Mohon tunggu...
Nicko Kharisma Gunawan
Nicko Kharisma Gunawan Mohon Tunggu... Penerjemah - -

Membaca itu seperti menyaksikan kisah dalam setiap dunia yang berputar, melainkan menulis adalah bagian teristimewa dari setiap dunia itu diciptakan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Wanita yang Berbisa

19 Mei 2023   18:28 Diperbarui: 19 Mei 2023   18:36 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam hati ia terus mencari. Di sana pula terbangun jiwa perawan yang bertengger dalam diri. Pencarian jati diri sebagai perempuan ayu yang menemui jalan buntu, sebab masih saja bertolak dari wujudnya selama ini, hingga usia remajanya. Ia memang tak sanggup bersolek, mungkin terlalu sibuk bertaut dengan para remaja lelaki berandalan di setiap persimpangan jalan. Menyodorkan kaleng pada para pengendara atas segala nada yang dilantunkannya. Menyisir jalanan aspal yang kerap menebalkan telapak kakinya adalah sebuah kewajiban. Laku itu yang seolah membelokkannya, pun penampakan yang seolah memperlihatkan kerasnya kehidupan jalanan. Ya begitu, hingga satu potong rok saja tak pernah dirasa membalut pinggang yang melenggak-lenggok tatkala kaki melangkah.

Jiwa perempuan itu masih kental mengalir dalam nadi. Sukma tak menyangkal. Memang ia tak pernah. Tak jarang ia merasa iri pada anak seusianya saat mereka berangkat ke sekolah, atau menikmati malam minggu di alun-alun tengah kota. Dandanan dan pakaian-pakaian yang menghiasi mereka justru menyayat hati kecilnya. Apa yang dirasanya jika ia demikian? Hanya saja Murni terlalu jatuh untuk menolong jiwa sang anak yang masih terkurung itu. Ia tak punya daya, apa lagi upah untuk membebaskannya. Gaun dan peralatan kecantikan terlalu mewah untuk menggantikan beras dan jagung demi menyambung hidup. Ia hanyalah seorang janda, namun juga kembang desa dari belasan tahun ke belakang. Rupawan juga santun, itulah tanggap semua lelaki di desa atas dirinya.

Berkali-kali Sukma mengemis, harap-harap berbuah manis. Masih merujuk pada bebasnya jiwa perempuan seutuhnya yang akan merubah segala rupa dan wujudnya. Kata gaun dan perabot kecantikan melesat saja dalam permohonan itu. Namun Murni yang melarat tak kunjung sudi. Obrolan di antara keduanya kerap mati tak bernadi.  Begitu pula untuk selanjutnya, seterusnya. Mengamen hanya berbuah beras dan jagung secukupnya, sedang Murni telah berputus asa sejak berbagai usaha jajanan yang dilakoni acapkali tak membuahkan hasil. Ia bangkrut. Kesedihan telah tinggal berlarut-larut. Sukma tak pernah sanggup memakinya, jikalau dalam benaknya teringat sang ayah yang lenyap begitu saja bak asap korek api. Sukma menderita tentangnya, sakit kepalanya jika ingatan tentang ketidakpedulian ayah terhadap keluarganya itu. Membuat hidup kedua wanita itu kian kocar-kacir tak menentu. Itu pun yang membuat tingkah laku Murni sama sekali berubah. Ia menjadi pemarah, sesekali rambut Sukma yang panjangnya tak mampu menutupi leher saja seringkali menjadi sasaran amarahnya. Sukma tak melawan meski kepalanya itu menjadi pelampiasan. Kali ini Sukma hanya bermimpi mampu merubah diri, memolesnya, hingga ia pantas mendapat upah dari usaha lainnya. Atau jika nasib baik yang buta itu menyasar di hidupnya, seorang hartawan akan meminangnya. Membalikkan derajat dan masa depannya.

Suatu kali, tetangga di sudut paling muka gang rumahnya baru meninggali bangunan terapik di lingkungan itu. Warga baru, dan basa-basi meluap di setiap pelataran rumah para tetangga. Saling berkenalan barangkali, melihat seorang itu yang doyan sekali bicara. Seorang wanita yang tampaknya menyenangkan. Entah, seperti apa kepribadiannya. Namun penampakkannya cukup meyakinkan jika ia seorang yang punya. Kaus dan jaket berwarna gelap yang dipakainya berbaur tampak berani, pun jeans ketat yang meremas paha elok itu kian memperindahnya. Tak kalah hebohnya jika memandangi helaian rambut pendek dengan beberapa paduan warna gelap-terang di beberapa sisi, juga goresan rona merah di kelopak mata dan bibir yang senada. Lebih pantas sosok itu untuk disorot kamera beserta lampu seterang baskara.

Hingga kemudian sampailah ia di pelataran rumah Murni. Murni yang menyambutnya. Tawa yang renyah pertama kali yang Sukma dengar. Sukma hanya mengintip dari balik kain kelambu yang membatasi ruang depan dengan tengah. Ia hanya menamati wanita itu dari ujung rambut hingga kaki. Teramatlah menarik baginya, hingga ia mengurungkan niat untuk mengikuti Murni ke depan sana. Sukma terbius pandangnya yang semakin kuat membuat jiwa perempuannya memberontak. Hatinya terpukul meski cukup saja berderak-derak. Mengapa ia tak pernah melihat sosok seperti itu? Ia mampu menangkap wibawa dari seorang tanpa gaun anggun layaknya cerita masa remaja Murni yang dibanggakannya. Bagi Murni, gaun lah yang akan menghidupkan kembang dalam jiwa seorang wanita. Dan kali ini Sukma tak setuju. Sukma semakin diterpa guncangan jiwa itu yang kian melonjak-lonjak ingin dibebaskan. Ia sungguh ingin menjadi wanita ayu meski tak bergaun, bukannya seperti sekarang.

"Mau kemana?", Murni baru saja menutup pintu.

"Menyusul ke rumahnya", Sukma keluar rumah begitu saja.

"Memangnya kamu kenal?"

"Tidak".

Sukma telah berjarak lima meter di belakang wanita itu yang sedikit lagi sampai di rumahnya.

"Aku tak melihatmu di sana", jawab wanita itu saat Sukma memangggilnya dan memperkenalkan diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun