puzzle masa depan Nusantara. Mereka merasakan mimpi-mimpi yang begitu nyata tentang masa depan negeri mereka. Seperti sebuah Deja Vu, sekelebatan pengalaman yang seperti telah mereka temui dimasa lalu. Di Negeri Selatan, mereka merenungkan keadaan negerinya, berupaya belajar dari masa lalu, memperjuangkan masa kini dan memimpikan masa depan.
Di negeri Kanguru, putra-putri Nusantara seolah berkomunikasi secara imajiner dengan para pendiri negeri, memasuki alam berfikir saat merumuskan konsep negara bangsa. Hidup penuh warna yang mereka lalui di Australia, turut mengasah jati diri dan membentuk pola berfikir mereka sebagai anak bangsa. Bagaimanapun mereka tak mau menjadi pengkhianat bagi negerinya di tengah turbulensi pergolakan pemikiran dunia.
Mereka perjuangkan berbagai ide sebagai wujud kepedulian terhadap bangsanya. Meskipun, rasa cinta tanah air itu seringkali tak diimbangi dengan balasan setimpal dari negara mereka. Meski cinta mereka sering bertepuk sebelah tangan, cinta mereka kepada Nusantara tak pernah punah. Cinta yang terbangun dari idealisme yang menyembul-nyembul di dada, meskipun berasal dari latar belakang yang berbeda-beda. Mereka semua adalah Deja Vu Nusantara.
Di negeri empat musim ini pula Alfatih Ronggolawe akhirnya menemukan belahan jiwanya. Cankaya Hayrunnisa adalah cinta pandangan pertama Lawe, yang kemudian hadir lagi di Negeri Koala. Cinta antara dua anak manusia yang bersemi dan mekar kembali, meskipun penuh rintangan dan cobaan. Mereka seperti telah saling mengenal di dunia yang lain. Cinta mereka adalah sebuah Deja Vu, kenyataan yang berulang.
Testimoni
“Déjà vu Nusantara adalah sebuah harapan. Sedikit dari kalangan profesional bidang pemeriksaan keuangan yang pernah berkuliah di luar negeri menuliskan pikiran, minat, dan hasratnya yang luas akan kemajuan bangsanya. Karya prosais dengan gaya novel ini membuka mata kita akan pemahaman tentang ‘arus balik’ ala Pramoedya, pengalaman Nusantara yang gemilang, dan peralihan kekuasaan-pengetahuan global yang tak terelakkan, disertai dengan keinginan membentuk generasi baru yang melek perkembangan global dan lokal. Sarat dengan penamaan dan wacana yang multikultural, disertai dengan perjumpaan cinta Al-Fatih Ronggolawe dan Cankaya Hairunnisa dan juga persahabatan manusia dengan sejarahnya masing-masing, karya Nico Andrianto ini adalah sebuah bekal penting bagi para petualang pengetahuan dan cinta.”
—Zacky Khairul Umam
(Graduate student - Fachbereich Geschichts-und Kulturwissenschaften Freie Universität Berlin)
“Novel Déjà vu Nusantara ini sangat inspiratif, eksploratif dan menarik untuk dibaca. Menggambarkan pengalaman berharga penulis selama studi di Australia, melihat belahan dunia yang berbeda sambil terus menggenggam cita-cita bangsa Nusantara. Sebagai “duta bangsa” di Negeri Kanguru, penulis berharap menjadikan bangsanya lebih baik dimasa depan dan jauh dari penyakit korupsi yang merajalela. Saya lebih senang menyebut penulis yang abdi negara ini sebagai enterpreneur birocracy, karena mengamati realitas Indonesia saat ini sambil ingin membangunnya melalui sumbangan ide-ide, inovasi dan pemikiran yang berharga. Novel ini juga ingin membuktikan bahwa pendahulu kita adalah pejuang-pejuang handal yang disegani di seluruh kawasan. Setelah membaca novel ini kita sadar bahwa Negeri Nusantara tercinta sebenarnya negara yang besar dengan SDM yang mampu menguncang dunia.”
—Fajar Sulaeman Taman
(Atase Hukum KBRI Kuala Lumpur, Malaysia)
“......aku tenggelam dalam kedalaman informasi yang terjalin lancar menyeruakkan deskripsinya...seakan membaca kolom di harian nasional terkenal... dan mendapat gizi untuk kontemplasi renungan tentang cerita bangsa kita...tapi tetap sadar ini adalah novel.”
—Radhityo Fitrian Her Rengga Wardhana
(Auditor keuangan negara)
“Novel Deja Vu adalah karya imaginatif yang luar biasa. Membacanya mampu membuncahkan jiwa yang sepi atas kebesaran Nusantara. Menghapuskan jiwa inferior yang terjadi akibat penjajahan yang masif. Sebuah buku yang mampu memicu dan memacu nasionalisme Nusantara Baru yaitu Indonesia. Buku wajib bagi pemimpin dan calon pemimpin Indonesia agar menjadi birokrat yang memiliki integritas dan kompetensi, yang mampu memerangi penyakit korupsi dan mampu menjadi teladan bagi masyarakatnya. Bangsa yang besar adalah bangsa yang pemimpinnya mendorong warganya untuk ekspor barang dan jasa, menggunakan utang dan menarik pajak dengan bijak, melakukan ‘efisiensi berkeadilan’ dalam menjalankan pemerintahan”
—Dr. Leo Herlambang
(Dosen FEB Unair-Pemerhati Strategi Ekonomi Keuangan dan Politik)